Re-Play : 18

26 3 1
                                    

______________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

______________________________________

Ada kok mimpi yang sederhana namun sulit untuk terlaksana. Contohnya bisa satu frame bareng orang tua.

Jenggala Amisa

______________________________________

Tumpukan baju kulipat sekecil mungkin. Meletakan kebutuhan lain dicelah yang tersisa. Sebuah pigura dengan lukisan sebagai isinya beralih kepangkuan.

Dulu sekali, aku pernah menyatukan tiga gambar berbeda dalam satu kertas. Menjadikan mereka sebagai manusia-manusia yang berbahagia.

“Terlalu berharap juga tidak baik ya.”

Kembali kuhempaskan benda itu ke tempat asalnya. Senyum yang terukir begitu palsu. Pasalnya selama kami bersama, foto keluarga itu tak pernah ada. Aku melukiskan ketiadaan, dan sekarang harus berakhir menerima kekecewaan.

Setelah malam itu, Ayah memutuskan untuk pergi. Begitu pun dengan wanita yang beberapa hari lalu kembali mengusik ketenangan rumah ini.

“Semangat, Jenggala!”

Tarikan pada resleting koper mengakhiri posisi dudukku. Sebagai salam perpisahan, kupaksa diri menghampiri Ibu. Sosoknya yang tengah memandangiku itu tersenyum kecil.

“Jaga diri baik-baik,” tuturnya pelan.

Sesaat setelah aku sampai, tangan berbalut kardigan biru itu memelukku erat.

“Bu?”

Jari-jemariku menggantung di sisinya. Dengan liar kulemparkan pandangan ke segala arah.

“Maaf. Maaf, Jenggala.”

Suaranya memelan dengan usapan yang semakin terasa. Untuk beberapa alasan, aku hanya ingin membiarkan dia melakukannya.

Bukan hubungannya yang salah, namun hati kami yang tak pernah searah. Banyaknya prasangka semakin memperburuk keadaan. Ia membenci dan menyayangi secara bersamaan. Perihal niat buruknya di kehidupan lalu, kuputuskan untuk menghapus kenangan tak mengenakan itu.

“Aku pergi.”

Kutarik diri ketika manusia itu mulai terisak. Perpisahan hari ini mungkin berhasil menghancurkan keegoisannya.

“Sampai jumpa lagi, Bu.”

Lambaian tanganku bertahan sesaat. Pintu kayu dengan ukiran di segala sisi itu kututup rapat-rapat.

Sejak awal dia terobsesi untuk membesarkanku. Persaingannya dengan ibu kandungku selalu ia akhiri dengan kekalahan, termasuk cintanya Ayah. Satu-satunya hal yang berhasil ia menangkan adalah aku. Alasannya sederhana, kedua orang tuaku tak menginginkan aku.

“Je!”

Saat roda-roda kecil yang kutarik berhenti bergerak, teriakan dari Re terdengar di ujung jalan.

Re-Play [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang