8. like this night

180 33 1
                                    

Beberapa kali Sabrina mengecek layar ponsel yang menampilkan rute jalan menuju alamat rumahnya Gavin dengan perasaan campur aduk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa kali Sabrina mengecek layar ponsel yang menampilkan rute jalan menuju alamat rumahnya Gavin dengan perasaan campur aduk. Kemudian berakhir langkahnya berdiri di sini, di depan rumah kawasan perumahan elit yang dihuni para pejabat negara atau politikus sejenisnya.

Bahkan Sabrina sempat bertanya pada diri sendiri, Gavin itu memiliki potensi menjadi penguasa bumi di sekolah swasta, tetapi malah memilih sekolah negeri yang uang SPP tidak seberapa.

Bangunan rumah itu memiliki tiga lantai dan bernuansa putih tulang, pagar yang menjulang tinggi ke atas-seolah rumah ini dimodifikasi anti maling, karena pagarnya saja sudah seperti panjat tebing.

Lantas Sabrina meneguk ludah dalam-dalam dengan degup jantung sulit diatur, tangannya menjulur untuk mencapai bel di samping. Tidak ada satpam yang menjaga. Sembari menunggu orang rumah membuka gerbang, cewek itu mengubah posisi dengan membelakangi gerbang dengan kaki sengaja menendang kerikil kecil sehingga menggelinding ke jalanan yang sepi pejalan karena ini sudah malam. Sabrina juga belum sempat mengganti seragam sekolah karena biar sekalian, soalnya searah jalan pulang. Dirinya baru pulang dari toko buku, membeli stok bacaan -karena sudah habis dibaca.

Butuh waktu beberapa menit untuk menunggu gerbang terbuka, jadi Sabrina mengedarkan pandangan ke segala arah. Cewek itu sedikit tertegun melihat banyaknya bangunan rumah yang menjulang tinggi dan sedikit insecure, tetapi rasa itu segera ditepis.

Pada sekon berikutnya, gerbang terbuka. Sabrina membalikkan badannya dengan senyuman terulas tanpa sadar, tetapi luruh seperkian detik ketika matanya menangkap sosok gadis sepantaran dengannya. Bukan. Bukan Gavin atau ibu-ibu rumah tangga menyambut dirinya, melainkan sosok Jenita-temannya sendiri.

Jenita yang memakai kaos oversize yang dipadukan celana jeans di atas lutut, dengan rambut panjang yang dicepol. Raut wajahnya menampilkan ekspresi malas. Jenita paham betul apa yang ada dibenak Sabrina ketika dirinya muncul di hadapan cewek itu.

Jenita dengan separuh rahasia yang diketahui oleh Sabrina sekarang.

Bahkan Sabrina nggak tau mau merespon situasi ini seperti apa selain tersenyum kikuk layaknya orang paling tolol. "G-Gue cuma mau ngasih i-ini...," sahutnya sembari menyodorkan map merah jambu kepada Jenita, "... proposal buat Kak Gavin."

Jenita menerima map itu setengah malas. "Lo boleh pergi. Nanti gue kasih ke Kak Gavin."

"O-Oke. Gue pergi," sahutnya tersenyum tipis.

Langkahnya berbalik, tetapi sebelumnya kembali menoleh ketika Jenita berceletuk, "Jangan kasih tau sama siapa-siapa. Cukup lo aja yang terakhir."

Sabrina mengangguk canggung, mengiyakan. Kemudian cewek itu benar-benar pergi dari sini, menaiki motor Vespa kuning cerah kesayangannya.

Sepeninggalan Sabrina, Jenita menghela napas kasar sembari menutup gerbang, melangkah masuk ke dalam rumah itu, menaiki tangga menuju kamar Gavin. Setelah mengetuk pintu dan mendapat izin dari Gavin, Jenita melempar map itu ke atas meja belajar -dimana Gavin tengah menyiapkan asesmen nasional di meja belajar.

[✓] Next ChapterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang