Part 3

220 1 0
                                    

'Aku akan memberimu waktu untuk berpikir. Selama itu, aku nggak akan berbicara atau bertemu dengan kamu sampai kamu yang berbicara pada aku. Dan jika kamu berbicara aku, itu artinya kamu mau jadi pacar aku'

Kata-kata itu terus terngiang di pikiranku. Apa maksud kalimat itu? Dan dengan bodohnya aku menyetujui perjanjian itu. Ada apa denganku? Aku seperti terhipnotis oleh tatapannya.

"Aduh"

*Brukk*

"Eh? Sorry... Sorry... Gue gk sengaja"

"Gak kak. Saya yang salah. Maafin saya kak" kataku sambil membantu memunguti buku-buku yang berjatuhan tadi. Setelah meletakkan buku yang berjatuhan tadi kedalam rangkulan kakak itu, aku segera berbalik.

Aku kurang fokus, aku harus ke kelas secepatnya sebelum menabrak orang lain. Saat tiba di bangkuku, terdengar suara erangan dari perutku. Aku baru ingat kalau aku belum sarapan. Biasanya Devon akan ke kelasku sambil membawa beberapa bungkus roti dan sekotak susu sebagai pengganti sarapanku atau hanya sekedar menumpang memakan sarapannya di mejaku, walau akhirnya aku yang akan menghabiskan sarapannya itu. Tapi mengingat perkataannya dan kelakuannya saat itu, kemungkinan besar dia tak akan membawa sarapan untukku.

Kau tahu, setelah mengatakan perjanjian itu dia menggebrak meja dengan penuh emosi. Bahkan tanpa memandangku, dia meninggalkanku sendiri di sebuah restoran yang entah di mana. Akhirnya aku harus bertanya kepada pelayan yang tadi melayani kami. Bahkan saat aku bertanya arah, pelayan tersebut sudah siap dengan motornya dan pakaiannya juga sudah berganti dengan pakaian kasual. Setelah melihatku yang kebingungan, akhirnya dia memberi tumpangan kepadaku. Aku sangat berterima kasih pada pelayan itu. Kalau tak ada dia, mungkin saat ini aku sedang menelusuri jalan tanpa tahu arah mana yang aku tuju.

Tapi apa maksud dari perjanjian absurd itu? Dia sedang bercandakan? Ah. Ya. Benar. Pasti dia sedang bercanda. Nanti malam dia pasti datang ke rumahku seperti biasanya. Seperti tak ada yang terjadi, kami akan bercanda ria. Nanti juga dia bakal antar aku pulang. Seperti biasa. Hari ini aku tak akan di jemput. Pasti dia datang.

"Oy! Ngelamun aja lo! Gak liat guru udah datang, tuh?" sedikit tersentak oleh teriakan kecil dan pukulan besar di bahuku, aku menoleh ke kanan. Terdapat sahabatku dengan seringaian bodoh yang terkesan mengerikan darinya. "Apaan sih? Siapa juga yang ngelamun. Kagak ada guru gitu. Banyak bacot lo" aku mendelik padanya saat menyadari tidak ada guru sama sekali.

Aku kembali menekuk wajahku di atas meja. "Jangan ngelamun mulu. Entar kesambet baru tau rasa lo" aku meliriknya sekilas dan kembali ke posisi semula tanpa menghiraukan perkataannya. "Dari pada lo ngelamun mulu. Mending kita ke kantin, yuk. Gue laper."

***

"Guru - guru pada kemana, not?" tanyaku pada akhirnya setelah sekian lama menutup mulut di kantin.

"Lu baru nyadar kagak ada guru, nyuk?" aku hanya menggeleng dengan kebingungan yang luar biasa. Ini karena semalem, aku jadi lemot. Akan kupastikan Devon membayar perbuatannya. Mungkin, sedikit ice cream dapat melunasinya. "Oy! Lu denger yang gue bilang gak?" sekali lagi aku hanua menggeleng. Terlihat ekspresi kekesalan pada wajahnya. "Gue bilang 'guru - guru lagi pada rapat'" Dia memutar bola matanya. "Lu kenapa sih? Pagi - pagi udah lemot aja. Cerita dong."

Dengan keterpaksaan yang tinggi, aku menjelaskan kejadian semalam pada Nina dengan singkat, padat, dan jelas. Reaksinya hanya menggeleng, melengo, tersentak, dan segala macam ekspresi yang ia punya. "Gilak... Gue gak nyangka Devon bisa segalak itu. Tapi sejak kapan dia naruh rasa sama lo, nyuk?" aku hanya menggeleng lemah sambil memainkan bakso dingin yang ada di hadapanku.

"Eh... Itu dia. Itu Devon!"

Dengan seketika aku melihatnya memasuki kantin bersama teman - temannya sambil tertawa keras tanpa memedulikan orang - orang yang sedang memandang mereka. Dia menyisir sekitar. Ketika pandangannya bertumbuk padaku, mukanya mendingin. Tak ada keceriaan terpancar di sana.

Dengan segera, ia mengalihkan pandangannya dan duduk di kursi kebangsawanannya. Masih dengan wajah dinginnya, dia memandangi gadis yang sejak tadi memandangnya kagum. Diperhatikan begitu, gadis tadi memekik pelan.

Dia bahkan tak berniat makan, dilihat dari caranya memainkan makanan yang sedari tadi berada di hadapannya. Muak dengan sekitar, Devon berdiri dan meninggalkan kantin. Dia tak pernah pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku. Ada apa dengannya?

Sebuah tangan melambai - lambai di depan wajahku mengaburkan lamunanku. "Hey? Lo denger gak yang gue bilang?"

"Hah?"

"Ck. Kalau begini terus, gue terancam bakal ngomong sendiri..." kata Nina, kesal. "Balik yuk."

Him [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang