Part 2

288 3 4
                                    

Mobil Devon kini berhenti di depan sebuah restoran sederhana tapi terkesan romantis.

Bagian belakang restoran tersebut mengarah ke sebuah danau yang di ujungnya terpancar lampu-lampu yang berasal dari kota seberang. Di bagian kanan dan kiri restoran terdapat beberapa pohon rindang yang tersusun rapi. Tampilan depan restoran berwarna merah hati tersebut berhiaskan lampu kerlap - kerlip yang sangat indah.

Saat memasuki restoran, kaki ku berhenti untuk sekedar memandang takjub nuansa romantis restoran itu.

Dinding berwarna merah hati berlukiskan beberapa malaikat kecil yang membawa panah, atau sering disebut sebagai cupid. Di atap berwarna biru gelap berlukiskan bintang - bintang yang seakan memancarkan cahaya dari lampu di dekatnya. Sangat menakjubkan.

Dengan gagahnya, Devon menarik salah satu kursi yang berada tepat di tengah ruangan, mempersilahkanku untuk duduk. Lalu dia duduk di hadapanku.

Dia menepuk tangannya sekali dan seorang pelayan lelaki datang sambil membawa sesuatu yang ku yakini adalah makanan. Setelah meletakkannya di meja kami, dia pun beranjak pergi. Tidak lupa untuk menunduk, memberi hormat pada kami.

Dengan pikiran yang bercabang-cabang dan kerutan yang semakin dalam, aku menatap Devon, meminta penjelasan. Dan dia hanya tersenyum, sok misterius.

"Silahkan makan" katanya dengan senyum yang masih setia menempel di wajahnya. Dia mulai mengambil sendok dan garpu yang tertata rapi di sebelah piringnya.

Dengan keberanian yang ada, aku memandangi wajahnya dengan kerutan halus di dahi. Dia melirik sebentar, mengela napas kasar, lalu meletakkan sendok dan garpu dengan kasar sehingga terdengar suara dentingan besi. Melihat hal itu keberanian yang semula muncul, hilang entah kemana.

Devon mulai menegakkan punggungnya di sandaran dan menyilangkan tangannya di dada. Dia memandangku intens dan tajam dengan ekspresi dingin andalannya itu. Nyaliku pun semakin menciut. Suaraku tertahan di tenggorokan. Kata-kata yang tadinya ingin kulontarkan, kembali tertelan ke dasar pemikiranku. Tak tahan dengan tatapannya itu, aku mulai menundukkan wajahku sedikit demi sedikit.

Dia menggebrak meja hingga suara dentingan kaca memenuhi ruangan, "Ada apa sih dengan mu?!." Dia mulai mengacak rambutnya, yang menurutku malah membuatnya semakin kelihatan sexy. Dia kelihatan frustasi, entah karena apa.
"Apa yang harus kulakukan lagi agar membuatmu luluh?! Kencan sudah, nonton sudah, jalan sudah. Dan sekarang makan malam romantisku berantakan."

Aku melihatnya dengan kepala yang sedikit dimiringkan ke arah kanan, bingung. "Maksud lo?"

Dia menggenggam tangan kananku dan menatap tepat di manik mataku dengan lembut. "Aku mau kamu jadi pacar aku."

Mendengar hal itu, seperti ada desiran aneh di jantungku. Aku mulai melepaskan genggamannya perlahan. "Devon...", aku memanggilnya lembut hingga dia kembali tegak di kursinya. "Lo sahabat gue... Gue nggak mungkin pacaran sama lo... Gue nggak mau kehilangan sahabat gue."

Dia memejamkan matanya dan mengacak rambutnya lagi. Terdengar erangan kecil dari bibir tipis dan merahnya itu. Melihat hal itu, aku hanya bisa menggigit kecil bibir bawahku. Ah... Tidak. Ini salah. Dia sahabat ku. Tidak mungkin aku menginginkan dia lebih dari itu.

Dia menghela napasnya pelan, "Begini saja... Aku akan memberimu waktu untuk berpikir. Selama itu, aku nggak akan berbicara atau bertemu dengan kamu sampai kamu yang berbicara pada aku. Dan jika kamu berbicara aku, itu artinya kamu mau jadi pacar aku" katanya menjelaskan perjanjian absurdnya itu. "Deal?"

Him [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang