Mila menghembuskan nafasnya kasar setelah melihat kelakuan cowok berkacamata itu sukses membuat suasana paginya terasa gerah. Bagaimana tidak, sedari tadi ia berusaha masuk ke dalam kelas namun pintu kelasnya terus menerus dihalangi cowok itu.
"Anton, minggir!" Mila menarik tangan Anton yang tengah direntangkannya lebar. "Lo ngapain sih kayak gitu."
Anton berdehem pelan. "Ciee ..., yang dikasih kejutan sama Pacarnya."
"Apa, sih."
"MILAAA!!" Teriakan yang terdengar cukup keras itu sukses mengalihkan perhatiannya, sosok yang berteriak itu merupakan Nindy—sedang berlari kecil menghampirinya. "Gue udah lihat apa yang dikasih Johan, romantis banget tau!"
"Kalian pada kenapa, sih?" Mila menatap Anton kemudian bergantian menatap Nindy. "Lo juga datang-datang teriak kayak orang gila."
"Heh!" Sentak Nindy tak terima. "Gue udah datang dari tadi tau! Gue udah lihat apa yang dikasih sama pacar lo itu."
Mila menghendikkan bahunya acuh, kembali menatap Anton yang masih konsisten memblokir pintu masuk kelasnya. "Anton, bisa minggir, nggak?"
Nindy menyahut sewot "Dih, Kutang. Lo ngapain disitu?"
"Sibuk banget lo, Cegil." Ejek Anton tak mau kalah sementara Nindy memilih melotot tanpa bersuara. "Cegil, cewek gila."
"Lo, ya!!" Nindy meraih telinga Anton kemudian menariknya dengan sekuat tenaga. "Lo sebut gue apa tadi??"
Anton melepas paksa tangan Nindy yang berada ditelinganya, ia meringis kesakitan sembari mengusap telinganya yang terasa panas. "Nindy gila!"
"Kalian berdua itu sama aja, sama-sama gila." Sela Mila memutar bola matanya, ia sedikit muak melihat dua orang itu yang ketika bertemu pasti selalu terjadi pertengkaran. "Daripada berantem terus mending pacaran aja, gue rasa kalian cocok."
"Ogah!!" Ucap Nindy dan Anton bersamaan.
Mila menggeleng pelan, ia berjalan melewati mereka berdua kemudian masuk kedalam kelasnya. Bahkan dari belakang punggungnya saja, Mila dapat mendengar Anton dan Nindy saling memaki satu sama lain.
Sesampainya di dalam kelas, Mila terpaku memandang meja tempat duduknya, ada sebuah bouquet bunga besar terpampang nyata disana, perlahan ia mendekati bunga itu dan meraihnya, ia mengecek semua bagian dari bouquet itu namun tak ada satupun tanda pengenal yang tertera disana.
"Lo disini mau belajar atau mau ziarah?" Suara familiar baru saja mengganggu telinganya, Mila berbalik melayangkan tatapan tajam ke sumber suara tersebut. "Hari gini masih jaman pacaran dikasih bunga?"
"Maksud, lo?"
"Ya, di kasih saham, dong." Cowok itu terkekeh pelan. "Kalo bunga untuk apa? Ntar juga layu ujungnya dibuang."
Mila terdiam beberapa saat. "Lo dari tadi didalam kelas, kan?"
Gio bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan pelan menghampiri Mila. "Iya, kenapa? Lo mau tau siapa yang ngasih bouquet itu?"
Mila mengangguk sementara Gio memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Kenapa harus nanya lagi? Kan pacar lo cuma satu, lo mau berharap yang ngasih orang lain?"
"Gio, apaan sih?" Mila meletakkan kembali bouquet bunga itu ke atas mejanya.
Kini Gio berdiri tepat di depan Mila. "Atau lo udah mulai nggak yakin sama Johan?"
Mila mengerjap. "Lo ngapain kesini, jauh-jauh sana."
"Takut ketahuan, ya?" Goda Gio sedikit memajukan tubuhnya lebih dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARMILA
Teen FictionKata siapa jatuh cinta itu akan terus terasa indah? Armila Eliana berani bertaruh bahwa cinta tidak selamanya indah. Dibalik setiap senyum manisnya, tersimpan rasa takut yang kerap kali menghantuinya. Sejauh apapun dirinya mencoba berlari pada akhir...