Prolog

31 3 2
                                    

Aku terus berlari di ruangan putih. Terus mencoba untuk berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Entah sudah berapa lama dan jauh aku memacu kakiku. Tidak terasa letih ataupun lelah, hanya emosi. Emosi karena disetiap kali aku mendapatkan mimpi ini, aku akan kembali melihat ingatan kelam masa laluku.

Dan ingatan itu kembali...

Api telah melahap seluruh bagian rumah. Asap hitam mengepul ke langit bagai raksasa diawal hari. Seluruhnya telah kembali ke asal mereka. Kecuali, seorang bocah yang masih meratapi jasad ibunya yang tertimpa balkon rumah. Tubuh kecilnya tetap memeluk lengan dingin ibunya, tanpa memahami kenapa ibunya tidak bergerak lagi. Padahal sebelumnya tangan tersebut baru saja membelai lembut rambutnya. Sambil tersenyum dan menangis, mengucapkan kalimat yang belum dapat dia ucapkan tapi bisa dia pahami.

"Ibu harap... Kau... Bisa.. Hi-dup.. Baha-gia... Zora.."

Senyap...
Hanya suara kobaran api yang terdengar. Dibalik itu, para petugas pemadam terus berlalu lalang di dalam api. Setiap langkah mereka berharap atas keselamatan nyawa korban. Tapi, takdir telah berkata lain. Tidak ada anggota rumah yang bisa diselamatkan. Selain, bocah berumur lima tahun yang telah hancur mentalnya.

Hidup dengan menyaksikan kematian keluarganya membuat dirinya merasakan kekosongan. Apalagi tanpa seorang ibu.

Selama enam belas tahun, tidak ada memori yang lebih berharga daripada kenangan lima tahun hidup bersama keluarga, terutama ibu. Semuanya terputar didalam kepalanya, menumbuhkan pertanyaan yang diperuntukkan kepada Tuhan.

'Kenapa Kau ambil mereka disaat aku baru saja memahami dunia?'

Tidak... Tidak ada gunanya jika terus mengeluhkan hal yang sama. Tapi, menjalani hidup terasa sangat hampa karena tidak ada dorongan dari dalam.

Rumah...

Keluarga...

Orang tua...

Ibu...

I'M BACKWhere stories live. Discover now