__________________
Walau rumah kita sudah hancur dan tidak sehangat dulu. Gue bakal berusaha jadi rumah terbaik buat lo.
Sebuah kisah tentang sepasang anak kembar yang dibiarkan begitu saja oleh kedua orang tua mereka.
Hilang tanggung jawab dan men...
"Dokter itu salah, Woo. Gue baik-baik aja," jawab Haruto datar, terus mencoba melangkah. Tapi Jeongwoo tidak membiarkannya.
"Balik, To. Lo butuh pengobatan itu," pinta Jeongwoo, suaranya bergetar, mencoba menahan amarah dan tangis yang mengancam pecah.
"Gue ngga butuh itu," tukas Haruto tegas. "Dibandingin buat gue, mending uangnya lo pake buat biaya sekolah lo!"
"SEKOLAH! SEKOLAH!" Jeongwoo berteriak, suaranya pecah. "Lo tuh kapan mikirin diri lo sendiri, hah?! SADAR, BEGO! Nyawa lo tuh dalam bahaya!"
Haruto menoleh, tapi hanya untuk sesaat. Ia menunduk, menghindari Jeongwoo.
"Stop mikirin gue terus," lanjut Jeongwoo, suaranya melembut, namun penuh luka. "Stop lakuin semuanya buat gue. Gue mohon..." Air mata mulai mengalir dari sudut matanya, tapi ia tidak peduli.
"Lo janji ke gue. Lo bilang lo ngga bakal ninggalin gue. Tapi kalo lo terus gini..." Jeongwoo terisak, suaranya hampir tak terdengar. "Lo bohong, To. Lo bakal ninggalin gue. Lo... lo jahat. Gue benci lo."
Haruto menatap sendu Jeongwoo yang menangis di hadapannya. Ia maju beberapa langkah dan memeluk sang adik. Ia memeluk Jeongwoo erat.
"Maafin gue, Woo," bisiknya. "Maafin gue..."
Jeongwoo membalas pelukan itu, tubuhnya bergetar menahan tangis. "Gue mohon, To. Ikut pengobatan itu. Lo pasti bisa sembuh. Lo harus sembuh, To..."
Tapi Haruto menggeleng pelan, mengendurkan pelukannya. Ia menatap Jeongwoo dengan mata penuh rasa bersalah.
"Gue ngga bisa, Woo. Maaf," ucapnya lirih.
"Lo... lo kenapa ngga bisa, hah?!" Jeongwoo memegang bahunya, memaksa Haruto menatapnya. "Lo takut biaya? Gue bisa cari uang! Gue bakal kerja, gue bakal lakuin apa aja buat lo! Jadi, tolong, jangan gini!"
Haruto tersenyum kecil, tapi itu bukan senyum bahagia. Itu senyum penuh kepedihan.
"Maafin gue," ulangnya, kali ini lebih pelan.
Haruto melepaskan tangan Jeongwoo yang menggenggamnya, lalu perlahan melangkah pergi. Jeongwoo hanya bisa menatap punggung kakaknya yang menghilang, mengaburkannya oleh air mata.
Dan di bawah langit malam yang dingin, Jeongwoo hanya berdiri memandanginya, merasakan dunia di sekitarnya runtuh.