8. ARYO MELAMAR AINA

245 6 0
                                    

"Iya, Mas. Gak apa-apa. Aku kan ditemani Mbok Sri. Mas jagain Mamak saja."

Siti berusaha tetap bersuara biasa saja walaupun hatinya pedih sekali. Aryo pamit padanya lewat telepon, tidak bisa pulang malam ini karena harus menjaga Mamak di rumah sakit.

Mamak bersikeras minta Aryo yang menjaganya. Aina dipaksa pulang. Semula Aryo membujuk Mamak agar mau ditunggui Aina tapi Mamak malah balas menggertak akan memaksa pulang. Akhirnya Aina mengalah. Aryo mengantarnya keluar rumah sakit sampai ke area parkir, tempat janjian dengan supir mobil online yang dipesan Aina.

"Maafin Mamak, ya, Yo," kata Aina sambil mereka berjalan. Aryo tertawa pelan.

"Gak apa-apa, Na. Maklumi saja, namanya juga orangtua. Masih kangen sama aku, kalik."

Aina tersenyum. Bukan Mamak yang kangen kau, Aryo, tapi aku!

"Kalau nanti Mamak ngomong yang enggak-enggak, jangan dimasukin hati."

"Haha, iya, santai saja."

"Hasil diagnosa Mamak keluar besok pagi kata perawat. Tolong perhatikan baik-baik, ya, Yo. Aku khawatir sekali. Mamak belum pernah se-drop ini."

"Siap. Kamu hati-hati sendiri di rumah, ya. Pastikan kunci pintu dan jendela sebelum tidur."

"Iya," sahut Aina dengan hati sejuk.

"Mau makan dulu?"

"Enggak ah. Aku gak lapar."

"Nanti aku suruh karyawanku antar bubur ayam yang panas ke rumahmu. Harus makan, ya. Jaga kesehatan, Mamak membutuhkanmu."

"Iya, iya. Bawel."

Aryo kembali ke kamar Mamak setelah Aina pulang naik mobil online. Mamak dapat kamar kelas 1, Aryo yang mengurusnya. Orang cerewet seperti Mamak tidak boleh berada satu ruang dengan orang lain, bisa repot.

Dugaan Aryo benar. Sepanjang sore dan malam, ada saja perintah Mamak yang harus ia turuti. AC dinaikkan dan diturunkan suhunya entah berapa puluh kali. Channel televisi tidak ada yang cocok tapi begitu televisi dimatikan, Mamak minta benda itu dinyalakan lagi. Botol cairan infus masih penuh, Mamak ngotot menyuruh Aryo panggil perawat karena mengira infus sudah habis. Berkali-kali ke toilet, sebelum masuk Mamak selalu berteriak agar Aryo jangan mengintip!

Aryo yang tidak punya mertua, kali ini harus merasakan nikmatnya punya mertua cerewet!

Menjelang tengah malam, barulah Mamak agak tenang. Aryo membujuk Mamak agar mau makan tapi Mamak menolak. Jatah makanan dari rumah sakit sudah diambil kembali oleh perawat jaga. Aryo menyodorkan sebungkus bolu untuk pengganjal perut.

"Mamak gak doyan bolu, Aryo," gerutu Mamak.

"Mamak belum makan dari tadi. Harus makan, Mak."

"Mamak pengen soto."

"Lhoo, ya belum boleh, Mak. Tadi itu lauknya ayam sayur kuning, lho. Mamak malah gak mau makan."

"Makanan rumah sakit gak enak, Yo."

Ya sudahlah. Aryo merasa sudah cukup membujuk Mamak. Ia duduk di kursi kayu jati berukir indah di bawah kotak AC. Sudah jam setengah dua belas malam, pasti Siti sudah tidur. Aryo mengirimkan pesan pada sang istri. Ternyata Siti membalasnya.

Mamak menatap Aryo yang fokus ke layar ponselnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Mamak tahu, Aryo pasti sedang chat dengan Siti.

"Siti marah kau menginap di sini, Yo?"

"Eh, apa Mak? Oh, enggak kok. Siti nggak marah. Dia titip salam buat Mamak dan mendoakan Mamak cepat sembuh!"

Ada seulas senyum tipis di bibir Mamak mendengar ucapan Aryo itu. Tangan Mamak menggapai.

"Sini, Yo. Bawa kursimu ke dekat Mamak. Sepertinya ini sudah waktunya Mamak bicara sesuatu yang sangat penting."

Aryo menuruti perintah mantan calon mertuanya itu. Mamak menatap wajah Aryo agak lama sebelum mulai bicara.

"Mamak minta maaf, Yo. Pasti Mamak sudah membuatmu dan Siti sakit hati."

Aryo tersenyum.

"Enggak kok, Mak. Jangan berpikir begitu. Aku dan Siti malah senang sekali bisa ketemu Mamak. Aku sudah ceritakan semua tentang Mamak dan Aina pada Siti sejak awal kami menikah. Makanya Siti senang bisa ketemu Mamak dan Aina."

"Istrimu itu bijaksana dan sabar sekali, Yo. Mamak berharap dia bakal marah dan ngamuk lalu berbuat kasar pada Mamak. Ternyata, jangankan marah, balas bicara keras pun tidak."

"Itu salah satu sebabnya aku mencintai Siti, Mak."

Mamak terdiam lagi. Aryo menatap wajah Mamak, meraba apa yang ada dalam pikiran wanita berwajah mirip Aina itu. Dulu sangat sulit Aryo mengambil simpati Mamak. Situasi yang bertolak belakang dengan kenyataan sekarang. Apakah perubahan sikap Mamak ini ada hubungannya dengan semua milik Aryo sekarang? Sesaat Aryo mengira demikian.

"Aryo," kata Mamak lirih.

"Ya, Mak."

"Mamak akan ceritakan sesuatu yang harus kau ketahui. Tentang Aina. Ini menyangkut dirimu. Jangan menyela sebelum cerita Mamak selesai. Nanti kau boleh ucapkan pendapatmu."

"Baik, Mak."

Aryo mendengarkan baik-baik semua kalimat yang keluar dari mulut Mamak. Ekspresi terkejut berganti sedih muncul di wajah Aryo. Di akhir cerita Mamak, Aryo menunduk diam. Ada sedikit air mata muncul yang segera ia hapus.

"Aku gak menyangka, Mak. Kenapa Mamak tidak cerita dari awal kita ketemu?"

"Mamak gak tahu harus memulai dari mana."

Aryo menghela nafas panjang. Mendadak semua jadi terasa berat untuknya. Cerita Mamak tadi sungguh diluar dugaan. Benarkah begitu kejadian sesungguhnya?

"Aku akan coba bicara dengan Siti, Mak."

*****

Mamak sedang tidur saat Aina datang esok harinya. Aryo baru keluar dari kamar mandi.

"Aku gantikan jaga Mamak, Yo. Kamu pulang, ya. Kasihan istrimu nungguin di rumah."

Aryo tersenyum. Ia meraih jaketnya yang tersampir di sandaran kursi.

"Na, duduk dulu, aku mau bicara."

Aina meletakkan rantang susun dan termos air panas yang dibawanya ke atas lemari kecil. Ia menoleh menatap Aryo.

"Ada apa? Diagnosa Mamak sudah keluar? Mamak sakit apa, Yo?"

"Bukan itu. Dokternya juga belum datang."

"Lalu kau mau bicara soal apa?"

Aryo berdiri tiga langkah di depan Aina. Lama ia menatap gadis itu sampai Aina salah tingkah dibuatnya.

"Na, jujur padaku. Setelah tidak berhubungan lagi denganku, kamu punya kekasih lagi?"

Aina mengernyitkan keningnya.

"Kenapa kau tanya begitu?"

"Jawab saja, kau pernah pacaran dengan pria lain setelah aku?"

"Ti-tidak," sahut Aina pelan. Pipinya bersemu merah.

"Ada pria yang kau cintai sekarang ini?"

Ada, kau.

Aina membuang pandangan ke arah lain. Ia benar-benar salah tingkah.

"Apa-apaan kau tanya begitu padaku. Apa hakmu?"

"Aina, jawab pertanyaanku."

"Aku tidak mau!" Aina mulai jengkel. "Itu bukan urusanmu!"

"Masih ada cinta untuk aku di hatimu?"

"Jaga bicaramu, Aryo! Pergi, kau! Pulang sana. Jangan datang lagi ke sini. Aku bisa mengurus Mamak."

"Aku ingin tahu jawabannya, Aina!"

"Buat apa?" Mata Aina melotot bulat pada Aryo. Nafasnya memburu karena emosi.

"Aku ingin tahu apa ada pria lain yang kau cintai sekarang ini. Apa kau masih cinta padaku. Ini penting. Aku tidak berani mengajakmu menikah kalau kau ada hubungan dengan lelaki lain."

"A-apa katamu? Mengajakku apa?" Ekspresi wajah Aina mendadak pucat. Aryo menarik nafas panjang.

"Aku ingin menikahimu."

SUAMIKU MENCINTAIMU (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang