16. Lost First Love [Bonus Chapt]

68 10 7
                                    

Happy Reading -
.
.
.




Sore itu setelah pemakaman Adiknya, Mahen kembali ke rumah lamanya. Rumah yang pertama kali ia pijak setelah keluar dari panti. Hening menyelimuti, suasana begitu sepi nan sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang begitu usang juga berdebu. Suasana Hati Mahen begitu buruk, kini tinggal dia sendiri tanpa seseorang di sampingnya.

Tempatnya bercerita, berkeluh-kesah... kini sudah pergi untuk selamanya. Mahen tentu saja menyesal, andai saat itu ia kembali pada adiknya, andai ia tak begini, mungkin takdir akan sedikit berbaik padanya. Cukup untuk berandai-andainya, suara hujan disertai petir menyadarkan Mahen dari lamunan panjangnya.

Kini ia menuju kamar lama adiknya, kamar yang sekitar 7 tahun tak di tempati itu, atau mungkin lebih. Melihat kembali foto-foto lama, foto masa kecilnya, sampai di mana foto terakhir yang sempat ia ambil bersama adiknya. Mahen bernostalgia sejenak dengan semua kenangan yang saat ini ia miliki.

Semuanya seakan berputar sendiri secara otomatis di otaknya. Sesekali ia rasakan sesak begitu dalam di dadanya, mengingatnya kembali memang sakit, tapi melupakan itu lebih sulit. Walaupun begitu, Mahen tak pernah berniat untuk melupakan sedikitpun tentang adiknya. Atau, lebih ke mereka berdua.

Mahen sendiri tak pernah berpikir jika akhirnya akan seperti ini, orang yang sudah Mahen cap sebagai tujuan utama hidupnya itu, kini malah pergi tanpa tahu cara kembali. Mahen duduk di kasur menghadap jendela kamar Minjae, dengan tangan yang masih setia memegang sebuah cincin yang ia beli 3 tahun lalu.

Cincin indah berbalut tujuh berlian yang di bungkus dalam wadah kotak kaca. Benar-benar indah, tapi sayang, yang seharusnya memakainya malah mengistirahatkan raganya. Perlahan air matanya jatuh, sambil terus ia pandangi cincin itu dengan mata yang begitu sayu.

Tubuh yang sudah tak kuat itu, perlahan ambruk, Mahen tersungkur. Tangisannya terdengar begitu menyakitkan. Di sela tangisannya Mahen berpikir bahwa sosok yang kini menjadi alasannya menangis datang untuk menenangkannya.

Tapi itu mustahil bukan, tapi apa salahnya berharap. Sungguh Mahen benar-benar putus asa, ia tidak lagi mempunyai tujuan hidupnya. Isakannya terdengar jelas, begitu pilu. Tangisan akan kerinduan dan sebuah penyesalan.

Penyesalan yang begitu besar dan kerinduan yang begitu dalam. Baru saja ia lihat wajah adiknya itu, tapi kini ia hanya bisa melihatnya lewat kenangan-kenangan yang kini masih tersimpan. Seperti baru kemarin ia peluk adik kecilnya itu, tapi kini kembali ia peluk adiknya itu dengan kondisi tubuh tanpa raga.

Terkadang Mahen berpikir bahwa takdir hidupnya memang seburuk itu, dia tidak pantas untuk hidup, tidak pantas untuk bersama siapapun. Hingga suara knock pintu terbuka, membuat Mahen yang tadinya menangis tersedu-sedu kini membelalakkan matanya. "Siapa itu?." batinnya.

"Kak?." panggil seseorang dengan suara yang terdengar habis menangis. Lantas Mahen menoleh, dan seberapa terkejutnya ia ketika mendapati siapa yang sedang berdiri di sana dengan wajah yang tak kalah berantakan.

"Mau apa lo ke sini?!." tegas Mahen, terdengar dari suaranya yang menekan namun bergetar.
"Kak, aku minta maaf, aku nggak bermaksud-"
"Cukup!! lebih baik lo pergi sekarang, sebelum kesabaran gue habis!!."
"Tapi kak, aku mau jelasin semuanya, aku menyesal kak... aku, aku-"

DUAGH!!!

BUGHH!!!

Tinjuan langsung mendarat pada kedua pipi Arga begitu Mahen sudah kehilangan kesabarannya. Arga yang belum menyelesaikan kalimatnya pun di buat sempoyongan, sebab tinjuan Mahen tak kalah kuatnya dengan beberapa tahun yang lalu. Saat Mahen memukulinya karena bermain belakang bersama Nara.

✓MY PAGE - ANAGAPESIS [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang