______________________________________
Pagi yang seharusnya disambut raut bahagia, kini kujalani dengan penuh keresahan. Insiden tangga yang lalu masih mendiami benakku. Apalagi plastik tanda menonton pertunjukan sudah membelit pergelangan tanganku sejak tadi.
Warna biru dengan corak indah itu seolah menertawakan kematianku. Sebenarnya aku ingin pergi. Namun absensi yang berjalan membuatku mengurungkan niat. Lagipula jika aku bertandang ke rumah, itu sama saja dengan mati lebih dulu.
“Voucher makannya udah dapat?”
Pertanyaan yang diiringi tautan itu sontak membuatku menoleh. Re dan senyum manisnya memenuhi penglihatan. Beruntung gelang di tangan bukan berbahan kertas. Jadi aku bisa bernapas lega sekarang.
“Je?”
Gerakan ringan pada jemari membuatku kembali menguasai diri.
“Belum.”
Melihat antrean yang begitu panjang menurunkan minatku untuk mendapatkan benda-benda itu. Bahkan syarat utama untuk bisa masuk ke sini pun kudapatkan dari Namira. Mengingat nama itu aku jadi bertanya-tanya, ada di mana dia sekarang?
“Perasaan ngelamun terus, kenapa?”
Masih dengan tangan yang saling menggenggam, Re membungkukkan tubuh jangkungnya. Rambut hitamnya bergerak pelan karena angin yang baru saja berhembus.
Melihat dia yang kini menunggu dengan serius berhasil membuatku menerbitkan senyum. Aku menggeleng. Menyingkirkan helaian yang hampir menutupi matanya.
Saat acara dimulai, pria itu malah mengajakku mengasingkan diri di ujung lapangan. Saking ujungnya, aku berdiri beberapa langkah dari garis pembatas.
“Tunggu ya.”
Ia pamit setelah membuka kemeja dan mengulurkannya padaku. Meski bingung, aku tetap menyambutnya tanpa ragu. Menyangga kain itu dengan kedua tanganku.
Tak lama ia kembali lagi. Masih dengan langkah teratur, Re menggoyangkan bawaannya pelan.
“Duduk sini.”
Begitu salah satu es krim beralih ke tanganku, ia menepuk kursi di sampingnya.
Aku menurut saat Re merentangkan kemejanya di pangkuanku. Tanpa banyak bicara, ia kembali menekuri makanannya.
“Apapun yang terjadi, bahagia terus ya, Je.”
Lagi-lagi Re bertindak sesukanya. Mengusap pipiku lantas beralih ke rambut belakangku. Mengabaikan sepenuhnya kericuhan yang terjadi di depan sana.
Awalnya aku senang. Namun ketika menelaah kembali permintaannya, rasa bahagia itu luruh. Berganti dengan bisingnya pertanyaan di kepala.
“Re.”
Setelah menyiapkan hati selama berhari-hari tak membuatku jadi lebih berani. Meski begitu, aku ingin mencoba terbuka dengannya.
“Kematian dalam mimpi itu hari ini, kan?”
Usapan lembutnya berhenti. Ekspresi wajahnya berubah seketika.
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Gelang ini.”
Kuulurkan tangan ke hadapannya. Tanpa kuduga, Re melepaskan plastik itu dengan tergesa.
“Aku antar kamu pulang.”
Ia bangkit lebih dulu. Menarikku yang kini terombang-ambing di belakangnya.
“Tapi Re, daftar hadirnya bagaimana?”
Kutarik tangannya untuk berhenti. Mata tajamnya terasa menghujani nyaliku. Tanpa berucap ia kembali memandu jalan.
Pandanganku tersorot tak berkedip. Bukan pada tangga di sekitar Namira. Tapi pada gadis yang kini bercengkrama dengannya.
“Namira!”
Baru saja ia menoleh, tarikan dari arah lain mengalihkan perhatianku.
“Ibu?”
Aku bergumam tak jelas. Memandangi satu manusia yang paling ingin kuhindari.
“Tante.”
Namira menerobos dengan sapaan sopannya. Sedetik kemudian ia berhasil melepaskan diriku dari dua orang yang kini sama-sama membisu.
“Eh, Namira? Udah lama ya gak ketemu.”
Wanita sialan itu masih sempat-sempatnya berbasa-basi. Padahal Namira sudah siaga dengan sebelah tangan yang terentang guna melindungiku.
“Ini siapa?”
Matanya beralih pada Re yang kembali menggenggam tanganku.
“Regan, Tante.”
Tanpa perlu repot bersalaman, Re memperkenalkan diri seadanya. Bahkan tangan kanannya yang bebas ia masukan ke dalam saku celana.
Wanita itu mengernyit. Tak lama dia menyunggingkan senyum.
“Kamu hari ini kembali ke rumah,” tuturnya menumpahkan perhatian padaku.
Sebagai tanda perpisahan, ia mengusap puncak kepalaku. Melewati Namira yang kini membuka matanya lebar-lebar.
“Dasar gila!”
Sepeninggal ibuku, Namira mengumpati Re tanpa henti. Tangan bergelangnya menarikku pergi. Meninggalkan Re yang berkali-kali mengucapkan permohonan maaf.
“Na, tunggu.”
Tarikan dariku tak diindahkan olehnya. Langkah kakinya malah semakin terayun cepat.
“Pulang sekarang, Jenggala!”
Suaranya meninggi saat aku kembali melontarkan bantahan. Karena tak ingin berdebat, kuikuti keinginannya tanpa ada suara lagi.
Kuseret koper abu-abu dengan setengah hati. Membawanya memasuki ruangan yang sudah terasa mengerikan.
“Bagus begitu?”
Suara yang tenang semakin memacu degup jantungku. Mereka memang abai, tetapi kali ini aku sudah keterlaluan. Meninggalkan rumah tanpa penjelasan selama satu minggu penuh.
“Selalu ingat untuk menjaga perilaku kamu, Jenggala!”
Kalimatnya menguap. Persis seperti orangnya yang kini sudah meninggalkan tempat. Menyisakan aku dan seorang wanita yang entah mengapa terlihat semakin menyebalkan.
“Semakin hari kamu semakin mirip dengan ibumu.”
Tanpa beban ia mengangkat bahunya pelan. Berjalan melewatiku dengan seutas senyum. Baru kali ini aku merasa begitu direndahkan olehnya.
“Jangan sampai kamu berakhir seperti wanita itu.”
Telunjuknya mengacung tinggi. Kakinya kembali terayun menaiki tangga. Melihat wajahnya aku benar-benar bersumpah meminta pada Tuhan agar dia terjatuh di sana.
“Tatapanmu menyakitiku, Jenggala.”
Dua kali wanita itu berbalik ke arahku. Sorot matanya mengingatkanku akan peristiwa dalam mimpi.
“Jangan pernah mengalah pada apa yang kamu lihat. Kematian hanya akan menertawakanmu jika kamu gentar dan ketakutan.”
Pesan dari Namira di depan gerbang tadi berhasil menguatkan kakiku yang hampir ambruk.
“Aku tak akan pernah mati di tanganmu lagi.”
“Dan aku bersungguh-sungguh tentang hal itu.”
Kukepalkan tangan sebagai bentuk keyakinan. Entah suara hatiku sampai atau tidak, yang pasti saat ini dia terusik dengan caraku memandangnya.
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Play [SELESAI]
Fantasy[Semua gambar bersumber dari internet] _________________________________________ Aku bisa melihat potongan kejadian melalui mata Re-lelaki yang kujumpai di bawah guyuran hujan bersama Namira. Hal-hal mengerikan itu terus berdatangan sampai aku mendu...