Kesempatan Emas

24 5 0
                                    


Pagi hari itu, saat sedang sarapan, Anto menatap istrinya yang tak henti memutar sebuah video di media sosial. Video tersebut berisi tentang seorang teman Yuni-istri Anto yang mengabarkan bahwa ia telah tiba tanah suci. Musim haji telah tiba, setiap orang yang Allah panggil untuk mengunjungi rumah-Nya telah bertolak dari berbagai penjuru dunia. Salah satu teman Yuni tersebut.

“Kapan, kita bisa haji ya, Pah?” tany Yuni. Wanita itu meletakkan gawai seraya bersandar lesu pada bahu sang suami.

“Nanti, kalau sudah dipanggil,” jawab Anto.

“Hah?!” Yuni mendongak.

“Iya, urusan haji kan bukan sekedar ada dananya aja, perkara utamanya adalah panggilan dari Allah Yang Maha Kuasa. Haji adalah panggilan istimewa.”

Yuni mengangguk-angguk kecil. Batinnya membenarkan perkataan sang suami. Ia lantas teringat berita tentang beberapa public figure yang batal berhaji tahun ini. Tentu bukan masalah uang yang menjadi alasan kebatalan itu, namun memang panggilan dari Allah yang belum ada.

Sore harinya, Anto berjalan tergopoh-gopoh saat memasuki rumahnya sepulang bekerja. Beberapa jam lalu laki-laki itu ditelepon Sekar--kakak kandung Yuni, yang menceritakan perihal insiden pemukulan yang dialami sang istri,  yang dilakukan oleh salah seorang tetangga. Sesungguhnya insiden tersebut berawal dari salah paham. Tetangga dari RT sebelah tersebut salah mengira Yuni sebagai orang yang merundung anaknya, padahal yang melakukan sebenarnya orang lain. Sekar bahkan mengirim video saat Yuni dipojokkan tanpa diberi kesempatan membela diri.

Meskipun sang istri terkadang sangat menyebalkan, akan tetapi Yuni tetaplah istri yang Anto kasihi sepenuh hati. Oleh karenanya ia begitu khawatir. Sejak dalam perjalanan pulang, Anto telah bersiap memberikan penghiburan terbaik untuk belahan jiwanya itu.

“Assalamu’alaikum….!” Anto mengucap salam. Ruang tamu rumahnya tidak berpenghuni, begitu juga dengan dapur dan  kamar tidur utama. “Assalamualaikum…!” Sekali lagi laki-laki itu mengucap salam.

Tiba-tiba pintu kamar anak-anak dibuka dari dalam.

“Wa’alaikumussalam….” Nampak wajah Yuni muncul dari balik pintu. “Eh, Papah udah pulang?!” Ibu dua anak itu tersenyum riang.

Segera saja Anto memeluk istrinya. Merengkuh penuh kasih sayang. Laki-laki itu bahkan mencium kening Yuni yang direspon dengan ekspresi terkejut sang istri.

“Papah kena … pa?” Yuni mengusap kening. Bukan apa-apa, tidak biasanya ia dicium seperti itu oleh Anto. Hanya di waktu-waktu tertetu saja hal tersebut terjadi.

Alih-alih menjawab pertanyaan istrinya, Anto justru memeluk lagi, kali ini bahkan lebih erat. “Papah sayang sama Mamah….” Ia berbisik pelan.

Seketika wajah Yuni bersemu merah. “Papah ih, genit banget deh…,” ucapnya manja, tangan wanita itu mencubit pelan sisi perut sang suami.

“Mamah dimarahin orang tadi?” Anto bertanya saat melepaskan Yuni dari pelukan hangatnya.

“Dimarahin orang? Siapa?” Yuni bertanya seolah lupa. Nyatanya, memang dia lupa.

“Itu, Bu Dirjo. Yang rumahnya di RT dua belas,” jawab Anto.

“Oh….” Yuni teringat insiden yang menimpa dirinya beberapa jam lalu. “Iya, Pah. Dia tiba-tiba marah sama Mamah … Tapi, udah minta maaf sih akhirnya....”

Meski katanya sudah meminta maaf, tetap saja Anto tak terima. “Terus, Mamah maafin?!”

Yuni menghela nafas, lantas berkata, “Ya dimaafin …  mau gimana lagi?”

“Kenapa gak dimarahin balik?” Anto tersulut emosi. “Mukul-mukul orang kok sembarangan!” Ia mendengkus keras. “Harusnya Mamah laporin ke polisi dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan!” Dua tangannya hinggap di pinggang.

Yuni menggeleng-geleng seraya menggoyang-goyang telunjuk kanannya di depan wajah Anto. “No! No! No! No! No …!” Wanita itu menyerukan kata ‘no’ sebanyak lima kali.

Perasaan marah Anto seketika beralih, menjadi takjub. Ia tak mengira ternyata istrinya memiliki kesabaran yang luar biasa. “Wah, Mamah tenyata sesabar itu ya …,” ucapnya bangga.

“Marah iya …,” ucap Yuni. “Sabar? Kayaknya enggak juga sih, hehe….”

“Terus?” Anto tak mengerti maksud perkataan istrinya.

“Sayang aja, Pah … itu kan kesempatan emas.”

“Kesempatan emas?”

“Iya, Pah!” Yuni mengangguk antusias. “Mamah kan dizhalimi. Nah, orang yang dizhalimi itu kan, doanya makbul. Jadi, dari pada marah-marah yang malah menguras energi, mendingan Mamah berdoa, siapa tahu langsung Allah ijabah.”

Anto mengernyit. “Emang Mamah doa apa?”

Yuni tersenyum sumringah. “Mamah berdoa supaya bisa pergi ke tanah suci secepatnya, kalau bisa gratis!” Jari tengah dan ibu jari wanita itu dijentikkan.

“Oh…, gitu ya…?”

“Iya!”

Tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi dari telepon selular Anto. Segera saja laki-laki itu melihat gawainya. Sedikit tercengang ia, namun lantas tersenyum. “Kayaknya Mamah bisa umroh setelah musim haji nanti,” ucapnya tanpa mengalihkan tatapan dari layar. “Meskipun gak gratis....”

“Maksudnya?” Yuni tak mengerti. Bagaimana caranya ia bisa ke tanah suci kalau tidak gratis? Tabungan yang mereka miliki hanya cukup untuk membayar biaya hidup satu bulan ini.

“Rumah warisan Bapak ada yang beli." Anto menatap dengan mata membulat sempurna, bibirnya melengkung ke atas secara maksimal. "Sudah fiks! Jadi!”

“Yang bener, Pah?!”

“Bener …!” Anto memperlihatkan pesan yang  ia terima kepada Yuni. “Nih! Baca!”

Kakak kandung Anto baru saja mengabarkan bahwa rumah warisan orang tua mereka yang sudah lama kosong telah terjual, dan telah dilakukan pembayaran.

Yuni membeku beberapa saat setelah membaca pesan tersebut. Lalu air matanya mengucur satu demi satu.

Anto kembali memeluk sang istri, kali ini karena haru dan bahagia. “Semoga Allah perkenankan kita mengunjungi tanah suci-Nya,” bisik laki-laki itu. Yuni meng-amin-i di sela isaknya.

Selesai.

Salam sayang.

quu_anfusakum

Kamu Nyebelin Aku Ngeselin (kumpulan cerpen drama rumah tangga)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang