______________________________________
Kepulan asap dari gerobak penjual memenuhi mata. Dengan hati-hati kutuntun hadiah yang baru saja Re dapatkan.
“Bakarnya yang gosong ya, Pak.”
Mendengar permintaanku, pria paruh baya itu tersenyum. Kedua tangannya sudah siap meletakkan jagung di atas pembakaran.
Sembari menunggu, kutiup rambut yang menjuntai asal. Senang rasanya bisa berjalan-jalan mengelilingi taman kota seperti ini.
“Capek gak?”
Aku menggeleng cepat. Menyingkirkan tangannya yang baru saja menyentuh keningku.
“Seru tahu,” ujarku menariknya untuk tersenyum.
Masih banyak permainan yang belum dicoba. Begitu pun dengan makanan yang jikalau dilihat dari sini bagai tak ada ujungnya.
“Makasih, Pak.”
Saat pesanan tiba, Re bereaksi lebih dulu. Mengipasi bagianku sebelum akhirnya ia serahkan.
“Makasih,” sambutku hangat.
Cucuran keringat kutepis pelan. Dengan senang kutunjuk pameran di sepanjang jalan. Celotehan anak-anak di belakang berhasil membakar semangatku untuk terus memerhatikan sekitar.
“Jamnya bagus itu!” teriakku kencang.
Re terkekeh menyaksikan kegilaan yang kulakukan. Tanpa henti kamera ponselnya tersorot untuk mengabadikan. Tak jarang wajahku menjadi sasaran empuknya.
Menjelang malam, ramainya orang-orang semakin tak terkendalikan. Alun-alun yang sedari tadi penuh menjadi lebih sesak dibuatnya.
Pertunjukan musik di tengah kerumunan seolah melambai untuk disaksikan. Alunan merdu itu menggoda rungu untuk saling tersipu malu. Bait cinta yang terlontar tak henti-hentinya membuatku tertawa cekikikan.
“Aku pernah lihat di kamar kamu ada gitar. Kamu suka main gitar?”
Obrolan ringan kuciptakan saat para pemusik itu mempersiapkan lagu berikutnya.
“Dulu iya, sekarang udah jarang.”
“Hah?”
Suara pelannya terhalang oleh petikan yang baru saja dimulai. Tanpa sadar aku semakin mendekatkan diri untuk terus berbincang.
“Dulu iya, sekarang udah enggak.”
“Kenapa?”
Tanpa ada rencana untuk menyudahi, kembali kubuat pertanyaan lain. Meskipun keindahan sudah terpampang di depan mata, ternyata Re masih mampu melampaui segalanya.
“Enggak aja.”
Kuanggukan kepala meski pun sebenarnya tidak paham dengan apa yang ia maksudkan.
"Siapkah kau tuk jatuh cinta lagi?”
Bibirku tersungging tanpa malu. Entah karena tatapan lekat Re, atau lirik lagu yang begitu senada dengan hatiku.
Re selalu memberitahuku perihal hubungan yang katanya lebih dari sekadar teman. Mungkin pacar. Bahkan ketika itu hanyalah sebuah hubungan tanpa kepastian aku tidak merasa keberatan.
“Regan dan Jenggala. Apapun ikatan yang kita punya, aku akan bahagia.”
Saat isi hati itu sampai pada si penerima, mata Re membola sebesar-besarnya. Raut terkejut miliknya bertahan untuk beberapa waktu. Setelahnya ia memalingkan wajah dengan malu.
“Kamu salah tingkah ya, Re?”
Gelegar tawaku bersambut dengan riuh tepuk tangan. Lagu kedua baru saja selesai dimainkan. Namun sepertinya aku sudah tidak punya rencana untuk mendengarkan, karena tampang Re saat ini meminta untuk lebih diperhatikan.
“Perlu banget dijawab?” tantangnya setelah mengenyahkan ekspresi menggemaskan.
Diam-diam dadaku menghangat. Tali tas yang melintang kupegang erat-erat. Bahagiaku terus bergejolak sampai rasanya akan segera meledak.
“Boneka dino-nya masih belum dapat.”
Re dan gerakan cepatnya membawaku pergi. Menghampiri area permainan yang tadi gagal ditaklukkan.
“Kalau aku menang, kamu kasih dia nama.”
Telunjuknya mengarah pada buntalan kapas berwarna hijau. Ekor panjangnya berhasil mengenai tubuh boneka yang lain.
“Oke, tapi cuma tiga kali percobaan ya.”
Berbeda dengan kali pertama, kini Re sudah mahir menguasai permainan. Dalam sekali coba, sasaran yang ditujunya merangkak keluar.
“Reje!”
Pekikanku terdengar begitu benda yang sedari tadi diincar terjun ke dalam pangkuan.
“Reje?”
Pria di hadapanku menoleh setelah berhasil melerai lipatan baju.
“Iya, Regan Jenggala.”
Lirikan tak habis pikir kutanggapi dengan cengiran. Sepertinya hari ini aku terlalu blak-blakan dalam menunjukkan perasaan. Tapi tak apa, hanya pada Re saja.
“Udah ini kita pulang,” tuturnya yang langsung kusambut gelengan.
“Baru jam delapan.”
Alasanku sederhana. Rasa bahagia di sini memang tak akan bertahan lama. Namun setidaknya hal-hal menyenangkan itu bisa menjadi penguat suatu saat. Misalnya ketika lelah dengan perjalanan yang tak sesuai dengan harapan.
“Kita bisa main lagi nanti,” usulnya masih dengan senyum merekah.
Kupenuhi keinginannya. Mengakhiri kegiatan dengan melangkah beriringan. Beberapa kali tangan kami bersentuhan, atau terkadang aku yang sengaja menyentuhnya.
“Kita bisa pegangan kalau kamu mau.”
Dalam hati aku jelas memekik kencang. Kencan hari ini harus kuabadikan untuk cerita di masa depan.
“Je.”
Panggilan darinya mengikat paksa khayalan yang terus beterbangan di kepala.
“Apa?”
Ayunan Re terjeda dengan perhatian yang sepenuhnya tumpah padaku. Melihat ekspresi ragu yang terpancar, aku semakin tertarik untuk mendengarkan.
“Formulir universitas belum kamu isi, kan?”
Mulutku menganga begitu teringat dengan dua lembar kertas yang kemarin kutitipkan pada Namira.
“Belum, kenapa?”
“Harus dikumpulin hari ini ya?”
Habis sudah jika hal yang ku khawatirkan benar-benar terjadi. Lagipula mengapa berkas penting itu kutelantarkan di mana saja, sih?
“Enggak. Sama sekali enggak.”
Gerakan cepat dari tangannya mengundang banyak pertanyaan. Kepalaku sudah hampir miring karena kebingungan.
“Terus kenapa?”
Re berdehem sembari memasukkan tangan yang bebas ke saku celana.
“Aku cuma mau kita ngisi bareng. Besok.”
Helaan napas lega tak lagi bisa kutahan. Re dengan tindakan tiba-tibanya hampir saja mengguncang kewarasanku.
“Aku pikir kenapa,” sungutku saat ia kembali memandu jalan.
Menggiringku di area trotoar yang penuh dengan dedaunan. Angin malam membuat mereka berterbangan senang. Namun itu tak bertahan lama, karena tanpa diduga hembusan itu menghempasnya kasar.
Aku meringis kecil. Semoga nasibku berada di jalur berbeda.
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Play [SELESAI]
Fantasía[Semua gambar bersumber dari internet] _________________________________________ Aku bisa melihat potongan kejadian melalui mata Re-lelaki yang kujumpai di bawah guyuran hujan bersama Namira. Hal-hal mengerikan itu terus berdatangan sampai aku mendu...