3. Angan yang Mengambang di Ruang Musik

445 43 0
                                    

Biasanya, di waktu menuju akhir hari selalu diisi dengan hal-hal yang terasa hangat. Sinar matahari yang pada awalnya terik berubah menjadi hangat, menyisakan cahaya keemasan yang menyentuh kulit.

Angin juga tak mau kalah. Sebagai tanda terima kasih karena sudah menjalani kegiatan masing-masing, angin bertiup pelan secara berkala. Sengaja agar membuat orang-orang yang berjalan di bawah matahari tidak merasa terbakar.

Banyak helaian rambut yang beterbangan, banyak pula tawa yang saling menyahut. Mungkin hari mereka diawali dengan sedikit kekesalan, namun hal itu juga langsung kandas saat mereka berada di penghujung hari.

Mungkin hari mereka tidak diawali dengan suasana hati yang baik, tetapi niat mereka tetaplah baik. Semua yang diawali dengan niat baik harus diakhiri dengan sesuatu yang baik, bukan?

Hal itu hanya ada di dalam pikiran Woozi. Perkiraannya yang bilang bahwa sore ini akan bercuaca hangat terlempar jauh-jauh. Tak ada cahaya keemasan yang jatuh menimpa kulit, hanya ada bulir hujan yang terus mengguyur tanah.

Jarak pandang pun tak bisa terlalu diandalkan bila ada kabut yang muncul. Lengkap sudah sore ini. Suasana abu-abu ditambah dengan derasnya suara hujan menjadi redupnya banyak semangat orang untuk kembali ke rumah dan beristirahat.

Woozi tak ambil pusing bila dia tidak diperbolehkan pulang oleh cuaca. Jika bisa, dia akan tinggal semalaman di sekolah. Ya, itu pun bila penjaga tidak berkeliling.

Pintu di hadapannya dia buka dan dia dorong, kakinya juga ikut melangkah maju. Setelah itu, dia dorong pintu kayu itu dengan kakinya. Telinganya seketika tak mendengar suara hujan saat pintu itu benar-benar tertutup rapat.

Tak heran sebenarnya mengingat dia sedang berada di dalam ruang musik. Ada busa-busa yang terpasang pada dinding-dinding untuk mencegah suara terdengar hingga ke luar ruangan.

Mata Woozi melirik ponsel yang tengah dia genggam untuk membaca pesan dari ayahnya. Jemari Woozi bergerak dan menari di atas papan ketik, mengetikkan balasan singkat yang sudah pasti ayahnya pahami.

Dia tekan tombol power cukup lama sampai memunculkan beberapa pilihan. Pilihannya jatuh pada matikan daya yang seketika membuat layar ponselnya berubah menjadi hitam.

Bagi Woozi, tak ada yang boleh mengganggunya. Tidak ada satupun hal yang boleh mengganggunya ketika dia sedang berada di ruang musik. Ruang musik adalah satu-satunya tempat teraman yang dia punya.

Bagi dirinya sendiri, tak ada lagi tempat teraman yang dia punya selain ruang musik. Rumahnya tidak memiliki keadaan damai yang dia idam-idamkan seperti di ruang musik. Hanya saja, kelasnya sempat menjadi salah satu tempat teraman yang dia punya.

Sempat. Sekarang tak lagi. Dulu, di kelasnya terdapat satu orang yang dia sukai. Ralat, bukan dia, tetapi mereka. Yang menyukai pemuda itu bukan hanya dirinya, 11 temannya juga merasakan hal yang sama.

Ah, haruskah Woozi sebut sebagai mantan teman? Mungkin tidak mengingat mereka termasuk ke dalam barisan teman pertama yang Woozi punya di masa SMA-nya.

Sungguh, Woozi berani bersumpah bahwa dia bukanlah seseorang yang mudah berteman. Di kelasnya yang dulu, sebelum dia dipindahkan ke kelas 12-6, tak ada satupun yang ingin berteman dengan dirinya hanya karena tampangnya.

Penampilan luar Woozi biasa saja sebenarnya, hanya saja raut wajah Woozi selalu dikira galak. Dengan dasar wajahnya yang terlihat garang, teman sekelas Woozi pun selalu menjauhinya dan berusaha untuk tidak berurusan dengannya.

Woozi yang merupakan salah satu pemimpin klub musik selalu singgah di ruang musik, satu-satunya ruangan yang kuncinya ada bersama dirinya. Alat musik yang ada di sana merupakan satu-satunya teman yang dia miliki di sekolah ini.

Semua itu berubah saat dia dipindahkan ke kelas 12-6. Di sana, dia bertemu dengan Joshua. Dia kira, akan terjadi hal yang sama seperti di kelasnya yang sebelumnya, yaitu keberadaannya yang tidak dianggap.

Pikirannya itu buyar saat Joshua memperkenalkan dirinya dan ingin mengajak Woozi berteman. Pertemanannya dengan Joshua juga menjadi awal pertemanannya dengan 11 orang yang lain.

Mereka, termasuk Woozi, menganggap bahwa Joshua lah pusat dari seluruh perhatian mereka. Pertemanan mereka berdasar dari Joshua.

Ketika pusat pertemanan mereka tidak lagi ada, mereka menolak bertahan. Bangunan ketika tiangnya dihancurkan akan rubuh, bukan? Sama seperti mereka. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk hancur.

Semua itu ada di dalam pikiran Woozi sembari jari-jarinya bermain di atas tuts piano. Jemarinya hanya bergerak asal, mengikuti instingnya. Namun, terlihat sekali ada perasaan sedih dan amarah yang menggebu-gebu dalam dirinya.

Kadang Woozi pelankan temponya, membiarkan perasaan sedih menguasai dirinya. Kadangkala Woozi percepat iramanya saat dia merasa amarah yang melingkupi dirinya. Permainan pianonya berhenti ketika dia menekan beberapa tuts dengan keras.

"Kerennya..." gumam seseorang di belakang punggung Woozi. Dengan cepat, Woozi berbalik untuk melihat siapa yang memuji dirinya.

Mata Woozi membelalak, tak menyangka dengan kehadiran Joshua di dalam ruang musik. "Shua? Kamu kok bisa disini?" heran Woozi. Dalam hatinya dia bingung setengah mati. "Kamu gak nembus hujan, kan?"

Joshua menggeleng, "Nggak, dong. Aku suntuk, jadinya kabur ke sekolah, deh." Woozi memaklumi saja, dia pernah merasakan hal yang sama dengan Joshua dan keinginan untuk kabur itu lumrah baginya.

Setelah berdiri, Woozi mengambilkan kursi kayu yang ada di balik alat musik drum. Dia juga mengambil remote pendingin ruangan. Barulah dia kembali ke dekat Joshua dan meletakkan kursi itu di dekat kursinya.

Woozi juga mematikan pendingin ruangan. Dia tidak masalah dengan pendingin udara yang menyala selama hujan, tetapi dia cukup jeli untuk memperhatikan bahwa Joshua memeluk dirinya sendiri sebagai tanda kedinginan.

"Makasih, Uji," ucap Joshua. Di wajahnya juga terdapat senyuman lebar yang sangat menggemaskan. Senyuman favorit Woozi. Sedangkan Woozi hanya bisa tersenyum simpul sebagai balasan.

Sembari mendudukkan diri, Woozi bertanya, "Kamu gak kehujanan, kan? Nanti malah tambah sakit." Woozi perlu memastikan bahwa Joshua tidak nekat menembus hujan hanya untuk menghilang sejenak.

"Aku aslinya udah kabur dari sejam yang lalu, sebelum hujan. Aku sengaja gak bawa apapun biar gak bisa dilacak," jawab Joshua, cengengesan. Woozi hanya bisa menghela nafas lega, paling tidak Joshua tidak kehujanan.

Tak mau tenggelam dalam keadaan hening, Woozi pun membuka pembicaraan. "Coba kasih tau aku apa yang mau kamu denger dari piano, apa aja," pinta Woozi pada Joshua. Hal itu langsung memaksa Joshua untuk berpikir keras.

"Apa aja?" ulang Joshua.

Woozi mengangguk, "Ya, apa aja." Senyum Woozi diam-diam mengembang saat melihat Joshua yang mengerucutkan bibirnya, tanda bahwa dia sedang berpikir keras.

"Uji tau River Flows in You, gak?" Mendengar hal itu, Woozi sontak mengangguk. Itu adalah lagu yang pertama kali dia pakai untuk melatih kemampuan dalam bermain piano, tentu dia ingat dengan jelas.

Jari-jarinya bermain dengan lincah di atas tuts, melompat dari satu tuts ke tuts lain. Tak butuh perhatian lebih, Woozi sudah ingat di luar kepala setiap tutsnya. Kepala Woozi tertoleh sedikit untuk melirik Joshua.

Mata Joshua terpaku pada jemari Woozi. Mulutnya pun terbuka, menandakan ketakjubannya yang begitu besar. Hal itu membuat Woozi kembali tersenyum dalam diam. Jika dia bisa, dia akan memainkan pianonya terus-menerus hanya untuk Joshua.

"Wah, keren!" puji Joshua setelah lagunya berakhir. Tepukan tangan juga Joshua berikan pada Woozi sebagai apresiasinya. Tak disangka Joshua menambahkan, "Andai kita punya piano di tempat nongkrong kita, mungkin Uji bakal main piano terus, ya?"

Angan yang tak akan pernah terjadi. Tempat itu sudah kosong, tak ada tanda kehidupan. Mereka tak pernah lagi berkunjung ke sana dalam satu kesatuan. Mereka sudah terpecah belah.

Woozi hindari tatapan berharap Joshua dengan mengalihkan pandangannya ke tuts piano. Daripada membalas angan-angan Joshua, Woozi lebih memilih untuk menghindari topik tentang pertemanan mereka, "Shua, kamu mau coba dengar lagu yang aku pelajarin akhir-akhir ini, gak?"

[✓] And Then We Were None | Joshua CentricTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang