______________________________________
Tidak berangkat sekolah, berarti aku harus siap membereskan rumah. Mencuci alat makan yang tadi digunakan oleh kedua orang tuaku untuk menyantap sarapan. Saat ini mereka tengah bersiap untuk pergi keluar. Entah ke mana, aku juga tak ingin peduli.
“Nikmati waktu luangmu, kami akan pergi.”
Celotehannya berhasil memutar perhatianku. Sampai tak sadar buih-buih sabun mengotori lantai.
Aku kembali menjadi penyelamat. Mendorong tubuhnya pelan agar tidak mendekati lantai basah di depanku. Tapi karena keseimbangannya yang tak stabil, membuat ia terhuyung jauh. Padahal aku ingin menyelamatkannya. Namun pada akhirnya ia tetap tersungkur di hadapanku.
“Jenggala!”
Bentakan kencang membuat kami menoleh serempak. Posisi yang ambigu. Tanganku terangkat dan Ibu terduduk di lantai.
“Apa yang kamu lakukan?”
Mata Ayah membola, menyiratkan kemarahan. Tangannya terangkat, bersiap memukulku. Ternyata pagi ini waktunya aku menikmati tamparan. Seperti dalam potretan yang Re bagikan.
“Udah, Mas. Aku gak pa-pa.”
Entah kapan wanita itu bangkit, yang pasti kini tangannya melingkari lengan ayahku. Menenangkan dia dengan elusan lembut.
“Jaga perilaku kamu!”
Pandanganku mengabur, genangan air yang menjadi penyebabnya. Ia memang tak menampar pipiku. Namun ia berhasil mencabik-cabik hatiku. Berulang-ulang tanpa ada satupun pengobatan.
Kuusap wajahku kasar. Menyingkirkan rambut depanku yang mulai panjang. Belum kutemukan waktu yang tepat untuk merapikannya.
Dengan telaten, kembali kuselesaikan tugasku. Lantas bersiap keluar untuk bertemu seseorang. Seseorang yang seharusnya bisa memecahkan teka-tekiku.
Kali ini aku tak membawa kertas, karena tujuanku bukan lagi melihat masa depan.
“Re?”
Dia mengangkat tangannya, membalas sapaanku. Entah apa yang terjadi padanya. Begitu aku mengirimi pesan, Re langsung membalasnya. Menentukan jam temu antara aku dan dirinya.
“Kamu gak apa-apa?”
Aku tersenyum. Menempati kursi yang tersisa di samping kirinya.
“Masa depan itu benar, aku mengalaminya pagi ini.”
Re menggeleng perlahan. Menyeruput minumannya sebelum berucap.
“Je, dengarkan aku.”
Kucondongkan tubuh ke arahnya. Mendengarkan dengan seksama apa yang akan dilontarkannya.
“Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi itu masa lalu kamu.”
Semakin lama suaranya semakin pelan. Kubiarkan dia menjelaskan maksud dari ucapannya. Memangnya aku memiliki penyesalan sebesar apa sampai bisa hidup untuk yang kedua kalinya?
Tanpa bisa kupungkiri, sejuta pertanyaan datang menghampiri. Kenapa? Bagaimana bisa? Dan hal-hal lainnya.
Kuhabiskan setengah hariku untuk bergelut dengan isi kepala. Memikirkan semua hal yang sekiranya masuk di akal. Meski sebenarnya hal-hal itu jauh di luar nalar.
Bahkan sampai saat ini pikiran kacau itu tak kunjung mereda. Padahal sudah kuundang Namira khusus untuk bertukar pikiran.
“Ya menurut kamu sendiri gimana?”
Gadis itu mengembalikan pertanyaan padaku. Membuat kepalaku kembali berpikir keras.
“Aneh. Aneh banget!”
Dia mengangguk, mendengarkan dengan seksama penuturanku. Tanpa berucap apalagi menyela argumenku.
“Dari awal kan aku udah bilang, Jeng. Jangan ikut campur. Apalagi bareng Regan!”
Kepala yang sejak tadi kutarik-tarik rambutnya kini mendongak cepat. Menatap Namira dengan penolakan terpajang.
“Kalau aku gak ketemu Re, aku gak bakal tahu sampai kapan pun.”
“Kenapa kamu sebegitu gak sukanya? Kamu kenal Re ya, Na?”
Mata bulatnya membesar dengan sendirinya. Tatapan membola itu kuyakini sebagai bentuk keterkejutan.
“Kamu kenal?”
Kuulangi pertanyaan itu sampai dia mau membuka suaranya.
“Sudah kubilang kan, aku hanya tahu, Jenggala!”
Intonasinya meninggi dengan pandangan mengedar sembarang. Menerobos kaca untuk menatap jalanan di luar sana.
“Ya udah.”
Meski dia berucap demikian, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya. Responnya begitu janggal hanya karena hubungan yang katanya sebatas tahu satu sama lain itu.
“Udah sore. Kita pulang aja, yuk!”
Jika biasanya langkahku yang mengantarkan dirinya, kini sebaliknya. Dia melambai di depan pagar besi rumahku setelah aku memasuki pekarangan rumah. Kusunggingkan senyum untuk perpisahan hari ini.
“Hati-hati.”
Lama kuperhatikan ayunan kakinya yang lamban. Hingga sosok itu menghilang, tertutupi tembok kokoh milik tetangga.
Kulanjutkan perjalanan menuju pintu masuk. Lagi-lagi rak sepatulah yang pertama kali kujumpai. Ada tiga sendal di sana. Cukup menjadi bukti jikalau di rumah ini tak ada siapa pun selain aku.
“Bagus, deh.”
Kembali aku terhuyung, menaiki tangga dengan lesu. Rasanya kepalaku akan meledak jika tidak buru-buru mengeluarkan isinya. Kuraba pelan batas tangga untuk berjalan menuju satu ruangan yang menjadi tempatku pulang.
Begitu sampai, kuhempaskan semua beban. Begitu juga belitan di dalam pikiran. Kutuangkan mereka semua ke dalam buku kecil milikku. Buku yang kuisi dengan apa saja. Bermakna atau tidak, akan kutuliskan di sana.
Tersisa dua pertanyaan dalam benakku. Apa benar ini adalah masa lalu? Dan bagaimana caranya aku bisa kembali menjalani kehidupan ini?
Tanganku berhenti dengan tinta yang sudah menetes lebih dulu. Tiba-tiba aku ragu untuk menuliskan bagian itu.
Ribuan kalimat memang menggangguku sejak tadi. Tapi rasanya dua pertanyaan itu lebih berpotensi membuatku terjaga sepanjang malam.
Dan benar, pikiran itu kembali memenuhi kamar tidurku. Tanpa bisa melakukan apa pun, kuhempaskan tubuh untuk berbaring. Meski pun kepalaku sibuk, setidaknya anggota tubuh yang lain sudah telentang dengan paksa.
“Kumohon, berhentilah. Aku benar-benar lelah. Aku ingin tidur.”
Seperti mantra, dengan ajaibnya kantukku mulai tiba. Membiarkan mataku tertutup. Memasuki ruang mimpi yang kuharap akan indah. Indah dan berbahagia.
______________________________________
Terima kasih sudah mampir, jangan lupa mampir lagi hari Jum'at yaa. Love you ❤️
Babay👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Play [SELESAI]
Fantasi[Semua gambar bersumber dari internet] _________________________________________ Aku bisa melihat potongan kejadian melalui mata Re-lelaki yang kujumpai di bawah guyuran hujan bersama Namira. Hal-hal mengerikan itu terus berdatangan sampai aku mendu...