Glek!
Yuni menelan ludah saat mendengar nasihat Ustadzah Aisyah di majlis ta'lim sore itu.
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya," ucap beliau.
Entah telah berapa puluh kali Yuni mendengar bagian dari salah satu hadits Rasulullah tersebut. Iya sih, harusnya memang begitu, tapi ....
Wanita itu teringat seorang nenek lincah dengan mulut yang menurutnya seperti tong sampah, yang selalu disapa 'Bu Ipah'. Setiap hari, di rumahnya terdengar sumpah serapah. Di antara warga yang lain, Yuni adalah yang paling banyak dihujani sumpah serapah tersebut. Kenapa? Karena rumahnya dan rumah sang nenek bersebelahan. Baru beberapa bulan ini ia dan keluarga kecilnya pindah ke rumah warisan Anto--suami Yuni, dan Bu Ipah lah satu-satunya tetangga dekat yang mereka miliki.
Anto sudah sangat sering menasehati istrinya untuk menahan diri. Bagaimanapun, Bu Ipah berusia jauh lebih tua. Kondisinya juga cukup memprihatinkan. Bu Ipah tinggal bersama suaminya yang sudah renta, dengan kondisi ekonomi yang juga tak mudah. Anak-anak mereka yang berjumlah dua orang menengok hanya sesekali dalam beberapa bulan.
"Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya." Sang Ustadzah melanjutkan nasihatnya dengan menyebutkan hadits yang diriwayatkan Bukhari Muslim tersebut.
Yuni berdecak kesal mendengarnya. "Bukan aku yang menyakiti, tapi aku yang disakiti!" Ia menggerutu dalam hati. "Sakitnya tuh disini ...!" Wanita itu menunjuk dadanya seraya mengeluarkan erangan pelan.
Dua hari lalu, Yuni dan Bu Ipah baru saja berkelahi, meski hanya lewat kata-kata. Ibu dua anak itu sudah habis kesabaran karena dicaci maki setiap hari. Ya! setiap hari! Siapa yang tak marah?! Padahal dia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Satu-satunya kesalahan Yuni hari itu adalah menampakkan batang hidungnya di hadapan nenek menyebalkan tersebut.
Meski mendengarkan tausiyah dengan pikiran yang mengembara kemana-mana, Yuni berhasil mencatat beberapa hal yang disebutkan Ustadzah Aisyah. Hal yang harus dilakukan sebagai cara memuliakan tetangga, diantaranya :
1. Menghargai dan memperlakukan sama semua tetangga, misalnya dengan tidak memandang rendah pekerjaan dan status sosial mereka.
2. Bersikap dan berbicara dengan sopan, tidak merendahkan tetangga.
3. Tidak menyinggung nominal gaji, pendapatan, dsb ketika bergaul dengan tetangga lain.
4. Tidak sembarangan menggunakan lahan/halaman rumah tetangga untuk keperluan pribadi tanpa izin.
5. Tidak menungkit-ungkit bantuan atau kebaikan yang pernah kita berikan sehingga membuat mereka tidak nyaman dan merasa malu.
"Hati-hati loh, Ibu-ibu ...," ucap Ustadzah Aisyah kemudian, "ada sebuah hadits Rasulullah yang pernah saya baca dalam kitab Adabul Mufrad karya Imam Bukhari. Begini bunyinya :
Dari Abu Hurairah, ia berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: "Wahai Rasulullah, si fulanah sering melaksanakan shalat di tengah malam dan berpuasa sunnah di siang hari. Dia juga berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya." Rasulullah SAW menjawab: "Tidak ada kebaikan di dalam dirinya dan dia adalah penduduk neraka." Para sahabat lalu berkata: "Terdapat wanita lain. Dia (hanya) melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia tidak mengganggu tetangganya." Beliau bersabda: "Dia adalah dari penduduk surga."
Yuni tersenyum puas mendengar untaian hadits tersebut, yang menjadi penutup tausiyah yang disampaikan Ustdzah Aisyah. "Rasain! Biar masuk neraka!" sungut Yuni pelan.
"Kenapa, Bu Yuni?" Seseorang tiba-tiba merespon kata-katanya.
Yuni gelagapan. "Eh! Enggak, Bu, hehe ...."
Bu Ida, orang yang sejak awal pengajian duduk di samping Yuni menatap penuh selidik. Wanita paruh baya itu yakin sekali kalau ia mendengar Yuni bicara, meski tak terlalu jelas.
"Saya ngomong sendiri, Bu," ucap Yuni.
Bu Ida mengernyit, lantas tertawa.
Yuni juga tertawa. Namun ... beberapa saat kemudian tawanya pudar. Berganti helaan nafas dan gumaman istighfar. Yuni menginsafi pikirannya sendiri. Bisa-bisanya ia menghakimi Bu Ipah seperti itu. Hanya Allah yang tahu siapa yang akan dimasukkan-Nya ke neraka dan siapa yang tidak.
Yuni teringat kata-kata suaminya saat ia mengadukan perihal pertengkaran dengan Bu Ipah.
"Papah tahu Mamah capek, marah, dan kesal menghadapi beliau," ucap Anto. "Memang tidak mudah ya, Mah." Laki-laki itu tersenyum.
Yuni mengangguk seraya tersenyum. Merasa gembira karena sang suami mengerti perasaannya.
"Tapi, Mah...." Anto menatap serius.
"Apa?"
"Papah sih, kasihan sama Bu Ipah."
"Kenapa harus kasihan?!" Yuni mencibir. "Mulut kaya tempat sampah gitu!"
Anto mengangguk. "Iya, Papah tahu ... tapi beliau dulu gak begitu kok. Baik orangnya, lembut lagi. Papah waktu kecil suka dititipin sama bu Ipah kalau almarhum Ibu harus pergi ke mana-mana."
Yuni tercengang. "Masa sih?" tanyanya. "Kok sekarang begitu dia?!"
Anto tersenyum, lalu mengelus rambut wanita yang telah menjadi istrinya selama sepuluh tahun tersebut. "Ya ... begitulah hidup." Laki-laki itu menerawang langit-langit.
Teringat begitu banyak kejadian, dari dua atau tigapuluhan tahun lalu, yang menimpa bu Ipah dan keluarganya, yang tentu ia saksikan sendiri.
Berawal dari rumah tangga yang serba susah. Dua anak bu Ipah adalah teman bermain Anto sejak kecil. Ia tahu persis kondisi rumah mereka. Kemudian, usaha suaminya tiba-tiba berkembang pesat. Tentu saja hidup mereka berubah. Dan ujian hidup pun berubah. Yang awalnya diuji masalah keuangan, selanjutnya diuji masalah kesetiaan. Suami Bu Ipah ketahuan tak setia, menikah diam-diam di belakang istrinya. Tak hanya satu kali, tapi berkali-kali.
Lalu usaha suami bu Ipah mengalami kendala. Kekayaan yang mereka miliki satu persatu habis, yang tersisa hanya rumah yang mereka tempati saat ini. Pasangan suami istri itu tak henti berkelahi. Namun entah kenapa mereka tetap bertahan untuk bersama. Mungkin, itu dilakukan demi para buah hati. Akan tetapi, Anto sangat tahu, bagaimana anak-anak bu Ipah harus bertahan menghadapi situasi rumah tangga ibu dan bapaknya. Sulit luar biasa. Saat sudah memasuki usia kerja, mereka akhirnya memutuskan meninggalkan rumah orang tua. Tersisa wanita renta itu dan suaminya yang telah ditinggalkan oleh istri-istrinya yang lain.
"Mamah harus lebih sabar, ya...." Anto menasehati Yuni. "Ini ujian dari Allah buat kita."
Yuni menghela nafas. Entah bagaimana perasaannya. Sulit sekali dijabarkan. Iya, dia merasa kasihan pada bu Ipah. Tapi kalau teringat mulut kotornya, ia kadang kesal juga. Pernah suatu waktu, Yuni mendapati suami bu Ipah terjatuh di depan rumah mereka. Yuni menolong segera. Tapi dibalas caci maki oleh si nyonya rumah. "Bukannya ngucapin terima kasih," gumam Yuni.
"Terima kasih? Buat apa?" Kembali terdengar suara bu Ida.
Yuni kembali gelapan. "Eh, itu, Bu ... Terima kasih sudah menemani saya di sini, hehe ...."
Bu Ida menatap dengan mulut menganga.
Salam sayang
quu_anfusakum
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Nyebelin Aku Ngeselin (kumpulan cerpen drama rumah tangga)
RomanceKehidupan rumah tangga memang penuh suka duka. Begitu juga kehidupan rumah tangga Anto dan Yuni.