Harapan

6 1 2
                                    

Sinar bulan bercahaya diantara bintang-bintang. Menjadi penerang didalam kegelapan.

Raja Ryuza Raveiz, sedang berdiri di balkon utama istana. Pandangannya menyapu seluruh wilayah yang berada di bawah kekuasaannya. Tidak ada bangunan ataupun menara yang menyamai tinggi istana yang berdiri kokoh di puncak gunung tersebut.

Di malam hari tidak banyak aktivitas yang beroperasi. Tapi, di siangnya keramaian senantiasa memenuhi seluruh kerajaan. Semua yang berada di bawah naungan kerajaan mendapatkan hidup yang sejahtera. Mereka saling menyambung hidup masing-masing.

Kriieeettt!...

Pintu terbuka, menampilkan Sang Ratu yang berdiri di balik pintu. "Kemarilah, Rossalina." Pinta Sang Raja.

Ratu berjalan sampai di samping Raja. "Ada keperluan apa hingga engkau memanggilku, wahai Rajaku?"

Raja menghela nafas, sepertinya hal yang akan dibincangkan adalah sesuatu yang berat. "Apa kau merasakannya?"

Ratu Rossalina memandang ke langit. Bulan purnama mengawasi setiap sudut kerajaan. "Iya, dia kembali. Ambisinya untuk mendapatkan tubuh dengan level sihir terkuat sangatlah besar."

"Selama ribuan tahun dia mengincar tubuh tersebut. Pada setiap anggota kerajaan yang lahir, dia akan mengirimkan anak buahnya untuk mengawasi perkembangan dari anak tersebut sampai jelas bagaimana tingkat sihirnya."

Raja menghela nafasnya lagi. "Kuharap putra kita bukanlah incaran terbesarnya. Aku tidak ingin dirinya mengakhiri hidup hanya karena itu, seperti para pangeran lainnya." Sang Ratu diam disamping Raja, ikut terbenam kedalam pikirannya.

"Disaat para calon Raja bertemu. Mereka akan saling bersaing untuk menjadi yang terkuat. Dan itu tidak akan terhindarkan. Disaat yang terkuat telah ditetapkan, maka Matris akan menampakkan dirinya." Ryuza mengusap wajahnya lalu menengadah ke langit. Melayangkan harapan untuk putra semata wayangnya.

Rossalina menepuk bahu suaminya. "Tenanglah, engkau berpikir terlalu dalam. Sebaiknya kita istirahat. Malam sudah semakin larut." Ryuza hanya mengangguk, lalu mengikuti istrinya masuk ke istana.

Sementara itu di kamar bayi..

"Kau lihat dia.. " Ucap salah satu dari dua makhluk berjubah hitam tak kasat mata diluar jendela kamar.

"Iya, dia sangat imut sekaligus tampan. Siapa namanya rasanya.. Oh iya! Thyaga Raveiz, Sang Putra Mahkota. Emang kenapa?" Kata rekannya yang terus memperhatikan bayi yang tertidur pulas di atas ranjangnya.

"Bukan itu, payah!" Bentaknya.
"Lah, terus? Itu yang kulihat itu yang kurasakan." Kata rekannya.

'Kenapa aku harus satu tugas dengan si 'goblok' ini.'
"Ini tidak biasa. Kita mengawasi calon tubuh milik Nyonya besar Matris dari luar kamarnya?"
"Heh! Apa kau tidak ingat kalau satu minggu lalu kita terhempas karena perisai yang melindungi pangeran kecil ini."

"Ya. Dan setelah itu kau berubah."
"Aku bukannya berubah. Tapi, terbebaskan. Sekarang aku adalah arwah gentayangan. Sementara dirimu masih berada dibawah pengawasan Matris."

"Kalau kau sudah bebas, lantas mengapa kau masih mengikutiku?"
"Sebagai saudaramu aku harus tetap mengikutimu."

Mataku berkedip, lalu kakiku menghentak hentak. Aku mencoba untuk duduk, seperti dulu. 'Capek juga jadi bayi ternyata.'

Melihat terjadinya pergerakan salah satu anak buah Matris langsung menunduk. Padahal udah nggak kasat mata.
"Kau sedang apa?"
"Sorry bang. Reflek."

Mereka kembali mengawasiku. Lalu terjadilah kontak mata antara mataku dengan mata yang ada dibalik jubah mereka. Aku membuka teknik telepati yang entah darimana aku mempelajarinya.

I'M BACKWhere stories live. Discover now