11. Kejujuran yang Tak Berbuah Manis

291 36 0
                                    

Waktu terasa berjalan sangat cepat bagi Vernon, terbukti dari langit yang tadinya berwarna kuning menuju jingga sudah berubah menjadi biru gelap. Vernon sendiri tak sadar akan perubahan waktu karena terlalu fokus dalam mengerjakan tugasnya.

Alasan lain mengapa Vernon begitu menyibukkan dirinya dalam mengerjakan tugasnya tentu dikarenakan Joshua. Vernon hanya berusaha mencari kesibukan agar otaknya tidak memikirkan tentang Joshua.

Ketika tugasnya yang masih punya 3 hari sebelum dikumpulkan telah selesai, Vernon pun kembali teringat dengan Joshua. Pulpen ketiknya dia tekan berulang kali seiring dengan pertanyaan memutari kepalanya.

Apakah Joshua makan dengan baik? Ah, tidak, tidak. Apakah keadaan Joshua sudah membaik?

Lagi dan lagi, Vernon merasakan ada beribu-ribu rasa bersalah yang tiba-tiba menikamnya. Vernon hanya ingin tahu keadaan pemuda itu, tetapi setiap kali dia mengingat namanya saja sudah sangat menyakitkan.

Kesalahan tidak berpusat pada Joshua, kesalahan berpusat pada dirinya dan teman-temannya. Ringisan keluar dari mulut Vernon. Dia baru teringat dengan keadaan hubungan pertemanan mereka.

Ada rasa penyesalan yang muncul dalam benak Vernon. Seharusnya dia tidak memikirkan tentang Joshua serta hubungan pertemanannya yang dilandasi satu perasaan sama terhadap Joshua setelah dia mengerjakan tugasnya.

Mau tak mau, Vernon harus mencari cara lain demi bisa menghilangkan pening di kepalanya dan Vernon memilih untuk makan. Tidak terlalu lapar sebenarnya, tetapi dia tidak akan sanggup menghadapi kemarahan ibunya bila dia melewatkan makan malam.

Vernon biarkan pintu kamarnya terbuka lebar setelah dia keluar dari kamar untuk menuju ke dapur. Untuk sup Vernon panaskan kembali, sementara lauk yang berupa ayam berbalut tepung roti dia cemplungkan ke dalam minyak panas.

Semua itu Vernon lakukan dalam waktu singkat. Toh, Vernon hanya ingin memanaskan lauk-lauk yang tersisa. Setelah selesai, dia bawa nampan berisi makan malamnya ke dalam kamarnya.

Semua buku yang memenuhi meja disingkirkan secara acak agar Vernon bisa meletakkan nampannya secepat mungkin. Vernon sedikit bergegas memang dikarenakan jendela kamarnya yang lupa dia tutup. Tak mau menjadi santapan nyamuk, Vernon pun sesegera mungkin mendekati jendela kamarnya.

Langkah kakinya mendadak menjadi pelan saat matanya menangkap ada jemari tangan yang menggenggam erat bagian bawah daun jendela kamarnya. Sinyal siaga dalam diri Vernon langsung saja muncul.

Belum sempat Vernon berdiri tepat di depan jendela, sosok yang berada di bawah jendela sudah lebih dulu menegakkan tubuhnya. Tak perlu waktu lama bagi Vernon untuk membeo, "Joshua?"

"Hai, Vernon!" sapa Joshua, melambaikan tangannya bersamaan dengan senyumnya melebar. "Hehe, aku kabur dan aku mau ngomong sesuatu, jadi aku ke rumah kamu deh," jelas Joshua tanpa ditanya saat melihat ekspresi bingung Vernon.

Vernon bergeser, membuat gestur yang mempersilakan Joshua untuk masuk. Benar saja, Joshua langsung memanjat jendela kamar Vernon dan mendaratkan kakinya di atas lantai marmer kamar Vernon.

"Duduk di atas tempat tidurku aja," ujar Vernon pada Joshua yang diikuti oleh sang lawan bicara. Joshua daratkan tubuhnya di atas kasur Vernon, sementara si pemilik kamar duduk di atas kursi belajarnya.

"Kamu nekat kabur? Kok bisa lolos?" tanya Vernon, melirik sedikit ke arah Joshua sembari menyeruput supnya.

Joshua mengangguk kecil, "Bisa lolos karena security-nya ketiduran. Aku nekat juga mau nyari tau sesuatu, sih." Vernon menggerakkan kepalanya sebagai tanda agar Joshua bisa melanjutkan kalimatnya.

"Janji, kamu harus jujur, ya? Ini kesempatan terakhir aku soalnya." Mendengar permintaan Joshua, Vernon sontak mengangguk. Namun alisnya seketika tertaut ketika otaknya berhasil mencerna kalimat kedua yang Joshua lontarkan.

[✓] And Then We Were None | Joshua CentricTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang