Dengan langkah yang dipenuhi oleh amarah, Bara berjalan menuju ke arah dua manusia yang dengan entengnya tadi membicarakan mengenai janin yang dikeluarkan dari rahim Lira. Janin itu... Milik Bara juga.
"Bar?" pekik Marisa terkejut mengetahui Bara tiba-tiba datang dengan raut yang sangat tidak bersahabat.
"Apa yang sudah kamu lakukan dengan janin itu ha?!"
Marisa tentu sangat kebingungan dengan keadaan saat ini. Ia hanya membantu sahabat Arka untuk menggugurkan kandungannya, bahkan itu juga telah melalui kesepakatan yang bersangkutan. Lalu kini, tiba-tiba Bara yang merupakan teman satu angkatnya di sekolah menengah atas dulu yang juga merupakan wali dari Arka, datang dan langsung menyambar pembicaraannya dengan nada emosi.
"Apa yang sudah kamu lakukan dengan janin itu, Marisa?!" Bara dengan suara lantangnya berteriak tepat di depan wajah Marisa yang kontan langsung beringsut ciut.
"Lira menggugurkannya, Pa."
Dari samping, suara Arka terdengar datar, tidak ada emosi sama sekali. Bara kontan langsung mengalihkan pandangannya dari Marisa ke arah Arka.
Bara memang sudah mendengar kalimat itu tadi dari Marisa saat menguping, namun kali ini mendengar langsung dari mulut putranya, membuat emosi itu jadi semakin tersulut.
"Sialan kamu Marisa! Kenapa kamu membiarkan dia untuk menggugurkan kandungannya! Dimana dia sekarang? Dimana Lira?!"
"Stop, Pa! Stop! Lira sendiri yang menginginkannya!" Arka berusaha menenangkan Bara yang bertindak anarkis kepada Marisa.
"Dan kamu membiarkannya? Kamu mendukungnya?" cecar Bara yang kemudian mengalihkan pandangannya pada Arka.
"Kenapa enggak? Lira masih punya cita-cita, Pa, Lira mau membahagiakan orang tuanya di kampung halaman. Dan... Aku nggak akan tega membiarkan Lira mengandung anak dari seorang pria yang nggak bermoral!" ucap Arka tajam yang pada akhir kalimatnya seolah memang ditunjukkan untuk Bara.
"Lagian, kenapa Papa bisa tau dan bisa sampai kesini? Dan memangnya apa hubungan Papa sama Lira sampai membuat Papa bisa sempai semarah ini?" lanjutnya menatap Bara dalam.
Bara kembali mengetatkan rahangnya. Masa bodo dengan hubungannya dengan Lira yang selama ini dijalani secara sembunyi-sembunyi. Lagipula sebenarnya Bara ingin seluruh dunia terutama Arka tau bahwa Lira itu miliknya.
"Karena yang kamu sebut pria tidak bermoral itu adalah Papa."
***
Bara menunggu tepat disamping Lira kini tengah berbaring belum sadarkan diri. Namun keadaannya sudah stabil usai pendarahannya pasca pengambilan janin dari rahimnya telah berhenti dan mendapat perawatan intensif.
Mengapa Lira tega melakukan ini semua. Setelah mendengar kabar dari Risty bahwa Lira sedang hamil, hatinya sontak langsung berdenyut aneh hingga bayangan-bayangan masa depan ia bersama Lira dengan anak kecil di tengah-tengah mereka langsung terputar di otaknya.
Bara tau Lira memiliki cita cita serta ingin membahagiakan orang tuanya. Namun mengapa jalan ini yang ia tempuh. Apa Lira tidak percaya kepada Bara bahwa Bara seratus persen akan bertanggung jawab atas semua konsekuensi hubungan mereka. Bara tidak hanya menyukai Lira, pria itu sudah sampai pada tahap mencintai Lira secara gila.
Hingga sebuah erangan lirih dari Lira akhirnya mampu menyadarkan Bara dari pikirannya yang sedang melanglang.
"Lira, Lira, kamu sudah sadar sayang?" dengan perasaan lega Bara lalu keluar dari ruangan untuk memberitahukan mengenai keadaan Lira yang telah sadar kepada perawat yang di tugaskan Marisa untuk berjaga di depan ruangan Lira di rawat, sesuai keinginan Bara.
Risty yang sedang duduk di kursi tunggu di depan ruangan Lira, kontan berdiri saat mendengar suara dari Bara. Begitupun beberapa perawat yang sedang stay disana.
Meski marah dengan apa yang telah dilakukan oleh Marisa kepada Lira, namun Bara tidak bisa seenaknya memindahkan Lira ke rumah sakit berakreditasi tinggi karena kondisinya. Jadilah Bara memutuskan untuk tetap membiarkan Lira di rawat di klinik ini namun ia meminta untuk Lira agar di tempatkan di ruangan dan perawatan yang lebih bagus.
"Mohon tunggu di luar dulu ya, Pak. Kami akan mengecek kondisi Ibu Salira."
Bara hanya mengangguk sekilas mempersilahkan.
"Duduk dulu, Om." ucap Risty yang melihat Bara masih berdiri di depan pintu.
Bara menoleh lalu beranjak dan mendudukan diri disamping Risty.
"Lira pasti bakal baik-baik aja kok, Om." ucap Risty menenangkan.
"Tentu. Lira harus baik-baik saja." ucapnya pesimis. Bara lalu menoleh memperhatikan sekitar. "Kamu disini sendiri? Dimana Arka?"
"Nggak tau, Om, tadi waktu Lira mau di pindah kesini, Arka udah nggak keliatan."
Bara menghembuskan napas berat. Setelah konfrontasinya dengan Arka terakhir kali tadi, ia langsung menerobos masuk kedalam ruangan dimana Marisa membantu Lira menggugurkan janinnya. Ia sudah tidak peduli lagi akan respon Arka setelah mengetahui jika Bara lah Ayah dari janin yang di kandung Lira.
***
Lira tidak mau berbicara dengannya, perempuan itu diam seribu bahasa bahkan saat Bara hanya bertanya bagaimana kondisinya sekarang.
"Mau makan atau minum sesuatu?" tanya Bara kembali setelah sekian pertanyaan tidak digubris oleh Lira. Tapi nyatanya perempuan itu masih tetap sama pada pendiriannya dan bahkan kini posisinya sedang memunggungi Bara.
"Jangan tidur seperti itu, apa kamu nggak merasa sakit?"
Melihat Bara yang sudah berulang kali membuka pembicaraan kepada sahabatnya itu namun tidak digubris, membuat Risty jadi geregetan sendiri. Bukan karena kondisinya masih lemah, ini bahkan sudah dua jam semenjak Lira sadar. Berbicara dengan dokter Marisa saja tadi juga bisa.
"Heh, setelah sadar Lo jadi bisu ya?" ucap Risty sarkas.
Kontan Bara melotot ke arah Risty. "Kamu lebih baik keluar saja, Risty, mencari udara segar atau makanan."
"Lagi bokek, Om."
Bara merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet dari dalamnya.
"Cukup?"
Mata Risty kontan berbinar melihat beberapa lembar uang berwarna merah yang Bara atungkan ke arahnya.
"Oke, cukup. Kalau gitu saya keluar dulu ya, Om. Kalau mau nitip sesuatu telepon aja."
Setelah Risty keluar dari ruangan itu, Bara kembali memfokuskan perhatiannya pada Lira yang kini punggungnya tampak bergetar, Bara mencoba melihat apa yang sedang terjadi, dan ternyata Lira sedang menangis dalam diam.
"Lira, sayang, ada apa? Apa ada yang sakit, yang mana, katakan."
Tapi mendengar hal itu tangis Lira kontan malah pecah. Disitu Bara langsung merasa kebingungan apa yang terjadi dan apa yang sedang Lira rasakan.
Lira tampak menepuk-nepuk dadanya dengan kepalan tangan.
"Apa yang kamu lakukan? Apa dadamu teras sakit? Stop, Lira, stop, jangan kamu pukul-pukul seperti itu!" ucap Bara berusaha menghentikan aksi Lira. Dan setelah Lira sedikit tenang, baru Bara akan beranjak untuk memanggil perawat. Ia panik, takut jikalau Lira sedang merasa kesakitan di bagian tubuhnya.
Namun sesaat sebelum Bara beranjak, Bara mendengar suara lirih Lira.
"Kamu brengsek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Slept With A Friend's Dad
RomanceDemi untuk melunasi hutang akibat kalah dalam taruhan "Siapa yang berhasil mengajak Arka malam mingguan" Lira harus rela menjual keperawanannya untuk satu malam. Namun bagaimana jadinya, jika pria yang malam itu mengambil keperawanannya kebetulan ad...