4. Lapangan Basket Itu

401 39 0
                                    

Warna jingga memenuhi langit, mendominasi keadaan menuju malam itu. Jingga yang dihasilkan sungguh pekat sehingga semua orang pasti sadar bahwa itu adalah saat dimana rumah akan menyambut mereka kembali.

Berlatarkan langit jingga, banyak hewan-hewan yang kembali menuju ke kediaman mereka setelah cukup lama mencari makan. Manusia juga begitu, mereka sudah sangat siap terkapar di rumah mereka. Mereka hanya perlu tahan dengan kemacetan yang terjadi.

Kadangkala, jari-jari mereka diketukkan ke segala macam benda di dalam kendaraan mereka. Tak ada alasan, hanya untuk mengisi kesunyian. Kadang juga jam tangan mereka yang dilirik, berakhir dengan dengusan nafas.

Cukup untuk dipahami bahwa mereka masih memerlukan tingkat kesabaran yang lebih walau sudah menjalani kehidupan seperti ini selama bertahun-tahun.

Nampaknya, Mingyu tak seperti itu. Di saat kebanyakan orang ingin cepat-cepat sampai di kastil ternyaman mereka, Mingyu malah ingin secepat mungkin pergi dari rumahnya. Dia baru saja menginjakkan kakinya ke dalam rumahnya, dan tak butuh waktu lama untuk dia kembali meninggalkan rumahnya.

Kepala Mingyu menyembul dari balik semak-semak, celingukan sembari memperhatikan keadaan. Melihat pos penjaga yang kosong membuat Mingyu berseru senang dalam hati. Dengan cepat, dia bergerak keluar dari semak-semak itu.

Tidak, Mingyu tidak ingin melakukan hal-hal kriminal. Dia hanya ingin bermain bola basket di lapangan basket yang sekolahnya miliki. Sengaja Mingyu tunggu agar penjaga pergi akibat dari jam bekerjanya yang sudah selesai.

Menurut Mingyu, bermain basket adalah salah satu cara untuk bisa melegakan perasaannya dan Mingyu tidak mau disuruh kembali ke rumah di saat perasaannya belum lega. Tak ada cara lain untuk masuk ke dalam sekolah selain menyelinap masuk, dan cara itulah yang Mingyu tempuh.

Mingyu amati pagar besi yang ada di hadapannya dengan seksama. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya dia menyelinap masuk. Beberapa bulan yang lalu dia pernah menyelinap, namun bersama dengan teman-temannya.

Waktu itu, dia lah yang menjadi tumbal untuk memanjat pertama agar bisa membukakan gerbang dengan jepit rambut. Ada rasa takut saat Mingyu melihat pagar besi yang menjulang itu, membuat dirinya sedikit ragu.

Hanya ada satu orang yang tidak menunjuk dirinya. Orang itu meyakinkan Mingyu bahwa dia tidak harus memanjat yang pertama. Orang itu juga yang mengajukan dirinya sebagai pengganti Mingyu.

Mengingat itu semua, Mingyu tersenyum. Kali ini, senyumnya sinis. Ternyata dia masih bisa mengingat hal itu di saat pertemanannya sudah rubuh. Siapa mereka? Dia tak butuh mereka. Mereka hanya sekumpulan orang-orang yang tak lagi dia kenal.

Mereka bukan lagi teman, mereka hanya orang asing di mata Mingyu. Hanya ada pengecualian, untuk satu orang yang dia sukai.

Pikiran tentang teman-temannya secepat mungkin dia hapus. Tas rajutnya dia lepas, dan dia genggam dengan erat. Beberapa kali Mingyu mundur, harap-harap bisa membuat jarak yang tepat. Setelah dirasa pas, tas rajutnya dia lemparkan ke dalam pagar.

Di luar dari perkiraannya, tas yang dia lempar tidak menyangkut sama sekali. Justru tas itu terlempar cukup jauh, menandakan keberhasilan Mingyu. Setelah merasa tasnya aman, Mingyu pun bersiap-siap untuk memanjat.

Kedua tangannya berpegangan erat pada dua batang besi. Setelah cengkeramannya dipastikan stabil, barulah satu kakinya naik ke batang besi yang horizontal. Mingyu beberapa kali juga memastikan pegangannya sebelum akhirnya satu kakinya naik dan membawa seluruh berat badannya.

Pandangan Mingyu beralih pada tiang beton di sampingnya. Dengan cepat, dia daratkan kedua tangannya di puncak tiang beton itu, bergelantungan karena kedua kakinya sudah mengambang.

Namun, aksi berbahaya itu tak berlangsung lama. Mengingat tubuhnya yang sedikit atletis, Mingyu bisa bawa tubuhnya melewati pagar melalui tiang beton itu. Tak butuh waktu lama bagi Mingyu untuk mendaratkan kakinya di atas tanah.

"Selamat, Gyu, gak jadi tinggal nama," ucap Mingyu pada dirinya sendiri. Tas yang tadi dia lempar dia ambil dan dia sangkutkan pada satu bahu. Langsung saja Mingyu bawa kakinya menuju tempat tujuannya.

Tentu, sekolah itu kosong melompong. Hanya ada kesunyian yang mengisi lorong. Suara kendaraan dari luar pun hanya terdengar samar-samar. Keadaan yang paling Mingyu idam-idamkan untuk merenungi permasalahannya.

Langsung saja Mingyu keluarkan bola basket yang dia bawa dalam tas rajutnya sesampainya dia di lapangan basket. Sembari memantulkan bola, pikirannya melayang-layang.

Pikirannya kerap berpusat pada Joshua, pemuda yang dia sukai sejak lama. Bagaimana kabarnya? Apakah dia baik-baik saja? Semua pertanyaan itu membuat Mingyu ingin bertemu Joshua, jika saja urat malunya sudah tidak ada.

Nyatanya, dia sama bersalahnya dengan yang lain. Jika dia tetap bertemu dengan Joshua, dia merasa menjadi seseorang yang tak memiliki malu. Dia harap, Joshua tahu bahwa dia akan tetap menunggu Joshua.

"Huuu, Mingyu jelek mainnya!" Setelah bolanya gagal masuk ke dalam ring basket dan jatuh ke tanah, Mingyu mendengar suara itu. Tapi Mingyu bingung, kenapa Joshua bisa ada disini?

Kepala Mingyu menoleh, menatap Joshua yang berada di seberangnya. "Shua, kamu kenapa bisa masuk sini?" tanya Mingyu. Dia juga dengan tergesa-gesa menghampiri Joshua dan menggenggam kedua bahunya.

"Karena... gerbangnya gak dikunci?" jawab Joshua. Terdengar pula keraguan yang ketara.

Merasa pertanyaannya belum terjawab, Mingyu kembali melempar pertanyaan, "Lalu kenapa kamu ke sini?"

"Bosan. Aku kabur." Mendengar jawaban dari Joshua, Mingyu menghembuskan nafas lega. Rambut Joshua dia acak-acak, membuat Joshua merengek. "Mingyu, rambut aku!" rajuk Joshua, berusaha menghentikan tangan Mingyu.

Mingyu hanya menjulurkan lidahnya, mengejek Joshua sebelum akhirnya kembali memeluk bola basketnya. Dua jari Mingyu menunjuk matanya sendiri setelah dia menunjuk bola basket yang sedang dia pegang. Balasan Joshua hanya senyum jahil sambil mengendikkan bahu.

Tangan kanan Mingyu mulai memantulkan bola ke tanah. Bola itu ditangkap dengan tangan kirinya, kemudian tangan kanannya, berulang kali. Kadang Mingyu bawa bola itu melewati kedua kakinya layaknya pemain profesional.

Senyum Mingyu mengembang saat melihat raut terkejut Joshua. Ingin membuat Joshua semakin terkagum-kagum, Mingyu tembakan bola itu ke dalam ring dari tengah lapangan. Tentu hal itu berhasil membuat Joshua kagum.

"Gimana? Masih jelek mainnya?" tanya Mingyu, kedua alisnya naik. Dia membalikkan ejekan Joshua tadi. Hanya saja, Mingyu tidak menyangka bahwa Joshua akan menggeleng dengan senyum lebar yang terpampang di wajahnya.

"Hehe, nggak. Mingyu keren. Bangeeet." Pujian biasa, tapi jika keluar dari mulut seseorang yang kita suka berubah menjadi luar biasa, bukan? Itulah yang Mingyu rasakan. Hatinya berseri-seri mendengar pujian dari pujaan hati.

Ketika dia berjalan mendekati Joshua, tiba-tiba ada pertanyaan yang tercetus. "Mingyu sama Hannie kalau main bareng gimana, ya?" Ah, Yoon Jeonghan. Dia sejujurnya cukup dekat dengan Jeonghan, tetapi hubungan mereka merenggang karena perselisihan di antara mereka.

Senyum hambar Mingyu muncul, "Jangan bahas dia, Shu."

Larangan dari Mingyu tentu membuat Joshua bertanya-tanya. "Kenapa? Kenapa gak boleh? Kan, kalian berdua sama-sama suka olahraga," tanya Joshua, bibirnya mengerucut.

Badan Mingyu memang besar, tapi nyalinya tidak sesuai dengan badannya. Dia tak mau menjelaskan kenapa mereka berselisih paham yang otomatis akan mengungkap rahasianya. Mau tak mau, Mingyu berbohong. "Kan, kita beda. Dia futsal, aku basket," bual Mingyu.

Tak mau membuat Joshua kembali bertanya-tanya, Mingyu ajak Joshua mendudukkan diri di tengah lapangan. "Sini, deh. Aku mau nunjukkin jurnal harian ku." Raut bingung Joshua seketika berubah menjadi ekspresi senang.

Mingyu harap, dia bisa mendistraksi pikiran Joshua. Joshua tidak harus tahu apa yang terjadi di antara mereka. Apa pun yang terjadi di antara mereka harus dirahasiakan.

[✓] And Then We Were None | Joshua CentricTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang