Di sini. Udara yang dingin tak kunjung membuatku lupa akan sosok Devon. Kerap aku membuka sebuah buku berisi kenangan kami. Bahkan teman - teman baruku seakan menganggapku gila, terjebak di kenangan yang sama. Ya. Aku harus berubah.
Mungkin jika aku sukses, Devon akan menghapus perjanjian itu. Aku terus belajar giat dan meningkatkan prestasiku, demi satu tujuan. Aku dan Devon kembali bersama seperti sedia kala. Aku membuang asal buku itu hingga tak tampak lagi, dan melupakannya.
Di sini. Tak sedikit orang kujumpai. Tak sedikit juga orang yang senang berteman denganku. Bahkan dia. Lelaki terpopuler di kampusku. Dia menyukaiku secara diam - diam, tentu aku tau itu. Aku hanya ingin menjadi temannya. Aku tak pernah menceritakan padanya sedikit pun tentang seorang lelaki yang bernama Devon. Aku hanya tak ingin mengingatnya.
Berbagai cara ia lakukan agar aku luluh. Tak jarang ia mengajakku mengunjungi hal - hal sepele namun menakjubkan di negeri ini. Makan di tempat - tempat yang sangat memukau. Bersantai di daratan yang menenangkan. Bahkan terkadang ia mengajakku ke negeri tetangga. Memang ini terkesan berlebihan. Namun siapa yang bisa menolak gratisan. Hey, aku juga wanita yang memikirkan keuangan.
Kuakui dia cukup tampan. Dia menarik. Dia sangat membuatku nyaman. Jikalau kami bertemu, tak ada cela untuk sunyi menyergap. Selalu ada canda gurau menghias. Dia sangat mengerti aku. Dia memahamiku. Aku pun begitu. Dia mengingatkanku akan seseorang yang tak ingin ku ingat.
Pernah suatu kali dia nekat mengungkapkan perasaannya. Tepatnya di saat musim salju, di atas bulan bersinar.
"Aku ingin mengatakan sesuatu" ujarnya ragu.
"Katakan saja. Bukankah selama ini seperti itu?" tanyaku bergurau, menepis segala aura ketegangan.
"Tapi kali ini berbeda" katanya pelan. Dia menggenggam tanganku. Hangat. "Aku suka sama kamu sejak dulu" Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Jangan kalimat itu lagi, batinku. "Aku mau kamu jadi pacar aku" kalimat yang sama dengan kalimat yang ia ucapkan.
Dia menatap mataku intens. Aku melepas genggamannya perlahan dan membalas tatapan matanya sendu. Aku menggeleng pelan, entah dia bisa melihat atau tidak. "Maafkan aku..." aku menunduk tak ingin menatap kekecewaan di dalam matanya. "...tapi aku tak bisa nerima kamu"
Dia menangkup daguku dan mengangkat wajahku. "Tak apa jika kau tak mau" katanya dengan nada yang seakan ingin menguatkan hatinya sendiri. Dia tersenyum getir. "Suatu saat nanti jika kau berubah pikiran, katakan saja"
"Aku takkan"
Bertahun - tahun aku berjuang keras dan menguras tenagaku. Semua itu terbayarkan dengan tergapainya gelar itu. Kini aku tau rasanya mati - matian hanya demi memindahkan seutas tali di atas topi toga. Akhirnya aku akan pulang. Aku akan pulang kerumahku tercinta.
Aku membereskan semua barang - barangku. Mengepaknya kedalam koper. Aku menelusuri setiap sudut, siapa tau ada benda kecil yang tersembunyi. Aku tak ingin meninggalkan benda sekecil apapun di sini. Dan benar saja. Ada sebuah buku usang dengan sampul merah muda di depan dan biru di belakang yang sudah di penuhi oleh debu tebal. Aku tak ingat pernah memiliki buku ini. Aku mengusap sampul depannya. Menghilangkan debu yang menutupi sebuah tulisan timbul.
'Our Moment'
Tulisan itu dihias dengan tinta perak. Bintang - bintang emas tak luput untuk menghiasi cover buku itu. Kubukan halaman pertama. Terdapat foto sepasang anak perempuan dan laki - laki sedang berangkulan -lebih tepatnya, anak lelaki itu yang merangkul paksa si anak perempuan.
Anak perempuan itu memasang wajah kesal dan melirik pada orang yang merangkulnya. Sedangkan si anak lelaki memamerkan gigi rapinya, seakan tak memedulikan tatapan orang yang ia rangkul.
Aku hampir lupa akan kenangan ini. Aku membuka halaman selanjutnya. Terdapat dua foto dengan objek yang sama. Sepasang anak perempuan dan anak laki - laki. Foto yang pertama memaparkan keceriaan mereka bermain di kolam ikan.
Foto yang kedua memaparkan kejailan sang anak laki - laki yang mendorong si anak perempuan kedalam kolam hingga ia tercebur kedalamnya. Aku ingat, kejadian inilah yang membuatku tak bisa berenang.
Aku membolak - balik lembar demi lembar di mana terdapat foto dengan objek yang sama dan dengan kejadian yang tak jauh beda. Tentang kejailan seorang anak lelaki terhadap anak perempuan. Yang membedakan hanya tinggi dan wajah mereka yang semakin beranjak remaja. Mereka sama - sama berubah ke arah yang semakin baik. Hanya satu yang tak berubah dari si anak laki - laki. Kejailannya. Sejauh ini, hanya itu yang kutau dan kuingat.
Hingga pada lembar di mana terdapat hanya satu foto. Dalam keadaan yang berbeda. Keduanya saling memasang wajah gembira. Si pria memeluk posesif sang wanita dari belakang dan menempelkan pipi mereka. Aku... rindu. Lembar selajutnya kosong. Aku menutup buku itu dan memasukkannya kedalam tas selempangku.
Aku ke bandara bersama dia. Lelaki populer yang tampan dan menarik. Selama di perjalanan kami lebih banyak diam, seakan membiarkan semua kesunyian yang kami tepis selama ini menyerang.
Dia hanya memelukku dan mengecup keningku sebagai salam perpisahan. Kemudian aku pergi. Pergi menemui kisahku yang kutinggal pergi di kota kelahiranku. Aku tak sabar ingin menemui wajah - wajah lama disana. Terutama... Aku tak sabar ingin menemui dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him [END]
Short Story'Dia' Pria yang selalu berusaha keras mengejarku. 'Dia' Pria yang memaksaku secara tidak langsung. 'Dia' Pria yang kusayangi lebih dari apapun. 'Dia' Adalah sahabatku.