Hari minggu mungkin banyak dinantikan oleh sebagian orang, bersantai atau tidur seharian pun tidak masalah karena tidak perlu bangun pagi. Namun tidak bagi Flo, kesehariannya sebagai pekerja kantoran membuatnya memiliki jam biologisnya sendiri.
Tubuhnya akan otomatis bangun pukul enam dan tidak akan bisa tidur lagi meski hari libur. Flo kini berdiri di belakang meja pantry tengah mengaduk secangkir kopi panas.
Kepalanya mendongak melihat sekeliling, suasana terasa sepi. Ia merasa rumah ini terlalu besar untuk ditinggali keluarga beranggotakan dua orang. Rasa penasarannya mencuat kala memikirkan sosok ayah Flo, dimana dia?
Setelah menaruh sendok di wastafel, Flo berjalan keluar dapur membawa kopi tadi menuju balkon kamarnya. Di tengah tangga, ia berhenti dan melihat dua ART tengah bekerja. Saat mata salah satu ART itu bertemu miliknya, senyum dimunculkan sebagai bentuk sapaan.
Flo mengalihkan pandangan canggung dan melanjutkan langkahnya tanpa membalas senyuman.
Di balkon, Flo menghirup dalam-dalam udara pagi yang terasa begitu segar dan duduk di kursi santai, mulai membaca buku yang ia ambil dari rak.
Drrt drrt
Flo tersentak pelan, ia mengerang frustasi dan menutup bukunya kencang. Dangan malas tubuhnya bangun untuk meraih ponsel yang ia letakkan di dalam.
Ia melihat penelpon yang berani mengacaukan pagi damainya, menekan tombol hijau, menaruh ponselnya di samping telinga dan diam menunggu orang di seberang bicara duluan. Flo kesal.
Pip
"..."
"..halo?"
"..."
"Heh, ngomong dong, ngeri nih gue."
Flo masih belum menjawab, ia justru berjalan ke balkon lagi dan menopang tubuhnya dengan lengan di pagar balkon.
"Hah.. oke, gue cuma mau ngajak lo ke hang out, mau gak?"
"Oke, jemput."
"Asik! Ok-"
Tut..
Flo langsung mematikan telfon tanpa membiarkan Vanya menyelesaikan ucapannya.
🍁🍁🍁
"Ini bagus ga sih di gue?"
Flo duduk bersedekap di sofa toko, matanya memindai penampilan Vanya dari kepala sampai kaki, sebelum menunjukkan raut tak suka, "Jelek, ganti."
Vanya lesu, bibirnya mencebik kesal lalu kembali ke ruang ganti. Vanya mengajaknya ke toko pakaian untuk memilih gaun, katanya gaun di malam hari terakhir festival yang sekaligus malam tahun baru harus spesial.
Ia mempercayakan penilaian temannya, karena Flo cukup kritis dan pilihannya pasti bagus. Tapi tak ia sangka Flo akan se kritis ini. Entah sudah gaun ke berapa yang ia coba, itu karena Flo terus mengatakan jelek.
Vanya keluar ruang ganti dengan pakaian awal nya, "Terus gue harus pake apa teman.."
Flo menghela nafas, ia bangun dan mulai menyusuri gaun-gaun yang digantung hingga atensinya terpaku pada sebuah gaun berwarna Lilac dengan hiasan bunga di pinggangnya seperti sabuk.
Sifat Vanya ceria dan tidak bisa diam yang menurutnya cocok dengan gaun cerah dan tidak terlalu ramai tapi tidak polos juga. Gaun itu off shoulder, bawahnya tidak terlalu panjang ataupun ber layer sehingga memudahkan Vanya bergerak kesana kemari.
Menurut Flo gaun itu lebih bagus dari pilihan Vanya yang berkebalikan dengan logikanya. Flo menghampiri manekin yang memakai gaunnya, "Coba yang ini."
Vanya menggigit bibirnya, menatap gaun itu ragu sebelum mengangguk, "Oke"
KAMU SEDANG MEMBACA
Flo the Extra
Ficção AdolescenteIa menjadi figuran Figuran yang asal usul dan endingnya tak tertulis di novel Figuran yang tak akan mengubah jalan cerita meskipun dia berulah Figuran yang posisinya akan selalu berada di luar lingkaran alur Flo, si figuran Tapi.. jangan lupa bahwa...