Re-Play : 21

20 3 0
                                    

______________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

______________________________________

Rambut hitam kubiarkan terurai tanpa hiasan. Baju rajut biru sudah kukenakan dengan celana putih panjang sebagai pasangannya.

"Gak ada apa-apa," keluhku saat membuka lemari pendingin mini.

Beruntung susu full cream yang menjadi penghuni satu-satunya itu masih tersisa seperempat.

Kuraih gelas kaca yang terletak di atas meja. Menuangkan cairan putih sembari menggulir benda pipih.

Ponsel yang hampir redup itu kembali menyala terang. Balasan dari Tante Vina kubaca perlahan-lahan.

[Ya udah, kalau gitu tolong jagain Regan ya. Ini Tante lagi nemenin Rendy makan, sekalian mau ngambil keperluan Regan. Cuma sebentar kok, udah ini Tante balik lagi ke rumah sakit.]

Dengan cepat kumatikan benda itu sebelum menandaskan minuman. Buru-buru kugunakan sepatu yang tergeletak di dekat pintu. Tas putih yang mendiami kursi kutarik secepat kilat.

Sebelum meninggalkan area kosan, kunci dengan gantungan berbentuk hati itu kembali kugabungkan bersama barang bawaan yang lain.

Saat hampir tiba di halte, ingatanku tentang Namira mulai berdatangan. Jikalau jadi berkunjung, maka saat ini ia tengah menempuh perjalanan.

"Halo Na, kamu-"

"Sorry, Jeng. Semalam ibu aku kejang-kejang, ini juga masih di rumah sakit."

Dalam sekejap kata-kata yang terangkai di benakku menguap entah ke mana. Wajah manusia yang saat ini tengah menjadi topik pembahasan terngiang di kepala.

"Terus sekarang keadaannya gimana?"

"Sekarang gak pa-pa, kok. Kamu fokus aja jagain Regan, jangan sampai lengah."

Tanpa sadar helaan napasku terdengar panjang. Meski pun keadaan wanita itu masih mengkhawatirkan, tapi setidaknya tidak separah tadi malam.

"Oh iya, kalau ada yang bilang sesuatu sama kamu, jangan percaya. Selagi itu belum keluar dari mulut Regan, pokoknya jangan percaya. Oke?"

Baru saja suasana tenang kudapatkan, perkataan Namira berhasil menganggu pikiranku.

"Na, ini sebenarnya kenapa sih? Kenapa Re kayak gini? Ibu kamu juga."

"Apa semua ini gara-gara aku?"

Tak semena-mena aku berasumsi demikian, ada banyak kemungkinan yang mengarah padaku. Alasan aku bisa kembali masih abu-abu. Dan aku yakin, orang-orang itu melepaskan sesuatu untuk menembus kematianku. Tapi apa?

"Apa semua yang terjadi ini karena aku?"

"Kata Re, ini tahun terakhir aku. Apa karena itu?"

Potongan kejadian malam itu seolah mengembalikanku pada kenyataan pahit. Saat pintu bus terbuka, kakiku otomatis berjalan mendekat. Kursi di samping kaca menjadi tujuanku setelah membayar biaya transportasi. Penumpang lain yang tengah sibuk dengan urusannya membuatku leluasa mengeluarkan ekspresi.

Sambungan sudah terputus sejak tadi, sepertinya Namira enggan berbagi cerita denganku.

"Aku yakin semua ini karena aku."

Sekuat tenaga kutahan isakan yang hendak keluar. Namun soal air mata, aku sudah tak sanggup memendamnya sendirian.

"Kayaknya Kakak butuh ini."

Selembar tisu berhenti di samping wajahku. Kuusap bulir itu asal lantas menoleh ke sumber suara.

Gadis dengan dress kuning polos itu tersenyum ramah. Tangannya bergerak kecil, menggoyangkan benda yang masih ia sodorkan.

"Makasih," sambutku menerima pemberiannya.

Kukira dia akan kembali bersuara. Menanyakan banyak hal guna mengetahui masalahku. Namun untungnya manusia berhati malaikat itu lebih memilih memberiku ruang.

"Re," gumamku dengan getaran yang kentara.

Ketika pandangan mulai buram, kunaikan tisu di tanganku untuk menghilangkan cairan-cairan menyedihkan.

Jauh dari jalan utama, laut membentang dengan indahnya. Tak ada pengunjung, mungkin karena ini adalah hari yang sibuk. Apalagi saat ini mentari belum berada di puncak, itu artinya hari baru saja dimulai.

Laju kendaraan terasa lambat. Kemacetan di jalan kota menjadi alasannya.

"Ayolah, Re menungguku."

Jemariku tak henti-hentinya meliuk. Mengetuk kaca sembari mengutuk lampu merah yang tak kunjung berubah menjadi hijau.

Begitu bus berhenti, tubuhku terhuyung dengan sendirinya. Menapaki trotoar dengan pandangan terfokus pada bangunan di hadapanku.

Kembali kuinjakan kaki di lantai rumah sakit. Beberapa perawat tersenyum saat aku melintas di sekitarnya.

Ada banyak ruangan yang terisi, para pengunjung yang datang juga turut memenuhi koridor yang kulalui.

"Permisi."

Meski aku yakin tak akan mendapat jawaban, tetapi ucapanku itu tetap terlontar.

Pintu yang tadinya tertutup kubuka perlahan. Suasana hening menyambutku di tengah bisingnya isi kepala.

"Re, aku bawa sesuatu buat kamu lho."

Satu kakiku melangkah masuk, tepat setelah itu kehadiran insan lain menarik seluruh perhatianku.

"Nala?"

Mataku membola saking terkejutnya. Si pemilik pita biru tua itu menatapku tajam. Punggungnya bersandar dengan kaki menyilang. Kedua tangannya pun terlipat di dada.

Dengan cepat ia menegakkan tubuh, memainkan kuku panjangnya dengan tarikan di ujung bibir.

"Cepatlah mati."

Telingaku mendengung. Ucapan dari Nala menghantui pikiranku. Tanpa bisa menjawab, mataku tersorot penuh tanya.

Lama mata kami beradu. Aroma obat-obatan menusuk hidungku.

Saat aku hendak bersuara, bunyi nyaring terdengar dari benda yang tergeletak di atas meja.

Lagi-lagi Nala tersenyum. Dengan santai ia meraih arloji itu.

"Lihat," ujarnya sembari menggerakkan tangan ke kiri dan kanan.

Tak lama setelahnya, ia kembali meletakkan benda kecil itu. Suara yang tadinya mengguncang gendang telinga kini sudah tiada. Meski begitu, dentuman di dadaku tetap terasa.

"Menurut kamu karena siapa Regan jadi seperti ini?"

Nala bertanya dengan perhatian yang sengaja ia tumpahkan pada Re.

Dalam diam aku mencari jawaban. Padahal jelas-jelas hatiku berkata kalau aku adalah penyebabnya.

Namun sayangnya, diri ini terlalu ragu untuk berucap. Ada banyak kalimat penolakan yang terlintas di benakku. Jujur saja, aku tidak ingin menjadi alasan atas kemalangan yang menimpa Re.

"Tapi jika itu benar-benar terjadi karena aku, apa yang harus kulakukan?"

Tanganku gemetar, pertanyaan yang hinggap di kepala tak kuasa kulontarkan. Dengan mata yang kembali mengabur, aku memandang Re dalam-dalam. Berharap pria itu sadar dan memberiku sebuah penjelasan.
______________________________________

Re-Play [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang