Berat

24 6 0
                                    


"Saya gak terima orang tua saya diginiin. Enak aja! Kalian pikir, setelah kalian caci maki orang, bisa pergi gitu aja?!"

Saat pulang kerja, Anto mendengar suara teriakan istrinya. Di hadapan wanita itu, ada sepasang pria dan wanita sedang berdiri sambil menunduk, terlihat sedikit ketakutan.

"Kalau ada masalah sama kakak saya, berantem aja sama dia. Jangan Bapak saya dijadiin sasaran. Orang sudah sepuh dicaci maki. Kalian punya OTAK apa enggak?" Yuni menoyor si pria. "Kamu juga! Jadi laki-laki jangan suka sembarangan memperlakukan orang lain. Lihat hasil kelakuan kamu. Kakak saya jadi korban. Bapak saya juga!"

"Ma'af, Mbak."

"Ma'af... Ma'af. Enak aja minta ma'af. Keluarga kami sudah kadung dipandang jelek sama orang lain. Kakak saya sudah nangis-nangis karena dipukulin sama istri kamu yang bar-bar. Dan ayah saya ...," Wajah Yuni terlihat berubah sendu. "Kasihan, ayah saya udah tua. Saya gak pernah bicara kasar sama beliau, begitu juga anak-anaknya yang lain. Tapi hari ini, orang lain seenaknya caci maki beliau, di rumahnya sendiri!"

Karena tak kuasa menahan tangis, Yuni meninggalkan dua orang itu di teras rumah. Anto sempat menatap si pria, lalu, si wanita yang ia tahu adalah istrinya.

Dua orang itu memang sudah seminggu ini membawa masalah ke dalam kehidupan wanita yang biasa dipanggil 'mbak Sekar', kakak ipar Anto, yang tak lain adalah kakak perempuan Yuni. Sekar adalah janda beranak empat. Suaminya wafat satu tahun lalu. Sebetulnya, beliau sangat menjaga diri. Sekar keluar rumah hanya untuk bekerja di pabrik. Sisa waktunya digunakan untuk mengurus anak dan orang tuanya -mertua Anto- yang sudah sepuh. Namun, tetap saja, hidupnya tak luput dari ujian. Parasnya yang cantik membuat banyak laki-laki tertarik untuk memperistri. Salah satunya adalah Bani. Pria yang saat ini berdiri di hadapan Anto.

Tanpa meminta izin pada istrinya, Bani melamar Sekar pada ayah mertua Anto. Mengaku sudah diizinkan untuk poligami.

Keluarga besar Yuni belum mengambil keputusan apapun tentang lamaran itu, begitu juga dengan Sekar. Wanita itu bahkan sama sekali tak tertarik untuk menikah saat ini. Namun, ternyata istri Bani memergoki sepak terjang suaminya.

Saat mengetahui suaminya melamar wanita lain, ia kalap. Istri Bani datang ke rumah mertua Anto, memukuli Sekar dan mencaci maki ayahnya yang sudah sepuh. Yuni sangat berang melihat keluarganya diperlakukan seperti itu. Apalagi ketika melihat ayahnya sempat menitikkan air mata saat sedang dicaci maki. Siapa yang bisa terima?

Setelah membuat keributan yang menyebabkan bisik-bisik tetangga menjadi semakin gaduh, juga setelah diceramahi oleh Yuni, dua orang itu pergi. Menyisakan tangis bagi penghuni rumah yang mereka tinggalkan.

.

Satu hari setelah peristiwa labrak melabrak itu, suasana hati Yuni ternyata masih saja suram. Berkali-kali ia membentak Anto karena masih terbawa perasaan sedih. Anto hanya bisa pasrah. Ia mencoba untuk tidak marah. Mungkin butuh waktu untuk Yuni sampai suasana hatinya normal kembali.

"Mamah, makan dulu yuk!" Anto bicara pada Yuni yang sibuk membaca sesuatu di gawai. Pagi itu, mereka tengah bersiap untuk menyantap menu sarapan.

"Dasar laki-laki genit!" Yuni bersungut, bengis.

Seketika, sendok yang dipegang Anto terjatuh setelah mendengar kata-kata istrinya. "Mamah bilang, Papah genit ...?"

Yuni menoleh. "Hah? Oh, enggak. Maksud Mamah bukan Papah. Tapi orang-orang di Facebook ini. Nyebelin banget becandaannya soal poligami melulu. Nanti ada yang salah paham, terus ada korban. Kan kasihan, Pah."

"Oh ...." Anto menghela nafas.

"Papah jangan suka becanda soal poligami ya! Mamah gak suka." Yuni mendelik.

"Mamah, gak semua laki-laki kayak gitu. Ngapain becanda soal poligami. Syariat agama kok dibecandain. Syariat itu dilakuin bukan dibecandain."

"Hah?! Jadi Papah mau poligami?!" Yuni berteriak.

Duh! salah ngomong. Anto menelan ludah. "Bukan gitu. Maksudnya, syariat Islam yang lain, bukan poligami. Syariat kan bukan cuma urusan poligami. Ada zakat, shalat puasa, pergi haji, dan lain-lain."

Yuni menatap lurus wajah Anto, matanya tajam menyelidik. "Beneran itu maksudnya?"

"Iya, Mah. Demi Allah. Lagian Papah mana sanggup poligami. Punya istri satu aja udah berat."

"Apa?! Berat ...?" Yuni amat tercengang.

"Aduh ...! Salah ngomong lagi gue." Batin Anto meronta. Dia lupa kalau istrinya sangat sensitif dengan kata 'berat'.

"Jadi, Papah berat punya istri kayak Mamah?!" Wanita berbobot delapan puluh kilogram itu menjerit.

"Bukan berat yang itu. Maksudnya, berat tanggung jawabnya!" Anto menjelaskan.

"Ah, bodo! Papah ngeselin!" Yuni meninggalkan suaminya sambil bersungut-sungut.

Anto menepuk dahinya setelah kepergian sang istri. "Ya Salam ...! Gini amat yak jadi cowok?!"

Lantas ia teringat kata-kata temannya di kantor tadi pagi. 'Kalau debat sama cewek, jangankan menang, seri aja susah.' Begitu kata temannya.

"Benar sekali!" Anto bergumam sambil mengelus dada. Nasib ... nasib!

Selesai.

Salam sayang


Kamu Nyebelin Aku Ngeselin (kumpulan cerpen drama rumah tangga)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang