Bab 22

2.1K 222 31
                                    

Selamat Membaca














“Kamu mau bicara sama David?” tanya Sastra yang membuat Heya menatapnya. Lelaki itu tengah memberikan senyuman tipis pada sang kekasih. “Besok keberangkatan dia ke Kanada, kan? Sekarang mau bicara sama dia?”

Heya diam, bagaimana bisa Sastra seolah membaca isi kepalanya? Waktu berjalan dengan cepat, besok adalah keberangkatan David ke Kanada. Teman-teman mereka mengantar kepergian lelaki itu. Tentu tidak dengan Heya.

Namun, gadis itu tampak risau. Ia bukannya tidak merelakan kepergian David. Hanya saja mereka memang belum sempat berbicara. Sebulan sudah Heya bekerja di kantor tempat Haikal bekerja sebagai staff finance. Gadis itu sibuk dengan urusannya. Begitu pun David yang tampak kembali seperti awal pertemuan mereka dulu. Lelaki itu menjadi pendiam dan tertutup.

“Aku nggak keberatan,” ujar Sastra yang kembali menyadarkan Heya. “Dia juga menunggu kamu.” Lelaki itu menatap ke arah belakang Heya, yang membuat gadis itu menoleh.

Mobil mereka berhenti di depan restoran seafood favorit Heya. Lalu, di sana, di tempat parkir, lelaki yang tengah berdiri di depan mobilnya itu menatap ke arah mobil Sastra dengan pandangan lurus.

“Kamu –“

“David meminta izin, dan aku rasa kalian memang harus bicara. Kamu lebih banyak diamnya sebulan ini. Jadi, aku rasa kamu mungkin membutuhkan ini,” selanya yang membuat Heya mengembuskan napas pelan.

“Maaf,” kata gadis itu yang membuat Sastra menggeleng pelan.

“Aku tunggu di dalam, ya.” Lelaki itu melepas seatbeltnya, tersenyum kepada Heya, sebelum membuka pintu. Ia hendak turun sebelum kembali menatap sang kekasih, “Aku sayang kamu. Jangan lama-lama ngobrolnya,” ujarnya yang membuat Heya tersenyum dan memberinya anggukan pelan.

Heya menatap Sastra yang menghampiri David, menyapanya layakanya seorang teman, sebelum berjalan masuk ke dalam restoran. Gadis itu mengembuskan napas pelan, membuka pintu dan keluar dari dalam mobil. Menatap David yang juga tengah menatapnya.

*

“Gue sempat membayangkan, gimana kita seandainya gue memulai hubungan ini dengan baik,” ujar David pelan.

Mereka duduk berdua berhadapan, di teras kedai kopi yang berada di seberang restoran. Heya menatap David yang sudah sebulan ini tidak pernah terlihat. Lelaki itu tampak lebih kurus dari sebelumnya. Lingkaran hitam di matanya menjelaskan jika mungkin saja lelaki itu kesulitan tidur di malam hari. Wajahnya tampak ... kelelahan.

“Gimana kalau gue ketemu lo lebih dulu sebelum ketemu sama Jelita,” lanjut lelaki itu sembari tersenyum. “Perpisahan tiga tahun yang lalu, nggak akan pernah ada kan, Ya?”

Heya diam, memilih menunduk, menatap ke arah tas yang ada di pangkuannya. Meski sebentar, nyatanya kisah antara dirinya dan David membawa dampak yang besar untuk orang-orang di sekeliling mereka.

“Maafin gue, Vid,” ujar Heya sembari kembali menatap David yang membuat lelaki itu menatapnya dengan tatap penuh tanya. “Hari itu, seandainya gue nggak menyambut kehadiran lo, sekarang lo pasti sudah sangat berbahagia dengan kehidupan lo.”

David menggeleng pelan, “Gue yang mengulurkan tangan lebih dulu, Ya. Ini kesalahan gue.” Lelaki itu mengembuskan napas berat. “Karena itu, gue memilih pergi jauh dari lo. Perasaan gue masih ada, Ya. Masih sama seperti dulu. Tapi, sayangnya perasaan gue itu hanya akan memberi lo luka.”

Ia menatap Heya dengan senyuman tipis, matanya tidak bisa berbohong. Ada kerinduan di sana. Rasa itu masih ada, masih sebesar dulu. Namun, lelaki itu menahannya. Heya tidak berbahagia dengan cintanya. Mereka akan akan membuat luka baru. David tidak akan sanggup, jika harus kembali menjadi alasan kenapa Heya terluka.

“Tolong ... jangan mengenang gue dengan buruk. Jangan mengenang gue sebagai lelaki yang hanya bisa memberikan lo luka, tolong kenang gue dengan baik, Ya,” ujar David dengan suara bergetar, menahan tangisnya. Lelaki itu masih menampilkan senyumannya, yang terlihat menyedihkan di mata Heya.

“Untuk semua rasa sakit yang lo rasakan, untuk kesulitan yang harus lo hadapi sendirian, maafin gue, Ya. Maaf karena lo hanya bisa bertemu dengan sisi brengsek dari diri gue. Maaf karena gue nggak bisa memperlakukan lo dengan baik.”

Kedua mata lelaki itu memerah, David terlihat berusaha keras menahan semua perasaan di dalam hatinya. “Jika kehidupan selanjutnya memang ada, mari bertemu lagi, Ya. Mari bertemu lagi sebagai dua orang yang memang direstui semesta untuk bisa saling mencintai. Dan, jika waktu itu tiba, gue pasti akan mencintai lo dengan cara yang baik,” ujarnya yang membuat Heya menunduk, berusaha menyembunyikan tangis yang meluruh di wajahnya.

“Gue pamit, Ya. Ini akan jadi pertemuan terakhir kita. Gue nggak akan menemui lo lagi setelah ini. Gue janji.”

Heya mendongak, menatap kembali ke arah David yang tersenyum sembari menangis menatapnya. Gadis itu menahan rasa sesak di dadanya dan membalas senyuman David dengan tulus.

Ia mengangguk pelan, “Selalu ada alasan kenapa semesta mempertemukan dua orang manusia. Dan, dalam cerita kita, pertemuan ini bukan untuk mencari pemberhentian terakhir. Pertemuan ini ada, hanya untuk membuat kita sama-sama belajar.”

Heya tersenyum dengan matanya yang basah karena air mata, dengan dada yang terasa sesak. Ia menatap David yang juga tengah menatapnya dengan wajah penuh air mata.

“Dan, sekarang pembelajaran itu selesai. Tolong berbahagia di sana, Vid. Karena gue juga akan melakukan hal yang sama di sini. Makasih sudah pernah menjadi alasan kenapa gue harus tetap hidup, di saat dunia nggak pernah berbuat baik sama gue.”

Keduanya sama-sama tersenyum meski wajah mereka banjir karena air mata. Hubungan itu berakhir. Perpisahan penuh air mata ini menjadi gerbang terakhir untuk mereka. David adalah lelaki baik. Heya pun juga gadis yang baik. Keduanya orang baik, jika mereka tidak pernah bertemu satu sama lain.

Malam itu, Heya melepas David dan kenangan pahit di antara mereka. Membiarkan David pergi jauh untuk kembali mengenali dirinya sendiri. Gadis itu melangkah masuk ke dalam restoran dengan mata yang masih memerah dan basah.

“Heya.”

Panggilan itu membuat Heya menoleh, menatap Sastra yang baru saja keluar dari kamar mandi. Lelaki itu tersenyum sebelum berjalan ke tengah-tengah ruangan. Heya menatapnya, menangis tanpa suara, sebelum berlari ke arah Sastra, jatuh ke dalam dekapan hangat lelaki itu. Menangis dan meluapkan segalanya di dalam pelukan Sastra.

“Aku benar-benar mengakhirinya,” ujar Heya pelan di dalam pelukan sang kekasih.

Sastra mengangguk, membalas pelukan gadis itu erat, “Kamu melakukannya dengan baik,” balasnya pelan sembari menatap ke luar jendela restoran yang kacanya tembus pandang itu.

Pandangannya lurus, menatap David yang hendak masuk ke dalam mobilnya. Kedua lelaki itu saling berpandangan, sebelum David tersenyum tipis ke arah Sastra, yang membuat lelaki itu memberinya anggukan pelan.
Kisah itu berakhir, dengan David dan Heya yang berjalan di jalan yang berbeda.









 
 
Tamat.
 

Kisah mereka aku cukupkan sampai di sini ya. Terima kasih sudah mengikuti mereka selama berbulan bulan ini.

Di karyakarsa aku upload sisa perjalanan Sastra dan Heya. Hanya ada mereka dan bagaimana kelanjutan kisah mereka di sana.

David dan Heya memang benar dua tokoh utama yg berakhir di buku berbeda.

Sekali lagi terima kasih.

Sampai ketemu di cerita selanjutnya 🤍🖤

Follow ig, wattpad, karyakarsa, tiktok : Rizcaca21

REASONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang