12. Menolak Menerima

293 42 4
                                    

Bunyi dari jarum panjang pada jam memenuhi ruangan yang diselimuti keheningan. Ruangan yang dipenuhi oleh 11 orang itu tak menghasilkan suara ribut-ribut sama sekali. Setelah berkonflik selama beberapa minggu, baru kali ini mereka bertatap muka lagi.

Beberapa dari mereka memperhatikan keadaan satu sama lain. Ketika yang sedang diamati menatap kembali, mereka langsung membuang muka. Lebih tepatnya, menoleh pada Vernon Chwe. Pemuda itu mendengus kasar, menandakan perasaan gusar sedang mengontrol dirinya.

Beberapa kali dilihatnya jam digital yang ada dalam ponselnya, lalu mendengus. Tak sampai 2 menit, dilihatnya lagi lalu menghela nafas kasar, begitu terus diulang-ulang.

Yang lain tak mengerti, kenapa Vernon bertingkah aneh seperti ini. Selama mereka mengenal Vernon, pemuda itu termasuk ke dalam jajaran orang yang paling tenang dari seantero grup. Vernon lebih dikenal karena sifatnya yang mengikuti arus.

Namun, mereka tak berniat menghakimi. Siapa tahu, ada sifatnya yang berubah ketika perang dingin ini terjadi. Toh, mereka tidak berkomunikasi selama hampir sebulan. Waktu yang cukup lama untuk mengubah diri.

Suara derap langkah kaki yang sedang menaiki tangga terdengar, menandakan kedatangan orang terakhir yang mereka tunggu. Choi Seungcheol, sang ketua kelas yang juga mereka anggap sebagai ketua dalam lingkaran pertemanan mereka.

"Ah, pas, nih. Gue mau nanya sesuatu sama kalian." Bukannya menyapa atau ikut terjerumus dalam jurang keheningan, Seungcheol langsung melontarkan kalimat seperti itu pada teman-temannya.

"Mulainya dari Wonwoo, oke?" Mendengar ada pertanyaan yang akan mengarah pada dirinya, Wonwoo langsung menoleh dengan tatapan bingung. Belum sempat Wonwoo bertanya, Seungcheol sudah melanjutkan, "Pas sore di kelas beberapa hari lalu, lo ngobrol sama siapa?"

Semua kepala serentak menatap Seungcheol dengan beribu-ribu pertanyaan menggantung di samping mereka. "Lo ngobrol bahkan sampai meluk dia. Siapa itu, Wonwoo?" tambah Seungcheol dengan kesan menyudutkan Wonwoo.

Wonwoo menggeram, "Shua. Gue ngobrol sama Joshua." Jawaban pendek dari Wonwoo membuat yang lain terkejut, sementara lawan bicara Wonwoo pada saat itu hanya tersenyum sinis.

Tudingan jari kini berubah haluan ke arah Chan, "Lo, Chan. Lo ngobrol sama siapa di rooftop sekolah?" Seungcheol lemparkan pertanyaan yang nyaris sama pada Chan. Chan kelabakan, tak bisa menjawab sehingga Seungcheol wakilkan, "Joshua?"

Mendapat konfirmasi, Seungcheol mendengus. Arah jarinya kini ditunjukkan ke Woozi. "Lo, Zi, ngobrol sama Joshua juga di ruang musik beberapa hari lalu?" todong Seungcheol yang langsung diangguki oleh Woozi.

"Mingyu, lo keluar dari sekolah sore itu sama Joshua, kan?" Tanpa berlama-lama, Mingyu segera mengangguk walau merasa bingung. Ujung jari Seungcheol berpindah pada wajah Minghao, "Rooftop sambil ngelukis lo ngobrol sama Joshua?" Meski terkesan enggan, Minghao tetap menganggukkan kepalanya.

"Han, lapangan futsal malam-malam, lo ngobrol sama Joshua juga?" tanya Seungcheol pada Jeonghan yang menyilangkan tangannya di depan dada. Jeonghan mengonfirmasi bahwa itu adalah fakta.

"Berarti buat Hoshi di dance practice room, Seungkwan di taman belakang sekolah, Dokyeom jalanan sempit dekat rumah sakit kota, sama Jun di halte bis juga ngobrol sama Joshua?" Yang diabsen namanya pun mengangguk dalam keadaan kebingungan. "Lo, Vernon?" tanya Seungcheol pada Vernon.

"Ya." Setelah kata itu terlontar dari mulut Vernon, suara tepuk tangan menggema ke seluruh sudut ruangan. Semakin besar pula tanda tanya yang ada dalam benak mereka. Ada apa dengan Seungcheol?

Tak disangka, Seungcheol membalas dengan sinis, "Habis bikin Shua celaka, lo semua halu ngobrol sama Shua, ya? Gitu, iya?"

Ingat, mereka tidak pernah meminta maaf atas tuduhan-tuduhan yang terlontar. Otomatis ketika mereka mendengar kalimat yang Seungcheol ucapkan, emosi mereka menjadi terbakar. Emosi itu sangat cepat menjalar ke ubun-ubun mereka.

Terutama Jeonghan. Dia yang awalnya duduk dengan niat tak ingin ada keributan langsung saja menghampiri Seungcheol. Tangannya mencengkram erat kaos Seungcheol hingga beberapa bagian kulit tangannya memutih.

"Eh, bangsat! Gue gak halu!" hardik Jeonghan tak terima. Melihat satu sudut bibir Seungcheol yang masih naik, amarah Jeonghan kembali memuncak. Namun Jeonghan rapatkan giginya, berusaha menahan hasratnya untuk melayangkan pukulan pada wajah Seungcheol.

Seungcheol sentak tangan Jeonghan, kemudian menyergah, "Gue lihat pakai mata kepala gue, lo ngomong sendiri di lapangan futsal itu! Gue nelepon lo dari lapangan basket buat pastiin, tapi apa? Lo reject!"

Tak memberikan waktu untuk Jeonghan membalas, Seungcheol langsung melayangkan ujung jari telunjuknya pada Wonwoo. "Sama halnya dengan lo, Nu! Gue yang pas itu baru balik dari ruang guru ngelihat lo ngobrol dan meluk angin!" tambah Seungcheol berapi-api.

"Sisanya juga gitu! Gue lihat Chan ngomong sendiri di rooftop, Woozi ngelirik sesuatu yang gak ada dari balik pintu ruang musik, Mingyu ketawain sesuatu yang invisible, Minghao yang jelasin lukisannya ke kursi kosong, Jeonghan ngobrol sendiri di lapangan futsal dan gue lihat dari lapangan basket."

"Hoshi, Seungkwan, Dokyeom, Jun juga gitu. Semuanya gue lihat dengan jelas kalau lo semua ngomong sama angin dan kalian bilang itu Shua? Omong kosong! Shua itu lagi kritis, gak mungkin dia bisa kemana-mana! Kalau bener itu Shua, kenapa cuma gue yang gak didatengin?!"

Setelah Seungcheol bertanya penuh frustasi, semuanya terdiam dalam sekejap. Dalam diamnya, mereka juga berpikir tentang pertemuan mereka dengan Joshua. Setelah mengulik kembali hari dimana mereka bertemu dengan Joshua, cukup masuk akal pula apa yang dikatakan Seungcheol.

Joshua yang mereka temui selalu memakai alasan kabur. Joshua yang mereka temui selalu masih berbalut pakaian rumah sakit. Tanpa meringis, keluhan, atau apapun itu, Joshua yang mereka temui tetap memasang senyum manis.

Joshua yang berbicara dengan mereka selalu berusaha mengungkit tentang pertemanan mereka. Sayangnya, mereka selalu menolak untuk berbicara tentang hubungan mereka semua hanya dikarenakan tidak mau mengakui perasaan mereka.

"Itu alasannya gue minta kalian kumpul disini." Vernon bersuara tiba-tiba, mengundang perhatian dari yang lain. Setiap pasang telinga dipasang agar bisa mendengarkan kalimat Vernon. Nampaknya, hanya Vernon yang bisa menjadi kunci dari semua pertanyaan mereka.

Dengan tarikan nafas yang terasa berat, Vernon berucap, "Yang kalian lihat itu rohnya Shua. Dia datengin kalian buat nyari tau kenapa kita jadi terpecah gini." Diberi jeda waktu untuk mencerna pun rasanya tak berguna, karena yang lain masih merasa kebingungan.

Joshua yang mereka temui bisa disentuh. Menurut apa yang mereka yakini, roh tidak bisa disentuh. Kenapa bisa roh Joshua yang disebut Vernon bisa disentuh?

Belum juga tanda tanya mereka reda, sudah ada suara yang menyela. "Roh Shua? Ngawur lo, Non!" bentak Seungcheol. Bahkan tanpa yang lain sadari, Seungcheol sudah menggenggam erat-erat kerah kaos Vernon.

Seperti biasa, Vernon memasang wajah tenangnya. Namun, ada setitik rasa sendu yang terdapat pada wajah rupawan itu. Pemuda itu jarang sekali melibatkan emosinya, baru pertama kali ini dia menggabungkan perasaannya dalam pertikaian mereka.

"Gini, ya, gue lihat semuanya ngobrol sama sesuatu yang lo semua bilang itu Joshua. Bahkan juga lo katanya ngobrol sama Joshua. Gue lihat sendiri, tuh, Jun ngobrol di halte bis dari dalam mobil sebelum dia naik bis, yang lain juga gitu. Kalau emang bener itu Shua dan kalian semua didatengin, kenapa gue nggak?" Seungcheol bertanya tepat di depan wajah Vernon.

"Karena rasa bersalah lo terlalu besar. Shua gak bisa nunjukkin dirinya ke lo," jawab Vernon, membalas tatapan sengit dari Seungcheol. Tatapan Vernon memancarkan keseriusan atas pernyataannya.

Tak disangka, Seungcheol mengeluarkan dengusan yang terkesan meremehkan. Dengan dagu terdongak, Seungcheol berkata, "Mana, Vernon yang katanya rasional? Lo percaya gini-gini, Non? Parah, sih, omongan lo sampah juga."

Melihat Vernon yang masih terdiam, Seungcheol lepaskan cengkramannya lalu menyambar kunci mobilnya. Sebelum pergi meninggalkan tempat yang mendadak hening itu, Seungcheol berpesan, "Kalau butuh duit buat ke psikiater, cari gue. Gue bakal tetep peduli sama lo pada karena itu pesan dari Shua."

[✓] And Then We Were None | Joshua CentricTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang