Chapter 17

570 86 4
                                    


Hujan di pagi hari sungguh membuat beberapa orang malas untuk melakukan aktivitas. Rintik air yang turun, membasahi apa saja yang berada di luar ruangan. Chika duduk terdiam dengan cangkir berisi teh yang masih mengepulkan asapnya, pikirannya mulai bercabang kemana-mana, mencari cara agar sukma Jinan bisa kembali ke raganya, namun sepertinya mustahil. Keluarga Raharja sudah terikat perjanjian dengan iblis merah itu, dan Jinan sudah di serahkan sebagai tumbalnya.

"Dek? Kok nglamun?" Shani menyentuh pundak Chika, yang langsung membuat gadis itu terperanjat. Chika menoleh ke arah Shani, menatap wajah kakaknya itu dengan sendu.

"Kita ke rumah sakit sekarang mbak.." Chika bangkit dari duduknya, lalu berjalan lunglai melewati Shani. Shani hanya mengangguk dan menatap punggung adiknya itu yang kian menjauh.

Mobil civic type-r berwarna putih itu berhenti di parkiran rumah sakit, Chika dan Shani turun bersamaan, keduanya langsung berlari kecil menuju ke ruangan tempat Jinan di rawat. Rumah Sakit terlihat tidak terlalu ramai karena waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi. Chika dan Jinan berlarian menyusuri koridor-koridor setelah bertanya pada perawat yang berjaga.

"Mbak, aku rasa tidak ada cara lain untuk menolong Jinan, sukma Jinan sudah bau mayat.." ucap Chika di sela larinya, sambil menoleh ke arah Shani. Raut wajah Chika terlihat sendu.

"Udah nggak apa-apa, kita kan belum tau akhirnya bakal kayak apa, yang penting kita pastiin dulu keadaan Jinan." balas Shani, lalu berbelok ke arah kanan, dimana ruangan Jinan berada.

Chika mengangguk, namun langkahnya terhenti, begitu pun juga Shani yang berdiri di sebelah Chika. Di depan ruangan Jinan, beberapa orang tengah bergerombol, ada wanita paruh baya yang menangis sesenggukan, juga pria yang tengah duduk dengan raut wajah kosong namun terlihat begitu banyak beban di mata kosongnya itu. Chika langsung berjalan cepat menuju ke orang-orang itu, yang di ikuti Shani dari belakang.

"Nuwun sewu..." ucap Chika dengan tubuh sedikit membungkuk di sertai senyum tipisnya.

(Permisi...)

"Maaf bu.. pak... Kami berdua temennya Jinan di sekolah, ini bener ruangannya Jinan di rawat?" tanya Chika sesopan mungkin, Shani masih diam di sebelah Chika.

"Oh iya leres ini ruangannya Jinan. Kalian mau menengok Jinan yaa?" seorang wanita dengan kisaran usia 40 tahunan menjawab pertanyaan Chika.

(Benar)

Chika mengangguk.

"Apa Jinan ⎯  "

"Ndoro Ayu wes raono.. wes di pundut karo Gusti Allah.." bapak-bapak paruh baya dengan kemeja batik itu memotong ucapan Shani, yang langsung mendapat respon terkejut dari Shani maupun Chika.

(Ndoro Ayu sudah tidak ada.. sudah di ambil oleh Gusti Allah..)

"Innalilahi..."

Shani menutup mulutnya, "Innalilahi..."

Chika terdiam, dengan mata yang berkaca-kaca, kepalanya lalu menoleh ke ujung lorong, dimana sukma Jinan Kecil terlihat tengah menangis sesenggukan.

"Mbak... Kita terlambat..." Chika langsung menghambur ke dalam dekapan Shani, yang langsung mendekapnya sambil mengelus lembut rambut panjang adik semata wayangnya itu. Chika terisak, bahunya berguncang, menyalahkan dirinya sendiri.

"Andai aja aku lebih cepat.." monolog Chika yang masih bisa di dengar oleh Shani.

"Udah dek udah.. nggak ada yang perlu di sesali, kamu nggak boleh nyalahin diri kamu sendiri. Kita udah berusaha tapi takdir Gusti Allah yang menentukan.." ucap Shani menenangkan Chika, yang langsung di angguki oleh gadis itu.

WENGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang