13. Motif

9.7K 413 2
                                    

Sudah setengah jam lebih Lira mondar-mandir mengelilingi rak sepatu pria mengikuti Bara yang sedari tadi masih sibuk memilih sepatu mana yang pas untuknya. Lira sedikit tidak habis pikir, biasanya laki-laki itu paling anti jika di suruh keliling berbelanja, tapi kenapa pria satu ini seolah semangat sekali dan tak ada lelahnya.

"Nah iya itu, Pak. Itu sangat cocok untuk Bapak gunakan kalau mau pergi bekerja." tunjuk Lira langsung pada sebelah pasang sepatu yang tengah Bara lihat.

"Ini?" Bara menenteng sepatu berwarna coklat yang terbuat dari kulit imitasi tersebut.

Lira mengangguk. Berharap Bara setuju akan ucapannya, dan segera membeli lalu pergi dari toko ini. Bukannya apa, Lira sudah capek terus melayani Bara yang sedari tadi rempong dalam memilih sepatu. Bayangkan saja, pria itu hanya ingin Lira yang melayaninya dan hal itu sudah berlangsung selama setengah jam lebih. Lebih parah daripada saat Lira melayani kedua ABG tadi sore. Setidaknya Lira hanya melayani saat dua ABG tadi bertanya, selebihnya Lira akan duduk atau berdiri memantau saja jika sedang tidak di butuhkan. Tapi Bara, pria itu ingin Lira terus membuntutinya seperti anak ayam.

Bara memperhatikan setiap lekuk sepatu yang di pegangnya. Baru kali ini ia akan membeli barang yang bukan berasal dari brand ternama.

"Emm boleh juga. Seleramu cukup bagus dan mirip dengan selera saya."

Lira tersenyum. Akhirnya.

"Ukuran kaki Bapak berapa? Boleh di coba dulu, kalau tidak muat saya carikan yang seukuran."

"Empat puluh dua. Ini cuma empat puluh. Sepertinya tidak akan muat."

"Kalau begitu Bapak tunggu sebentar, saya akan carikan."

Saat Lira berjalan ke gudang tempat penyimpanan stok barang. Lira melewati Sefi yang rupanya sedang duduk berjaga di samping pintu gudang. Tentu Lira melemparkan senyum sambil mengangguk dan menyapa sebagai tanda sopannya kepada senior.

"Mbak," 

Tapi ternyata yang di sapa hanya melengos. Waduh, sepertinya tingkat kejutekan Sefi kepada Lira semakin meningkat karena kejadian tadi. Tapi Lira tak ambil pusing, toh niatnya kerja di sini hanya untuk mencari uang, bukan mencari teman.

"Permisi Pak, ini sepatu pilihan Bapak yang ukuran empat puluh dua. Bapak bisa mencobanya terlebih dulu." ucap Lira setelah ia mengambil dua pasang sepatu yang akhirnya di pilih Bara dari gudang.

"Muat, nyaman juga ternyata. Oke, saya ambil ini." ucap Bara ketika mencobanya.

Lira mengangguk. "Baik Pak, sepatunya akan saya packing. Silahkan ke kasir untuk proses pembayaran."

"Wait." tahan Bara ketika Lira hendak melenggang.

"Ada yang bisa dibantu lagi, Pak?" Lira berusaha untuk tetap tersenyum meski dalam hatinya sudah berucap "mau apalagi sih".

"Kamu selesai jam berapa?" tanya Bara to the point.

Lira mengerutkan keningnya, tapi tak ayal ia tetap menjawab. "Jam sembilan, Pak."

"Naik?"

"Jalan kaki, kebetulan kos saya dan mal jaraknya lumayan dekat."

Bara ber-oh-ria dan mengangguk lalu pergi begitu saja. Sementara Lira yang masih di tempat dibuat bingung tidak habis pikir dengan maksud pria itu. Yang bisa Lira lakukan selanjutnya hanya membuang napas dan geleng-geleng kepala, setelah itu ia pun melenggang untuk mengemas.

***

TINN!

Lira sontak terperanjat dan menoleh ketika mendengar suara klakson mobil tepat di belakangnya. Ia baru saja keluar dari area mal dan hendak pulang dengan berjalan kaki.

Mobil itu perlahan mendekat dan berhenti tepat di samping Lira yang tengah berdiri di atas trotoar. Kaca mobil terbuka, lalu terpampanglah wajah Bara.

Lira sempat terkejut sejenak, tapi setelah itu ia mampu mengembalikan ekspresi semula.

"Om Bara? Ngapain?"

"Ayo saya antar pulang."

"Nggak usah, Om. Bentar lagi juga nyampek."

"Ini sudah malam, tidak baik perempuan malam-malam begini jalan sendirian. Bahaya."

"Saya udah biasa kok, Om. Nggak usah repot-repot, makasih, saya duluan." ucap Lira yang langsung kembali berjalan karena tidak mau beradu ucapan lagi dengan Bara.

Lira tetap fokus berjalan meskipun di samping jalan, mobil Bara tetap mengikutinya. Lira berdecak, mengapa pria itu akhir-akhir ini terus-menerus membayanginya. Dan sialnya, pria itu adalah Papanya Arka.

"Suit suit neng cantik, mau kemana nih sendirian aja?"

Lira melirik sekilas ke samping. Dimana ada beberapa anak muda berpenampilan punk tengah duduk di atas pagar pembatas sungai kecil di samping trotoar. Lira tau, mereka memang suka nongkrong disana, tetapi jarang. Dan ini untuk pertama kalinya selama empat hari Lira bekerja, pulang-pulang apalagi jalan kaki begini bertemu mereka.

"Di tanyain kok nggak ngejawab sih, neng?"

Lira mencoba tetap tenang meneruskan langkahnya dan tidak menghiraukan mereka. Sampai Lira merasa salah satu dari mereka ternyata mengikutinya, membuat Lira kemudian semakin mempercepat langkahnya.

"Dih sok cuek amat sih neng, nggak usah takut gitu, abang anterin yok. Gratis kok nggak pake biaya."

Terdengar komplotan anak punk yang masih nongkrong di atas pembatas tertawa dan seolah menyoraki.

Lira ingin lari saja saat ini, tapi takut kalau nanti ia malah semakin di kejar.

Bara akhirnya berhenti dan keluar dari dalam mobil.

"HEH!"

Lira menoleh, baru sadar kalau sedari tadi ternyata Bara juga masih membuntutinya.

Lira dan satu anak punk itu sontak berhenti. Bara mengisyaratkan Lira untuk masuk ke dalam mobil dengan matanya. Kepalang takut dan menganggap kalau saat ini hanya Bara lah yang bisa menolongnya, Lira pun akhirnya menurut.

"Oooh jadi tadi itu pacarnya mister ya? Sori mister sori hehe di kiranya tadi itu mbak-mbak butuh tumpangan, jadi saya mau nawarin." anak punk itu kontan cengengesan melihat Bara yang notabennya memiliki badan diatas rata-rata orang Indonesia dan wajah bule, serta tampang yang tampak mengintimidasi.

Tanpa Bara perlu repot-repot mengucap sepatah katapun, anak punk tersebut langsung berlari kembali ke komplotannya.

Bara mendengus lalu masuk ke dalam mobil.

"Makasih, O–"

"Sudah saya bilang 'kan kalau perempuan berjalan sendirian malam-malam begini itu bahaya? Kenapa kamu ngeyel banget sih!" cecar Bara memotong ucapan Lira.

Lira terhenyak dan menutup mulutnya mendengar Bara yang tau-tau berbicara dengan nada yang seolah sedang mengomelinya.

"Tapi saya biasanya juga pulang jalan kaki sendirian dan nggak kenapa-napa kok. Emang hari ini lagi sial aja ketemu sama anak-anak punk itu tadi."

"Untungnya hari ini saya datang ke tokomu dan menunggu kamu sampai pulang."

Mata Lira membulat. Jadi motif Bara menanyainya tadi karena sengaja ingin menunggunya?

Slept With A Friend's DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang