Re-Play : 16

29 4 3
                                    

______________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

______________________________________

Bola basket yang tadi Re pantulkan sudah terangkat tinggi. Aku berjinjit untuk turut menggapainya.

“Gak bisa,” ejeknya sembari menyembunyikan benda itu di balik punggung.

Tak habis akal, kuulurkan tangan di sisi pinggang. Menarik ujung bajunya untuk mengalihkan perhatian. Sedangkan jemari lain bersiap untuk merebut kembali permainan.

Namun bukannya dapat, kakiku malah tersandung dibuatnya. Re tertawa kencang, melemparkan bola jingga bergaris hitam itu ke dalam ring. Lantas menghampiriku dengan tangan terentang.

“Apa?”

Mataku melotot galak. Ia sama sekali tak ingin mengalah. Padahal sejak awal aku sudah memintanya untuk tidak bermain dengan sungguh-sungguh.

“Gak mau ya aku main sama kamu lagi,” ujarku membuatnya terkekeh pelan.

“Janji deh gak gitu lagi.”

Kakinya bergerak melewatiku. Aku berbalik, memerhatikan dia yang tengah membungkuk. Memungut bola yang sudah tergeletak di ujung lapangan.

“Nih!”

Lemparan kecil ia berikan. Satu senyumku terbit karena permainan kembali dimulai.

Aktivitas di akhir pekan tidak banyak berubah. Jikalau tidak dengan Re, maka aku akan menghabiskan waktu bersama Namira. Sampai rasanya aku sudah tak punya lagi tempat untuk sendirian. Aku senang mereka ada, aku senang mereka meramaikan suasana.

“Minggu depan Namira ajak aku buat pilih baju. Kamu mau ikut gak?”

Acara kelulusan yang diselenggarakan bulan ini cukup menguasai sebagian kesibukanku. Apalagi Namira yang terus-terusan memintaku untuk menggunakan jasa yang sama.

“Boleh, belum ada referensi juga soalnya.”

Langkahku terayun lebih dulu. Meninggalkan pintu besi yang sudah Re bukakan untukku.

Kembali kami bersisian, menapaki jalanan komplek yang cukup ramai. Beberapa kali ponselku bersuara di tengah perbincangan. Re tersenyum, mempersilahkan diriku untuk membuka notifikasi itu.

“Kita langsung pulang aja, ya.”

Niat hati ingin berkeliaran lebih lama pupus sudah. Entah apa yang akan dibicarakan Ibu, yang pasti ia memintaku untuk pulang sebelum matahari tenggelam.

Setelah melewati tiga persimpangan, akhirnya rumah dengan pagar besi itu terlihat di depan mata. Re pamit pergi sebelum aku memasuki pekarangan.

Kudorong pintu yang tak terkunci. Samar-samar percakapan di ruang tamu menguar guna menyambutku.

“Bu,” sapaku basa-basi.

Buru-buru ia memutuskan sambungan telepon. Kedua tangannya membelit di dada dengan punggung bersandar pada dinding.

“Kamu berhubungan dengan wanita itu?”

Wajah cantiknya dipaksa garang. Lengkungan bibir yang biasanya manis itu kini terlihat beracun.

“Enggak,” bantahku tak terima.

Ia meneleng dengan tarikan yang semakin lebar. Kedua kakinya bergantian melenggang mendekatiku.

“Saya yang sudah menemani ayah kamu di masa-masa sulit. Bahkan saya juga yang sudah membesarkan kamu hingga saat ini. Tapi kenapa?”

Cengkraman kuat kudapatkan begitu dirinya menghentikan perjalanan.

“Kenapa selalu dia yang jadi pemenangnya?”

Sorot mata tajam itu menusuk jauh. Melubangi hatiku yang entah mengapa kini terasa sakit.

Aku tahu betul perihal fakta tentang dia yang membenciku. Namun aku juga tidak bisa mengelak, berkatnya aku bisa tumbuh.

“Wanita itu tidak pantas menjadi ibumu!”

Kuku panjangnya menekan kausku. Tanpa bisa kutahan, ringisan mulai keluar dengan sendirinya.

“Bu.”

Kudorong paksa dadanya yang terus datang menimpa. Suara rusuh di sekitaran pintu juga menarik atensiku.

“Raini!”

Aku melonjak kaget begitu mendengar teriakkan yang memekakkan telinga. Perdebatan antara keduanya berlangsung cukup lama dengan aku yang hanya bisa mematung.

“Dia anakku!”

Mata yang memiliki bulu lentik itu beralih menatapku. Melihat langsung wajahnya setelah sekian lama membuatku tak bisa berkata-kata. Gejolak amarah dalam diriku terus meletup-letup. Namun aku juga tak bisa bohong, ada rasa rindu yang senantiasa bersarang. Tanpa penghuni, belitan itu terasingkan seorang diri.

“Masuk ke kamar!”

Kualihkan pandangan pada wanita lainnya. Telunjuknya yang terangkat tinggi seolah menjadi peringatan agar aku tidak memberikan bantahan.

“Raini, dia anakku. Anak kandungku!”

Kembali kudengar kalimat memuakkan. Tanpa tenaga, ku ayunkan kaki menaiki tangga. Mengabaikan sepenuhnya keberadaan mereka.

Di balik pintu kayu, kusandarkan tubuh yang hampir ambruk. Kembalinya manusia itu tidak pernah berakhir baik.

“Kenapa Mama terus-terusan seperti ini?”

Kalimat-kalimat yang tadinya membelit di kepala mulai mengelilingi ruangan.

Ada begitu banyak cerita yang menjadikan hubungan ini tidak baik-baik saja.

“Kenapa Mama-”

Belum selesai kulontarkan keluhan, ketukan kencang pada jendela kamar menarikku untuk mendekat.

“Siapa?”

Teriakku begitu membuka pengaman. Tiga buah batu kerikil tersangkut di lantai balkon.

Sekali lagi kulongokan kepala ke bawah. Mencari-cari keberadaan seseorang yang mungkin saja tengah menjailiku.

“Apaan, deh.”

Lelah dengan segala hal yang menganggu, kutarik kembali jendela agar tertutup. Tepat ketika jemariku hendak mengunci, siluet gadis di rumah sebrang menarik perhatianku. Keberadaannya yang hanya diam memandang kamarku benar-benar mengerikan. Seingatku, pemilik bangunan itu tidak memiliki anak perempuan.

“Masa iya hantu, sih?”

Kugerek gorden untuk menutupi sosoknya. Langit yang hampir gelap semakin memunculkan ketakutan. Setelah ini aku pasti akan terjaga sepanjang malam.

“Sialan,” keluhku dengan tubuh menimpa kasur.

Padahal benakku sudah penuh dengan masalah. Setan tak tahu diri itu malah ingin menambah beban. Rasa-rasanya aku bisa mati jika terus seperti ini.

Dengan malas kuraba sekeliling untuk menemukan ponsel.

“Halo, Na.”

Suaraku mengalun begitu panggilan diterima. Meminta bantuan pada Namira adalah pilihan terbaik.

Terlebih dengan adanya Namira, kekesalan ibuku selalu reda. Entah karena apa, yang pasti wanita itu enggan memarahiku jikalau ia tahu ada Namira. Benar-benar sebuah keajaiban.
______________________________________

Re-Play [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang