______________________________________
Lama kupandangi Namira yang kembali sibuk dengan dunianya. Matanya berlari ke sana kemari menghindari tatapanku.
“Na, katakan.”
Sudah kali ketiga aku membujuknya untuk membuka suara. Namun dia hanya menghembuskan napas gusar.
“Namira!”
Panggilan kencangku membuatnya menoleh penuh.
“Apa yang harus ku katakan padamu? Kematianmu? Atau pengulangan waktu?”
Terlihat jelas ekspresinya berubah sendu. Bola matanya hanya menatap lurus ke arahku tanpa ada sorot lain.
“Semuanya tak masuk akal, Jeng. Kamu pikir cuma kamu yang hampir gila?”
Kutelan ludahku berulangkali. Namira dan ucapannya berhasil menggerogoti pikiranku.
“Aku yang mengenalkanmu padanya. Aku perantara kalian. Jadi aku harus kembali, lagi dan lagi.”
Belum sempat pertanyaan kulontarkan. Gadis itu sudah berucap dengan sendirinya. Semakin lama bukan titik terang yang kudapat, melainkan hanya kebingungan.
Namira bilang Re yang membuatku seperti ini. Dia adalah alasan kenapa aku kembali ke masa lalu. Namun yang membuatku bingung, kenapa Namira juga tahu? Seolah dia terlibat langsung dalam duniaku.
“Di masa lalu, hubunganku dengan Re seperti apa?”
Tiba-tiba pertanyaan itu terlintas dalam benakku. Jika dia yang membuatku mengulang waktu, setidaknya hubungan kami harus berteman baik kan?
“Jeng, jangan ngelakuin yang aneh-aneh, deh.”
“Kami berteman baik? Atau mungkin lebih dari itu?”
Kuabaikan larangan yang tercermin dari wajahnya. Kali ini aku harus mencari tahu lebih banyak. Sekalipun itu mengguncang akal sehatku.
“Ya, kalian memiliki hubungan yang seperti itu.”
“Tapi sejauh ini kamu tak pernah mengenalnya. Aku pun sedikit terkejut ketika pulang bersamamu hari itu. Kamu berhasil mengenalinya, berbeda sekali dengan pertemuan sebelumnya.”
Keningku mengerut tipis. Sejak tadi Namira berucap seolah aku dan Re selalu dipertemukan.
“Pertemuan sebelumnya itu yang mana? Hari itu adalah pertemuan pertama kami, selain masa lalu yang tak pernah kuingat.”
Mendengar ucapanku, matanya membola dengan senyum samar.
“Ah, ternyata sampai situ dia memberitahumu.”
Tanpa menunggu responku, tubuhnya bergerak cepat. Memungut sendok makan yang tadi dijatuhkannya.
“Ingat, jangan pernah berpikir untuk mendekatinya lagi.”
Sebelum berlalu, kalimat itu kembali memenuhi indra pendengaranku.
Aku tahu dia bermaksud baik. Namun tanpa Re, Namira akan tetap berpura-pura tidak tahu. Berada di sekitarku yang tak tahu apa pun.
Pagi menyambutku dengan kejam. Sejak tadi Namira terus menempel padaku. Padahal aku ingin menemui Re di lantai atas.
“Serius deh, Na. Jangan ikut, aku cuma mau ke kamar mandi.”
Kutepis tangannya berkali-kali. Memberikan perintah agar tak ditemaninya lagi.
“Ya udah, aku juga mau ke kantin.”
Pergelangan tanganku terasa kosong. Mungkin karena terbiasa ditarik olehnya sejak tadi.
Kulangkahkan kaki menuju tangga. Namun tepat di puncak aku malah benar-benar ingin pergi ke kamar mandi. Jadi kuputuskan untuk berbelok ke arah lain.
“Padahal kan tadi cuma alasan.”
Gerutuan kecil menemani kegiatanku. Setelah selesai aku berdiri sesaat di depan wastafel untuk mencuci tangan. Lantas berlari terburu-buru sebelum Namira mengetahui kebohonganku.
“Kamu benar-benar mau kita gila bareng ya?”
Kecepatanku menurun drastis. Menatap Namira yang baru saja melontarkan kalimat sarkasnya.
“Itu di luar kendaliku.”
Dengan wajah kecut, Namira menendang kaki Re kencang. Lantas berbalik meninggalkannya sendirian. Untung saja gadis itu mengambil tangga sebelah kanan. Jika tidak, aku akan kewalahan mencari tempat persembunyian.
“Re.”
Sosok yang baru saja melangkah mendekati ambang pintu itu berbalik perlahan. Menatapku dan koridor yang tadi dilalui Namira bergantian.
“Aku lihat.”
Kakiku semakin terayun mendekatinya. Membiarkan Re menikmati kebingungan.
“Sejak kapan?”
“Sejak awal.”
Bohong. Padahal aku hanya melihat interaksi akhir antara keduanya. Bahkan percakapan yang kudengar pun hanya sebatas perdebatan.
“Kehidupan yang ke berapa?”
“Hah?”
Tanpa sadar suara kebingungan keluar dari mulutku. Hal itu membuat Re menarik ujung bibirnya.
“Hampir saja aku tertipu.”
Sekarang giliran pria itu yang mengikis jarak diantara kami. Kaki panjangnya melangkah mendekat hingga beradu dengan ujung sepatuku.
“Padahal aku ingin pura-pura percaya, maaf ya.”
Tawanya menguar, mengiringi elusan yang entah sejak kapan dimulai.
“Serius, deh.”
Kubawa tangannya turun dari kepalaku. Namun pria itu malah membalasnya dengan menggenggam erat jari-jemariku.
“Apa Namira sudah memberitahumu tentang hubungan kita?”
Aku mengangguk ragu. Benar, Namira memang memberitahuku. Tetapi jika ditanya hubungan seperti apa, dia malah terdiam membisu.
“Baguslah, hal seperti ini tidak berlebihan kan?”
Re memperlihatkan tautan itu padaku. Dia kembali tersenyum, mengajakku untuk melupakan kericuhan di dalam kepala.
Aku menggeleng perlahan, berusaha tidak mengikuti alur yang ia buat.
“Soal kematian-”
“Tidak, soal tangga itu. Apa yang terjadi setelahnya?”
Re melepaskan genggaman lebih dulu. Membuat tanganku menggantung sendirian.
“Tak ada, semua kembali seperti semula.”
Mereka berdua terlalu samar untuk kutebak pikirannya. Mereka terlalu pandai menutupi apa yang mereka ketahui.
“Selain kamu dan Namira, siapa lagi yang tahu tentang ini?”
Aku menyerah untuk menggali informasi tentang kematian atau kehidupan yang lalu. Jadi kuputuskan untuk mencari informasi lain yang sama pentingnya. Akan kubuat manusia ini menjawab pertanyaanku.
“Orang yang kamu kenali dan tidak kamu kenali.”
Aku tercengang mendengar ucapannya. Apa menurutnya kalimat itu cukup untuk dijadikan jawaban?
“Berhenti bermain-main.”
Kutarik kemeja putih itu pelan. Memberinya peringatan agar tidak mempermainkanku lagi.
“Siapa?”
Mata kami beradu lama. Daripada bersuara, pria itu malah memilih untuk menarik ujung-ujung bibirnya.
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Play [SELESAI]
Fantasy[Semua gambar bersumber dari internet] _________________________________________ Aku bisa melihat potongan kejadian melalui mata Re-lelaki yang kujumpai di bawah guyuran hujan bersama Namira. Hal-hal mengerikan itu terus berdatangan sampai aku mendu...