Aku terbangun karena sebuah alarm dari telpon genggam yang biasanya menandakan agar aku segera mengerjakan tugas - tugas kuliahku. Aku senang itu sudah berakhir. Aku merasakan sesuatu yang aneh. Suatu perasaan dimana aku seperti ingin melakukan sesuatu namun aku tidak ingat akan hal itu. Aku tak ingin memaksa tubuh yang baru tersadar dari alam mimpi untuk mengingat sesuatu hal yang mungkin hanya perasaanku saja.
Sebuah siluet dari kamar seberang mengalihkan pikiranku. Aku melijat ke arah kemar itu untuk memastikan pandanganku benar. Ya. Memang ada sebuah siluet. Bukan. Namun ada dua buah siluet. Siluet yang satu tampak lebih kecil dari siluet lainnya.
Aku melangkahkan kaki menuju balkon untuk melihat lebih jelas kedalam kamar itu. Tapi sayangnya aku tak bisa melihat kedalamnya. Kamar itu tertutupi oleh sebuah tiari biru. Namun tetap saja aku masih bisa melihat siluet itu. Mereka seperti sedang... berpelukan.
Tanpa memastikan ke dalam kamar itu, aku tau siapa siluet yang lebih besar itu. Aku yakin itu adalah dia, dia sudah lebih tinggi sekarang. Dan siluet yang lebih kecil itu adalah seorang wanita. Rasa sesak seketika menyerang dadaku. Entah kenapa aku merasa kecewa karena Devon membiarkan orang lain masuk ke dalam kamarnya.
Selama ini tidak ada yang boleh masuk ke dalam kamarnya, termasuk ibunya sendiri. Tapi tidak denganku. Dia memperbolehkanku masuk ke 'daerah terlarang' itu. Tapi sekarang dia membiarkan orang lain masuk, terlebih lagi itu adalah seorang wanita. Dadaku sangat sesak.
Belum selesai dengan pemandangan menyesakkan hati di hadapanku, ada suara ketukan pintu yang membuyarkan semua pikiranku. Sebelum membuka pintu aku menarik napas dan mendorong segala perasaan sesak di dada kembali ke dasar. Ternyata hanya ibuku yang ingin menyerahkan sebuah kertas biru.
Aku menerimanya dan tanpa di suruh ibuku langsung kembali ke bawah. Aku membawa kertas itu ke balkonku dan melihat kembali pemandangan itu. Kali ini kedua siluet itu sedang... berciuman. Untuk mengalihkan perhatian, aku melihat ke arah kertas biru tadi.
Ternyata itu bukan kertas, melainkan sebuah undangan. Undangan pernikahan. Seperti serangan bertubi - tubi rasa sesak ini semakin membuncah. Tanpa harus melihat nama yang tertera di undangan itu, aku sudah tau tepatnya siapa dia.
Aku menundukkan wajahku. Membiarkan air mata yang selama ini kutahan kembali menyeruah dan membanjiri pipiku. Setidaknya dengan begini aku akhirnya sadar. Akhirnya aku tersadar bahwa aku mencintai dia.
Aku memang bodoh. Kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Ketika semua sudah terlambat. Ternyata jatuh cinta itu sangat menyakitkan. Mungkin sakit inilah yang dia rasakan ketika aku menolaknya mentah - mentah.
Aku terus menuangkan perasaanku lewat tangis, hingga suara seorang pria menghentikan tangisku.
"Hei, Ruby"

KAMU SEDANG MEMBACA
Him [END]
Short Story'Dia' Pria yang selalu berusaha keras mengejarku. 'Dia' Pria yang memaksaku secara tidak langsung. 'Dia' Pria yang kusayangi lebih dari apapun. 'Dia' Adalah sahabatku.