Berhari - hari berlalu, kamar Devon masih dalam keadaan yang sama. Hanya ibunya yang sedang membersihkan kamarnya dan mensenyumiku setiap hari. Terkadang aku kesal karena tak kunjung mendapat penjelasan yang berarti. Tapi terkadang aku berharap tak pernah ada penjelasan apapun.
Agar tak ingat dengannya, aku mencoba mencari kegiatan sendiri. Terkadang aku akan membahas pelajaran selama di sekolah -walau berakhir dengan coretan tak berarti di sebuah buku kosong. Aku juga mencoba test ke berbagai universitas ternama. Berhari - hari berlalu, akhirnya aku di terima kuliah di sebuah universitas cukup ternama di sebuah negara yang cukup maju. Ini sangat membanggakan.
Aku ingin memamerkannya pada Devon seperti tahun - tahun yang lalu saat aku menerima penghargaan. Aku ingin menunjukan padanya bahwa bukan hanya dia yang bisa mendapat penghargaan. Sebagai balasan, dia akan menjulurkan lidahnya dan mengejekku seakan penghargaan yang kudapat tak ada artinya dimata indahnya itu. Namun angan tinggal lah angan. Apa dayaku, Devon tak berada di kamar itu lagi.
Hanya Nina tempatku bercerita. Dia sangat senang aku di terima di universitas itu. Tak jarang Nina datang ke rumahku dan mengajakku bermain bersama seperti masa sekolah dulu. Tak jarang juga rumahku yang memang sudah ramai terasa semakin ramai karena kehadirannya. Aku sering menceritakan padanya tentang Devon. Termasuk ketiadaan mendadak Devon. Seperti biasa, Nina hanya bisa terkejut dan menggelengkan kepala karena sifat Devon.
Ini adalah hari terakhirku di kota kelahiran. Aku mengepak semua barang - barang yang kuanggap penting dan menyumbangkan sisanya. Nina membantuku mengepak. Tak mau membuang sisa waktu bersamaku katanya. Selesai mengepak Nina beranjak ke ruang keluarga, berkumpul bersama keluargaku.
Sebelum menyusul Nina, aku menyempatkan untuk melihat keadaan kamar Devon. Kamar bernuansa biru yang notabene adalah warna kesukaannya itu memang tetap bersih dan rapi. Tapi karena tidak ada yang menempati, membuat kamar itu terlihat menyeramkan. Setelah meyakinkan diriku bahwa dia benar - benar tidak ada di kamarnya, aku menyusul Nina.
Bahkan ketika aku hendak pergi meninggalkan kota dan sejumlah kenangan di sini, Devon tak kunjung tampak. Saat aku hendak masuk ke mobil, aku melihat ibu Devon sedang menyirami tanamannya. Dia melihatku dan tersenyum bangga. Tapi ada sorot kesedihan di dalam matanya.
Aku tak berniat bertanya pada ibu Devon, begitu juga dengan ibunya yang tak berniat memberitahuku. Mungkin ini balasanku karena sanggup berdiam seribu bahasa dan menelan seluruh pertanyaan dalam - dalam.
Sesungguhnya aku belum siap untuk meninggalkan kota ini. Rasanya seperti ada yang kurang. Aku tau itu pasti karena Devon. Tapi aku harus terbiasa jika aku ingin maju. Namun ini lebih sulit di banding dengan kenyataannya. Sama seperti dia, aku juga harus meninggalkan sejuta cerita disini dan beranjak kedepan menuju masa depan.
Jika kau ingin maju, lupakan semua hal yang memaksamu mundur. Tinggalkan semua masalah yang lalu dan hadapi semua masalah yang ada di depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him [END]
Short Story'Dia' Pria yang selalu berusaha keras mengejarku. 'Dia' Pria yang memaksaku secara tidak langsung. 'Dia' Pria yang kusayangi lebih dari apapun. 'Dia' Adalah sahabatku.