Apa yang terjadi pada Devon? Seharian dia tak berbicara padaku. Bahkan ketika aku datang kerumahnya, dia bersembunyi di kamarnya. Ibunya mengatakan bahwa dia sedang tidak di rumah. Jelas - jelas tadi aku melihatnya sedang mengintip dari jendela kamarnya.
Dia seperti anak kecil. Pasti besok dia akan berbicara padaku seakan tak ada yang terjadi. Tapi ternyata dugaanku salah. Setiap kami bertemu di sekolah, dia selalu menghindariku. Ketika guru menyuruh kami berdua, dia selalu punya alasan agar kami berpisah.
Kali ini aku bertekad untuk sekedar mendekatinya. Kali ini aku mengajak Nina ikut serta. Aku tau dia selalu berada di lapangan basket saat istirahat pertama. Dia akan di sana bersama dengan teman - temannya. Dan dugaanku benar. Dia di sana. Sedang bermain basket bersama temannya. Peluh bercucuran di wajahnya.
Dulu, aku selalu menghampirinya dengan sebotol air isotonik. Aku akan mengusap peluhnya dengan sapu tangan yang selalu ku bawa kemana pun. Dia akan mengambil airku dan meneguknya habis tanpa seizinku. Tentu saja aku selalu marah padanya saat itu terjadi. Tapi sekarang, semua itu seakan tidak pernah terjadi.
Aku menghampirinya -sambil membawa air isotonik, dan dia menyadari kedatanganku. Belum sampai di sana dia berjalan menjauhiku, kearah yang berlawanan. Dia berjalan sambil melihat ke bawah, seakan sepatunya lebih menarik dari pada jalan yang ia lalui.
"Lo bakal memperingati, kan?"
"Entahlah"
"Lo harus bilang atau sesuatu bakal terjadi"
"Tapi gimana dengan perjanjian itu?"
"Lupakan perjanjian itu! Lo harus memberitahunya!"
"SEKARANG!"
"Devon!!! Awas!!!" teriak Nina dengan suara yang lantang. Dengan bodohnya, Devon melihat ke arah Nina dengan tatapan bingung, "Apa?"
*Tingg* *Bukk*
Apa itu terjadi? Aku membuka mataku perlahan - lahan. Terlihat Devon terduduk sambil memegangi pelipisnya -yang kupastikan membengkak. Tepat di sampingnya, tiang bendera berdiri tegak, sedikit bergetar. Aw. Itu pasti sakit.
Dia mencoba untuk berdiri, namun berakhir dengan bokong yang mendarat di tanah. Aku ingin membantunya, namun aku teringat dengan perjanjian itu.
"Apa dia baik - baik aja?" tanyaku pada Nina yang membalas pertanyaanku dengan mendelik. "Lo bercanda? Tentu aja dia nggak baik. Dia baru aja menabrak sebuah tiang hanya karena menghindari lo. Lo udah tau ini bakal terjadi, tapi lo nggak memberitahunya. Lo emang bodoh" cecar Nina.
"Terima Kasih." Apa yang harus kulakukan kali ini? Menghampirinya dan membantunya? Baru saja aku mengangkat kakiku 2 inci di atas tanah, aku kembali teringat akan perjanjiannya dan kembali menjejakkan kakiku ke tanah. Ini semua karena dia membuat perjanjian bodoh itu. Dia yang selalu dirugikan.
"Lo bakal bantu, kan?" tanya Nina. Ck. Apa yang harus kulakukan? Tanpa sadar aku melangkah ke kelas, menjauhi Devon yang masih setia terduduk sambil memegangi pelipisnya yang baru kusadari berdarah sedikit. Kakiku terus melangkah tanpa perintah. Dapat kulihat Nina melirik Devon lalu berlari ke arahku.
"Lo gilak?" katanya saat kami tiba di bangku. "Lo harus bicara padanya atau sesuatu hal lain bakal terjadi"
"Nggak akan ada yang akan terjadi" ucapku tegas.
Benar apa yang dikatakan Nina, sesuatu hal terjadi, pada Devon. Suatu pagi dia sedang bermain gitar di balkonnya yang kebetulan berhadapan dengan balkonku. Devon duduk di dinding pembatas balkonnya. Aku yang baru saja mandi, keluar tak menyadari keberadaannya hingga suara benda terjatuh terdengar.
Dengan cepat aku melihat ke bawah. Di sana Devon terbaring mengenaskan dengan mata yang terbuka dan suara erangan lolos dari bibirnya. Tak jauh dari tubuhnya, sebuah gitar hancur terpecah - belah. Gitar kesayangannya, hancur. Setelah kejadian itu, Devon tak pernah keluar ke balkongnya dan suara petikan gitar tak pernah terdengar lagi.
Belum lagi di saat sore hari kemarin. Dia bersepeda melewatiku yang sedang lari sore di sekitar komplek. Begitu menyadari keberadaanku, jalur sepedanya oleng dan tak bisa di kendalikan olehnya. Akhirnya dia masuk ke selokan. Wajahnya syok berat, Devon tak bergerak sama sekali. Aku ingin bertanya keadaannya.
Tapi mengingat perjanjian itu, aku hanya membantunya menaikkan kembali sepedanya dan memberinya handuk kecilku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku pikir tindakanku itu akan membuatnya lebih baik, tapi ternyata aku salah. Sejak saat itu dia tak pernah keluar sore kalau tidak terpaksa dan harus di temani orang lain. Sejak saat itu pula, aku tak pernah melihatnya mengendarai sepedanya atau sepeda - sepeda lainnya.
Atau di saat dia tanding basket dengan kelas sebelah di lapangan sekolah di tonton oleh ratusan siswa yang di dominasikan oleh siswi cewek. Saat itu aku dan Nina hanya sekedar lewat dan melihat perolehan skor yang di ungguli oleh kelas kami. Dengan bodohnya, Nina meneriaki Devon di tengah pertandingan yang sedang berlangsung.
Karena suara teriakan Nina yang seperti toa, reflek Devon melihat kearah Nina dan matanya bertemu denganku. Seperti kehilangan dunianya, Devon mematung di tengah lapangan. Hingga sebuah bola dan sebuah bahu besar menabraknya yang membuat Devon terjatuh di lapangan dengan posisi kepala yang pertama kali menyentuh lantai.
Setelah kecelakaan mengenaskan itu, bukannya langsung bangkit berdiri Devon malah terdiam di lantai masih berbaring. Dengan sigap, para petugas UKS memeriksanya lalu membawanya ke ruangan. Di perjalanan, aku beserta seluruh siswa melihat darah segar mengalir dari pelipisnya.
Aku ingin melihat keadaannya, tapi lagi - lagi aku teringat akan perjanjian konyolnya itu. Sejujurnya aku khawatir dan panik. Tapi aku pun ikut mematung di tempat. Bahkan aku bisa merasakan degupan cepat jantungku.
Nina melihat keadaanku sebentar lalu menarikku ke ruangan yang di masuki Devon. Aku masih syok dan tak sadar bahwa Devon kini sudah berbaring lemah di hadapanku. Kepalanya di perban. Dia sudah mulai menyadari keadaannya, ditandai dari terdengarnya rintihan dan erangan dari bibirnya.
Aku mendekatinya secara perlahan, takut membuatnya syok lagi. Aku membuka air mineral yang sedari tadi kupegang. Dia menyadari keberadaanku dan mulai terduduk secara spontan yang mengakibatkan suara rintihan yang semakin keras terdengar.
Aku memberinya minuman, Devon meminumnya dalam diam. Aku juga mengusap peluhnya. Lalu mata kami kembali bertumbuk. Setelah itu, aku keluar tanpa memperdulikan Nina yang tercengang di sudut ruangan dan Devon yang menatapku terus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him [END]
Short Story'Dia' Pria yang selalu berusaha keras mengejarku. 'Dia' Pria yang memaksaku secara tidak langsung. 'Dia' Pria yang kusayangi lebih dari apapun. 'Dia' Adalah sahabatku.