Part 5

141 1 0
                                    

Kejadian demi kejadi berlalu semenjak Nina berkata suatu hal yang menurutku adalah sebuah mantra. Bayangkan saja, setelah dia mengatakan itu semua kejadian yang -kebanyakan- menimpa Devon terjadi secara berturut - turut. Walaupun sebelum dia mengatakan itu kejadian yang hampir sama sudah mulai terjadi. Tapi tetap saja itu karena Nina.

Yang paling parah ketika hari liburan. Aku dan Nina berencana berenang bersama. Ternyata Devon dan teman - temannya pun punya rencana yang sama, di tempat yang sama. Saat itu Devon sedang bercanda gurau bersama temannya di dekat kolam yang dalam.

Awalnya dia tak menyadariku, hanya saja aku terus menatapnya dari seberang bersama Nina. Ketika dia berhenti tertawa, dia melihat ke seberang dan menatapku. Entah karena kurang fokus atau karena melihatku -mungkin juga karena melihatku dia jadi tidak fokus, dia tersandung sesuatu dan terjatuh ke kolam.

Awalnya aku bersikap biasa saja, karena aku tau Devon adalah perenang yang handal, berbanding terbalik denganku. Namun setelah waktu yang lama Devon tak segera muncul, itu membuatku panik tak kepalang. Sebagian temannya memanggil badan keselamatan, sebagian lagi hanya memandangi dari atas sambil berteriak memanggil nama Devon. Dasar bodoh, bukannya menolong malah teriak batinku.

Ingin memanggil badan keselamatan, tapi bagaimana jika dia hanya bergurau? Ingin meloncat, yang ada aku yang diselamatkan bukan dia. Nina menyadari kepanikanku, memegang bahuku dan menunjuk ke arah sekelompok manusia dengan lambang badan keselamatan di belakang bajunya.

Kepanikanku sedikit berkurang ketika salah satu dari mereka meloncat dan membawa Devon kepermukaan. Aku melihat dia tidak sadarkan diri. Orang itu melakukan segala cara agar Devon bisa bernapas lagi. Tidak lama, Devon terduduk dan mengeluarkan air yang ada di paru - parunya. Mereka dengan segera membawa Devon ke rumah sakit terdekat menggunakan ambulance.

Sesampai dirumah, aku mengetahui dari ibunya bahwa sebelum terjatuh ke kolam, kaki Devon sempat terantuk benda keras yang menyebabkan tulangnya tergeser. Paru - paru Devon juga masih terisi sedikit air. Ibunya menawarkanku untuk menjenguk Devon di rumah sakit.

Awalnya aku ragu, namun setelah dipikir - pikir mungkin tak apa kalau hanya melihat. Sesampai di rumah sakit, aku melihat Devon terbaring, tidur. Kaki Devon di gips. Berbagai macam kabel dan alat - alat kedokter tersambung pada tubuh Devon. Mungkin butuh waktu yang lama sampai dia bisa berjalan normal kembali.

Tiit... Tiit... Tiit...

Suara dari mesin di samping ranjang Devon mengeluarkan bunyi nyaring yang menepis kesunyian. Aku menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahnya. Matanya tertutup dalam damai. Wajahnya sangat tenang. Pipinya merona. Bibirnya... Merah. Ah. Apa yang kupikirkan, Devon sahabatku. Aku tak boleh jatuh cinta padanya.

Aku melihat wajah ibunya yang sangat khawatir, begitu juga wajah ayahnya dan saudara - saudaranya. Aku kembali menolehkan kepalaku kearah Devon. Aku berharap pelupuk mata itu terbuka. Aku berharap aku bisa menatap mata coklatnya itu lagi sedekat ini. Aku ingin dia memelukku posesif dengan lengan kekarnya. Aku berharap kami dapat bercanda gurau layaknya seorang sahabat. Namun lagi - lagi karena perjanjian itu. Dia yang membuat keadaannya seperti ini.

Kulihat jemari di tangan kanannya bergerak kaku. Lalu matanya terlihat seperti sedang mengedip kepadaku. Dari bibirnya keluar sedikit suara yang sangat tidak jelas. Sebuah kata, bukan, tapi sebuah nama. Namaku. Dia terus menyebut namaku dengan mata tertutup.

Aku tidak tahan lagi. Air mataku terus memaksa untuk dikeluarkan. Aku harus pergi dari tempat ini sebelum air mata bodoh ini menyeruak. Aku pun berlari kecil keluar ruangan tanpa peduli berbagai tatapan bertanya dari semua orang, termasuk orang tua Devon.

Him [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang