Re-Play : 19

19 3 0
                                    

______________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

______________________________________

Semilir angin terasa begitu aku keluar dari ruangan. Masih dengan langkah pelan, kakiku terayun menuju bangunan yang berada di ujung bagian barat.

“Re!”

Lambaian tanganku bersambut dengan senyuman darinya. Rambut hitam yang hampir panjang itu meloncat-loncat akibat gerakan si pemilik.

“Yuk,” ajaknya sembari merangkul pundakku.

Sore ini aku dan Re berencana untuk menghabiskan waktu berdua. Karena dalam satu minggu ke depan hari-hari kami akan dipenuhi oleh persiapan ujian.

“Duduk aja.”

Belum sempat aku menolak, jemari Re kembali mendarat di bahuku. Dengan cepat ia memberikan tekanan hingga aku terduduk tanpa perlawanan.

Setelahnya ia bergerak ke samping, menyandarkan punggung dengan sebelah tangan memasuki saku celana.

“Pegel gak?” tanyaku setelah beberapa saat tak mendengar suaranya.

Masih dengan posisi yang sama, Re menggeleng sembari tersenyum. Tangan kanannya terulur mengusap puncak kepalaku dari samping. Tatapan dari orang-orang yang turut mendiami halte tak menyurutkan semangatnya untuk memainkan rambutku.

“Apa? Mau bilang kayak kuda lagi?”

Sontak mataku melotot menanggapi tawanya yang semakin menguar. Terakhir kali aku mengikat rambut seperti ini, dia mengejekku dengan sebutan itu.

“Berisik tau, Je.”

Pukulan dariku tak membuatnya jera. Terlebih bus yang baru saja tiba berhasil menggantungkan tanganku di udara.

“Ayo,” tuturnya menarik kepalan yang sejak tadi mengarah padanya.

Seperti biasa, perbincangan kecil diantara kami tak ada habisnya. Apalagi Re kerap kali menjadikan Rendy sebagai topik obrolan. Anak kecil itu sekarang sudah memasuki Sekolah Dasar.

“Namira kemarin ngabarin aku, katanya mau mampir.”

Dalam sekejap, kerutan di kening Re memenuhi netraku. Raut wajah penuh penolakan itu terpampang dengan jelas.

“Kebiasaan, muka kamu tuh julid banget sama dia. Tau gak?”

Setiap kali aku mendapatkan masalah, kedua orang itu menjadi juru bicara untuk saling menyalahkan. Pertemuan mereka pun tak jauh-jauh dengan pertengkaran. Aku sebagai orang yang terlibat terkadang merasa bersalah.

“Lagian kamu kok bisa akrab sama dia? Awal kalian kenal kayak gimana?”

Dengan cepat kalimat-kalimat itu bermunculan dalam benakku. Meski pun mereka sering bertengkar karena hal sederhana, tetapi keduanya masih tetap berhubungan. Apalagi jikalau hal itu menyangkut diriku.

“Aku kenal Nala dari kecil, dan kebetulan Namira temannya Nala.”

Alisku terangkat begitu penjelasan darinya memenuhi gendang telinga.

Re-Play [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang