Chapter 5

748 98 16
                                    


Pagi datang dengan sambutan mentari yang menyembul secara malu-malu. Sinarnya yang menerobos pepohonan membuat pantulan yang apik. Burung yang terbang dengan suara kicauan membuat suasana kian mendukung, embun segar masih menempel di atas dedauan dan rumput yang terlihat memanjakan mata. Jalanan yang tidak terlalu ramai, beberapa muda-mudi berjogging ria sambi berceloteh ceria.

Chika dan Shani memakai hoodie berwarna senada, putih gading di padukan dengan celana training berwarna hitam. Kedua kakak-beradik itu berlari santai sambil mengobrolkan apa saja. Rambut keduanya yang di ikat ponytail tertempa angin pagi yang segar.

"Yang mbak gambar kemarin itu dia emang udah lama disitu. Dia sejenis lelembut dari kumpulan orang-orang meninggal yang pernah kecelakaan di jalan deket sekolah kita. Energinya emang negatif, tapi selama kita nggak ngusik dia, dia nggak akan nyerang. Makanya setiap di perjalanan kita emang harus banget berdoa dulu, minta keselamatan dan di jauhkan dari gangguan metafisik kayak gitu." jelas Chika, sambil berlari kecil di samping Shani.

Shani mengangguk paham. Walaupun dia peka, dia masih belum bisa berkomunikasi dengan makhluk halus, tidak seperti Chika yang di umurnya baru 17 tahun namun kemampuannya sudah hampir setara dengan Eyang Sukma.

"Asal mbak tau aja, ada buto ijo yang jadi penguasa di area sekolah. Mbak tau kan belakang sekolah yang ada sumurnya itu? Nah itu tempat dia berdiam diri. Aku pernah ketemu sama dia. Buto ijo lanang. Dia juga nggak ganggu, tapi nggak suka sama murid laki-laki yang suka kencing sembarangan di belakang sekolah, makanya beberapa murid badung suka tiba-tiba demam setelah habis kencing dari sana." Chika kembali bercerita lagi, dia masih kelas 10 tapi sepertinya Chika sudah kenal dengan seluruh penghuni gaib di wilayah SMA Orison.

"Kalau buto ijo itu mbak juga pernah liat waktu persami dulu. Dan itu pertama kali mbak liat yang namanya buto ijo, mbak kira buto ijo itu visualnya ya kayak buto gitu dek, ternyata kepalanya aja yang mirip buto, badanya ular gede banget warna hijau." ucap Shani, sambil mengusap keringat di pelipisnya menggunakan handuk kecil yang terkalung di leher jenjangnya.

"Nggak semuanya bertubuh ular kok mbak, ada juga yang tubuhnya kayak raksasa besar gitu. Tapi memang lelembut ini biasanya sama orang-orang bodoh di jadikan buat media pesugihan, memang uang yang di dapat banyak, tapi hasil dari semua itu ada sesuatu yang harus di bayarkan. Tumbalnya nggak main-main, manusia loh mbak, dan biasanya yang di jadikan tumbal itu orang-orang terdekat dari si pemuja. Ngeri mbak.." Chika kembali bercerita.

Shani mengangguk-angguk, lalu keduanya berhenti di pinggir jalan, Chika ingin membeli air mineral di warung sebrang, dia kehausan.

"Mbak mau ikut nggak? Aku pengen beli aqua, haus banget."

Shani langsung menggandeng lengan adiknya itu, "ayok deh, mbak juga pengen beli permen."

Keduanya menyebrang jalan dan berlari kecil ke warung pinggir jalan. Chika membeli dua botol aqua dan satu kantong plastik permen berwarna ungu. Shani memang penyuka permen, apa lagi jika sedang menyetir, Shani akan mual jika tidak memakan permen. Itu sudah menjadi ciri khasnya Shani sejak dulu.

Chika duduk di bangku kayu yang di letakkan di depan warung, membuka tutup botol aqua itu lantas meneguknya hingga airnya berkurang setengah. Shani sibuk dengan ponselnya, sekedar berswafoto untuk di bagikan di laman jejaring sosialnya.

Matahari mulai terlihat tanpa malu-malu, sinarnya menerobos melewati seng yang bolong-bolong dari atas warung. Jalanan yang tadinya sepi mulai terlihat ramai, kendaraan berlalu-lalang di sepanjang jalan raya. Siapa bilang Chika dan Shani berjogging di taman? Mereka berjogging di sepanjang jalan raya, karena setiap setelah berjogging Shani pasti akan selalu mengajak Chika untuk membeli nasi jagung kesukaannya di daerah pasar yang tak jauh dari warung ini.

"Yuk balik.." ajak Shani sambil menutup kembali tutup botol aquanya. Chika mengangguk, lalu beranjak dari bangku kayu itu, namun sejurus kemudian suara seperti benda keras yang terbentur juga teriakan histeris dari orang-orang sukses membuatnya terkesiap.

Beberapa bapak-bapak tukang ojek yang mangkal di dekat warung berbondong-bondong menuju ke arah jalanan yang kini sudah di kerumuni banyak orang, lalu tak lama dari arah jalan melintas truk dengan kecepatan lumayan tinggi, teriakan beberapa pemuda untuk menghentikan truk itu menggema menembus kabut pagi yang mulai menipis.

"Ada kecelakaan. Tabrak lari mbak.."

"Astaghfirullah. Ayo lihat dulu dek!"

Chika dan Shani berlarian ke arah kerumunan orang, mereka berdua ikut berdesakan bersama manusia-manusia yang mengerubungi korban. Shani terkesiap, tubuhnya melemas dengan perut yang mendadak mual. Chika langsung memeluk tubuh Shani dari samping, dan Shani spontan memalingkan mukanya, bersembunyi di balik ceruk leher adiknya.

"Innalilahi..." ucap Chika saat melihat korban yang sudah tergeletak tak berdaya, darah segar bersimbah di sepanjang jalan.

Tak lama bunyi sirine dari mobil polisi terdengar menembus ocehan para manusia yang masih berkerumun. Chika dan Shani mundur dan mulai sedikit menjauh dari tempat kejadian. Mata Chika menatap ke sekitar, lalu pandangannya jatuh pada kakek tua yang bertapa di atas sebuah batu. Kakek tua yang tentu saja bukan manusia itu tau jika Chika dapat melihatnya.

"Ono sek sengojo njoroge.."

(Ada yang sengaja mendorong)

Kaket tua itu berkata, tapi tentu saja Chika dan kakek tua itu berkomunikasi lewat batin. Jadi jika orang lain yang melihat Chika, mereka pasti hanya berpikir jika Chika sedang melamun.

"Sinten mbah?"

(Siapa mbah?)

Kakek tua itu tidak menjawab, namun kepalanya menengok ke arah samping, mata Chika bergerak ke arah yang di tunjukkan kakek tua lewat gerakan kepalanya itu. Dan seketika matanya membulat sempurna, ada perasaan ganjil yang kini menyergap, saat dia melihat seseorang yang dia kenal tengah berdiri di pinggir jalan sambil memamerkan smirk yang terlihat abnormal. Bagaimana mungkin di tengah hiruk-pikuk kecelakaan yang baru saja terjadi, orang itu hanya berdiri dengan tatapan datar juga smirk yang terlihat ganjil itu?

"Astaga! Dek! Kamu mau kemana?!! Hey!!" Shani berteriak saat Chika tiba-tiba melesat berlari begitu saja. Dia menerobos beberapa orang yang masih berkerumun, hingga membuat orang-orang itu bersumpah serapah karena kelakuan Chika yang di anggap tidak sopan.

Orang itu, orang yang Chika lihat tiba-tiba menghilang di tikungan jalan. Chika berdiri sambil mengatur nafasnya, matanya menyisir ke segala arah namun hasilnya nihil. Dia sama sekali tidak menemukan orang itu. Chika berdecak, lalu berjalan lunglai dan duduk di depan toko penjual perabotan.

"Dek! Ya ampun! Kamu kenapa sih??! Ngejar siapa????" Shani dari arah trotoar langsung menyembur adiknya itu begitu sampai dan duduk di dekat Chika. Mengatur nafasnya yang naik-turun karena tidak bisa menyamai tempo cepat lari dari sang adik.

"Mbak capek nih ngikutin kamu.. sumpah yaa gara-gara kamu lari-larian gitu kita jadi agak jauh posisinya dari pasar. Pasti ibu penjual nasi jagungnya udah pulang." Shani menggerutu, yang membuat Chika hanya memutar malas bola matanya.

"Mbak..."

"Hmmm apa?? Kamu tuh lihat apa? Ngejar siapa??" tanya Shani sambil menatap adik semata wayangnya itu.

"Tadi aku lihat Jinan."


TBC.


KataChika

* Lanang = Laki-laki


Jangan lupa tutup jendela!

WENGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang