5. Lukisan dan Binar Matanya yang Indah

345 35 0
                                    

Sinar matahari pagi yang cukup terik menjadi awal dari hari yang sibuk. Sudah ada kemacetan di sepanjang jalan raya, tanda dari perpaduan para pekerja kantoran dan pelajar. Jalanan sudah sibuk di waktu dimana para pengguna jalannya baru menuju ke kewajiban mereka sendiri.

Banyak orang mengeluh karena awal hari yang terik ini. Mereka tidak terbiasa ketika sinar matahari begitu menyengat pada paginya di saat dingin menusuk mereka di malam sebelumnya. Kulit mereka terkena syok karena perbedaan suhu yang cukup drastis.

Keluhan itu tidak berlaku pada Xu Minghao. Begitu kakinya menginjak anak tangga terakhir, kulitnya bisa merasakan dengan jelas sinar matahari yang menyengat. Walau begitu, dia tidak mengeluh. Dia terbiasa dengan semua keadaan itu.

Didorongnya pintu rooftop cukup kuat, menciptakan dentuman yang tak kalah kuat. Minghao yakin di pagi hari ini tidak mungkin ada yang ke atap, terutama ketika sinar matahari sangat membakar kulit. Oh, tentu, Minghao sebagai pengecualian.

Selain karena terbiasa dengan suasana ekstrim, Minghao juga memiliki alasan lain. Dia tidak hanya ingin sendiri, tetapi dia juga ingin melarikan diri dari kelasnya. Kelas yang dulunya menjadi tempat ternyamannya, sekarang berubah menjadi tempat asing baginya.

Jangan tanya Minghao betapa hancurnya situasi kelas. Hancurnya memang tidak secara harfiah sehingga orang lain tidak akan mengerti. Mereka dalam keadaan melebur, hancur berderai akibat kehilangan seseorang.

Minghao ingat dengan jelas bahwa banyak yang saling menunjuk satu sama lain pada malam itu, termasuk dirinya. Mereka seakan-akan melimpahkan kesalahan pada masing-masing di antara mereka.

Selain terbebani tuduhan-tuduhan tak berdasar yang temannya lemparkan, mereka juga terbebani rasa bersalah. Rasa bersalah yang mereka rasakan juga seperti memakan mereka hidup-hidup dan hanya menyisakan raga mereka.

Jiwa mereka bagaikan menghilang, melayang bersama seseorang yang mereka sayang.

Tentu, Minghao tidak mau berada di satu ruangan yang sama dengan orang-orang yang menunjuknya pada malam itu. Lebih baik dia pergi mencari ketenangan dan pilihannya jatuh pada tempat ini.

Namun, ketenangan yang dia cari tak kunjung datang. Di saat dia ingin melupakan semua hal yang sedang terjadi, otaknya terus memutar kenangannya bersama seseorang. Beribu-ribu pertanyaan terlintas dalam benaknya saat mengingat orang itu.

Apakah dia sudah membaik? Apakah dia nyaman-nyaman saja di tempat itu? Kepala Minghao penuh dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Sayangnya, dia tidak bisa mengunjungi orang yang dia sukai itu.

Dengan dasar pemikiran yang sama dengan teman-temannya, yaitu mereka adalah penyebabnya, Minghao tidak berani bertemu dengan dia. Keberaniannya tak kunjung terkumpul karena pemikiran itu.

Mencoba melegakan pikirannya, Minghao tarik nafasnya. Dua detik kemudian dia hembuskan perlahan, walau ada sedikit sendatan. Minghao begitu merindukan sosok itu, sehingga membuatnya datang ke atap sekolah.

Jika dia merindukan orang itu, dia akan memperhatikan foto orang itu yang terdapat di dalam ponselnya. Tetapi, ada cara lain yang akhir-akhir ini sering Minghao lakukan.

Menggambar.

Setiap kali wajah orang itu terlintas, akan dia ambil media gambar yang ada di sekitarnya. Walaupun itu hanya kertas tipis, Minghao tetap torehkan goreskan di atas kertas itu. Media gambar itu akan selalu terisi dengan sketsa wajah orang yang ada di dalam kepala Minghao.

Kali ini, Minghao mengambil langkah lain. Keputusannya juga sudah bulat. Begitu bulat sampai-sampai dia rela melewati pelajaran pertama yang akan segera berlangsung hanya untuk melukis.

[✓] And Then We Were None | Joshua CentricTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang