Pertunangan

6 1 0
                                    

Hari berlalu begitu cepat, malam hari ini keluarga Eca tengah berada di sebuah restoran menunggu kedatangan seseorang. Eca sebenarnya tak peduli dengan hal ini, ia asik dengan es krim yang di pesan Evan untuknya.

“Ca, gak takut kalo calon suami Lo jelek?” tanya Evan tiba-tiba.

“Nggak, kalo jelek ya di tolak aja. Lagian Eca kan cantik jadi calon suami Eca ya minimal kayak kak Lino,” jawab Eca dengan polos.

Evan melongo mendengar jawaban Eca. Untung Eca tau yang ganteng.

Tak lama kemudian ada beberapa orang yang menghampiri mereka. Mereka semua langsung melihat ke arah keluarga itu. Evan yang melihat siapa yang datang kaget. Evan tak menyangka kalau itu adalah Lino dan kedua orang tuanya.

Lino belum sadar karena dia menatap ponselnya sambil berjalan di belakang orang tuanya sedari tadi. Saat duduk Lino langsung mematikan ponselnya dan tak sengaja matanya menangkap Evan yang sedang melihat dengan melongo. Lino pun kaget ternyata di sampingnya ada Eca yang menatapnya sambil memegang sendok.

“Mama ini gak salah?” tanya Eca.

“Gak dong,” jawab Rani.

“Kalau calonnya ini ya Evan setuju, tapi kok bisa?” tanya Evan.

“Jadi, Papi dan Mami-nya Lino sahabat Papa dan Mama,” jawab Rendi.

Lino masih bingung dan tak menyangka kalau dia akan dijodohkan dengan Eca. Bagaikan mimpi Lino masih tak percaya, bahkan pertemuan mereka baru beberapa hari dan sekarang sudah dijodohkan.

“Bagaimana kamu setuju?” tanya Sera pada anaknya.

“Lino mau,” jawab Lino membuat mereka langsung tersenyum.

“Ca, kamu mau kan?” tanya Rendi.

“Pasti mau, tiap di sekolah selalu nempel Lino,” ceplos Evan yang membuat Eca tersenyum manis, bukan merasa malu.

“Wah ... kalau kayak gini nikahnya dipercepat aja,” ucap Roy dengan nada candaan.

“Kita masih sekolah, nanti aja jangan sekarang,” bantah Lino.

Bukan tak setuju dengan ucapan Papi-nya, Lino hanya tak mau merusak masa muda Eca. Apalagi mereka baru berusia delapan belas tahun.

“Baiklah Papimu hanya bercanda, saya juga gak mau punya menantu belum bekerja. Jadi bagaimana kalau kalian tunangan sekarang?” tanya Rendi.

“Kan Lino belum siapkan cincin,” ucap Lino dengan santai.

“Kenapa harus siapkan cincin?” tanya Eca dengan polos.

“Aduh, kamu diam dulu aja,” ucap Evan yang gemas dengan pertanyaan adeknya.

Eca pun hanya mengangguk saja, sambil mendengarkan ucapan mereka semua.

“Kamu tenang saja sudah Papi dan Mami belikan, jadi tak ada alasan lagi,” ucap Rani.

Lino kaget mendengar ucapan Rani. Bahkan orang tuanya yang terlalu bersemangat sampai menyiapkan cincin untuknya. Sepertinya benar tak ada alasan lagi.

“Baiklah, mana cincinnya?” tanya Lino.

Rani segera mengambil cincin yang sudah di siapkan untuk Lino dan Eca. Sedangkan Eca hanya diam, dan memperhatikan saja.

“Sekarang pakaikan cincinnya,” ucap Sera.

Lino memakaikan cincin itu di jari manis Eca. Sekarang giliran Eca.

“Ca, pakaikan juga ke jari Lino,” ucap Rani.

Setelah itu mereka tepuk tangan dan tersenyum menatap pasangan baru itu.

***  

Setelah acara tadi selesai mereka pulang ke rumah masing-masing. Sekarang di kamarnya Eca tengah berdiri di balkon sambil memegang cincin yang baru saja tersematkan di jari manisnya.

“Sungguh tak terduga, tapi untung dia kak Lino bukan orang lain. Sepertinya sebentar lagi hidupku akan tak tenang, pasti banyak yang tak suka apalagi si lampir itu akan menggangguku karena dekat dengan kak Lino. Sepertinya nanti aku harus melakukan sesuatu,” guman Eca sambil menatap bulan.

“Udahlah, lihat hari besok dan selanjutnya. Sekarang bobok manis dulu,” guman Eca sambil menutup pintu balkon.

Sedangkan di balkon kamarnya Lino tengah menghisap rokok.

“Sebenarnya siapa Eca? Tapi kenapa gue rasa ada perhatian untuknya, tapi gue harus buka hati gue buat dia karena nanti gue sama dia bakal bersama,” guman Lino.

“Apa gue suka?” pikir Lino seolah terlintas dengan kata suka.

***

Keesokkan harinya Lino di paksa sang Mami untuk berangkat bersama Eca. Mau tak mau Lino harus mengikuti perintahnya. Dengan kecepatan tinggi motor Lino melaju ke rumah Eca. Di sana ada Eca yang tengah berdiri di samping motor Evan dan Evan yang tengah duduk di atas motornya.

Eca yang mendengar ada motor di depan rumahnya langsung menoleh ke depan.

“Kak Lino,” sapa Eca dengan berteriak.

“Tuh urus bocil, dari tadi rengek minta motor sendiri,” ucap Evan menghampiri Lino dan Eca.

“Boleh ya kak? Eca yang di depan kakak duduk di belakang,” pinta Eca.

“Gak boleh, badan Lo aja kecil mana nyampe,” sahut Lino.

“Eca bisa naik tau,” ucap Eca sambil melotot.

“Udahlah bentar lagi bel, mending cepat naik,” ucap Evan.

Eca pasrah karena tak di bolehin. Ia pun segera naik jok belakang motor Lino daripada telat.

Ck, gak dibolehin batin Eca.

Setelah itu mereka segera berangkat ke sekolah. Saat di perjalanan Lino melihat ada seseorang yang mengikuti mereka. Lino tak tahu siapa mereka, tapi sepertinya ia pernah lihat. Lino segera memberi kode Evan untuk melaju motornya dengan cepat. Eca hanya santai karena ia tau sedari tadi ada yang mengikuti mereka.Orang yang mengikuti mereka tak sampai sekolah.

“Siapa tadi?” tanya Eca ketika sampai.

“Siapa?” tanya Evan bingung.

“Itu loh bang, yang ikuti kita tadi,” jelas Eca.

“Bukan siapa-siapa,” ucap Lino dengan singkat.

Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Mereka segera masuk ke kelas mereka masing-masing, Evan dan Lino kali ini tak mengantarkan Eca  ke kelasnya. Saat di kelas Eca banyak melamun, sekali-kali mengetik sesuatu kepada seseorang. Karin yang melihat Eca pun bingung, karena tak biasanya Eca seperti ini. Karin juga tak sengaja membaca chat Eca dengan seseorang yang membuatnya penasaran siapa Eca sebentar dan sepertinya Eca bukan orang sembarangan.

Mungkin nanti gue tanya langsung, batin Karin.

Beberapa saat kemudian pelajaran selesai. Karin segera menanyakan apa yang ada di pikirannya sedari tadi yang membuatnya penasaran.

“Ca, gue mau nanya sama Lo tapi gue harap Lo gak tersinggung,” ucap Karin yang membuat Eca menaikkan alisnya.

“Siapa Lo? Kenapa kayaknya Lo bukan orang biasa,”  sambung Karin.

Eca langsung tersenyum ternyata sedari tadi Karin memperhatikannya.

“Queen Black Rose,” jawab Eca dengan singkat.

Karin langsung membulatkan matanya. Sebutan untuk siapa itu, orang-orang saja penasaran siapa itu Queen Black Rose, tapi dirinya sendiri sekarang malah dihadapkan dengan orangnya langsung. Bahkan setau Karin tak ada orang yang tau siapa dan hanya tangan kanan darinya yang tau. Karin masih merasa kaget dan tak menyangka mendengar kebenaran itu.

“Q-Queen Black Rose?”

CALINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang