12. SITI MINTA CERAI

646 19 0
                                    

Cerita Mamak membuat air mata Aina deras mengalir. Ia sungguh tidak tahu kalau sang ibu menderita penyakit yang begitu parah. Bagaimana bisa Mamak tetap kelihatan ceria dan bahagia?

"Karena Mamak pingin lihat kau bahagia Na!" sahut Mamak.

"Berarti ... berarti kalau Mamak pergi gak ngajak aku itu Mamak berangkat kontrol ke rumah sakit? Mamak bilang padaku mau ngerumpi di rumah teman!" Aina terisak menangis.

"Mamak gak bohong juga, sehabis Mamak berobat Mamak selalu mampir ke rumah si Yusni, teman Mamak waktu SMP."

"Kenapa Mamak rahasiakan ini dariku?"

"Ya karena Mamak gak mau kamu kepikiran sama Mamak. Kamu selalu sedih setelah Aryo dulu pergi. Mamak perhatikan kamu seperti zombie, badan doang yang hidup tapi pikirannya mati!"

Aina menghapus air matanya dan berusaha menenangkan diri. Mamak menggapai tangan Aina, menggenggamnya.

"Mamak ingin saat Mamak tiada nanti, kamu sudah punya suami. Si Aryo itu."

"Mamak, jangan ngomong begitu terus! Aku lebih baik gak nikah selamanya daripada harus sama Aryo! Dia udah punya istri!"

"Istrinya sudah setuju kok dimadu dengan kau, Na!"

Aina menarik nafas panjang. Ia menatap mata Mamak.

"Siti dan Aryo tahu Mamak sakit apa?"

Mamak menganggukkan kepala.

"Iya. Mereka sudah Mamak kasih tahu. Mamak bilang pada mereka untuk ikhlas menolongmu, mengizinkanmu masuk dalam hidup mereka. Mamak gak mau setelah Mamak tidak ada nanti, kamu terlantar."

"Terlantar bagaimana? Aku baik-baik saja, Mak! Mamak akan sembuh! Jangan ngomong yang ngawur!" Aina menangis lagi. Hatinya pedih sekali.

"Rumah dan toko sudah bukan punya Mamak lagi, Na."

Kejutan baru itu semakin membuat Aina shock. Apa lagi ini?

"A-apa maksud Mamak?"

"Rumah, toko dan sawah kita sudah Mamak jual pada Hajah Fatimah. Beliau mengizinkan Mamak tetap tinggal di rumah dengan sistim kontrak sampai Mamak bisa beli rumah lagi. Nyatanya biaya pengobatan Mamak dan Apakmu almarhum membuat semua tabungan habis tak bersisa. Nanti mungkin saat Mamak sudah pergi, Hajah Fatimah akan mengambil rumah dan toko yang sudah jadi hak dia, Na."

"Kok bisa begitu sih, Mak? Kenapa aku baru diberitahu sekarang?" ratap Aina. Tangisnya menyayat hati.

"Mamak kira Mamak bakal sembuh, Na."

"Mamak memang akan sembuh!" Aina berkata dengan nada keras. "Mamak tidak seperti penderita lain yang kurus dan layu, kok! Sebenarnya aku gak percaya Mamak sakit!"

Mamak tersenyum. Diremasnya tangan Aina dalam genggaman. Ia pun merasa begitu berat menghadapi ini. Sejak awal didiagnosa mengidap kanker, Mamak mengupayakan pengobatan lewat cara alternatif herbal. Mungkin kurang cocok dengan kondisinya, pengobatan itu tidak berhasil. Kanker yang diidap Mamak tergolong adenokarsinoma yang bisa menyerang siapa saja walaupun bukan perokok.

"Mamak, sejak kapan Mamak sakit ini?" Aina menghapus air matanya, ia genggam erat tangan sang ibu.

"Dua tahun lalu Mamak periksa ke dokter karena batuk darah. Dokter bilang Mamak kena kanker paru-paru. Kamu ingat waktu Mamak mau jodohkan kamu sama Wahid anaknya Boss Karyoto? Itu dua hari setelah Mamak tahu penyakit ini."

Aina terpejam. Kini ia tahu kenapa Mamak semangat sekali menjodohkannya lagi dengan Aryo. Bukan karena Mamak matre tapi karena Mamak khawatir Aina akan hidup sendiri terlantar tanpa harta tanpa suami.

"Mamak rutin kemo? Apa bisa operasi, Mak?"

"Rutin, Na. Dokter bilang Mamak gak bisa dioperasi karena letak kankernya dekat dengan trakea."

"Ya Allah." Aina mengerang. Ia ciumi tangan Mamak. Betapa menyesal rasanya mengetahui ini belakangan, setelah Mamak terbaring tak berdaya. Bertahun-tahun Mamak berjuang sendiri melakukan pengobatan tanpa diketahui Aina. Rumah dan segala milik Mamak habis.

"Mamak ingin lihat kau menikah. Selalu kau bilang lelaki yang kau cinta cuma Aryo, dia belum bilang putus padamu. Sekarang Aryo datang lagi padamu. Mamak yakin ini jawaban atas semua doa Mamak selama ini. Terimalah lamaran Aryo, menikahlah."

*****

Suasana tengah malam yang sepi nyaman sekali untuk berpikir serius. Aryo duduk di sofa ruang tamu, merenung.

Ia ada di situ bukan sengaja untuk berpikir melainkan karena Siti mengunci pintu kamar tidur. Siti memintanya mengambil keputusan tegas, akan menikahi Aina atau tidak.

"Aku gak akan ikut campur pada keputusanmu, Mas. Semua aku pasrahkan padamu, pada kebijakanmu. Apapun yang jadi keputusanmu, aku pasrah, aku terima," kata Siti kemarin. Ia paham pada kondisi Aina dan Mamak. Dalam hati kecil, Siti sama seperti wanita lain, terluka karena mungkin suaminya akan menikah lagi. Lebih sakit karena ia tahu wanita yang kemungkinan jadi madunya adalah wanita yang pernah dicintai Aryo. Bukan pernah, mungkin selalu, selalu dicintai Aryo.

Siti tahu dari gelagat suaminya bahwa Aryo masih mencintai Aina. Jika memang Aina sudah tidak berarti lagi buat Aryo, untuk apa Aryo bingung dan memikirkan ini berhari-hari. Tinggal tolak saja, beres kan? Aina dan Mamak juga bukan siapa-siapa, Aryo tidak berhutang pada mereka! Peduli apa pada penyakit Mamak? Peduli apa Aina hidup sendiri dan bangkrut setelah Mamak tiada?

Aryo memikirkannya, itu berarti masih ada Aina dalam hati Aryo.

Kepindahan Siti dan Aryo ke Tegal adalah untuk memperluas jaringan bisnis mereka. Usaha bubur ayam yang mereka rintis bersama dari nol kini sudah menghasilkan uang berlimpah. Kemiskinan di awal pernikahan mereka sudah lenyap diganti oleh harta benda dunia yang bisa dibeli dengan uang. Awalnya itu membuat Siti bahagia. Sekarang, segala kemewahan di genggamannya terasa tiada arti begitu ia tahu suaminya diinginkan wanita lain. Betapa rumitnya manusia.

Doa-doa pembuka adzan Subuh berkumandang dari mushola dekat rumah Aryo. Astaghfirullah, sudah jam setengah empat pagi, Aryo mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Belum sedetikpun ia memejamkan mata. Dengan tubuh pegal linu dan pikiran ruwet, lelaki itu bangkit perlahan dari tempat duduknya. Ia mengetuk pintu kamar.

"Siti, bangun, sayang. Sudah hampir Subuh. Sholat jama'ah, yuk!"

Tidak ada jawaban apapun dari dalam. Pintu juga masih dikunci. Aryo beranjak ke kamar mandi. Ia akan sholat di mushola saja kalau begitu.

Saat keluar dari kamar mandi dan lewat di ruang makan, Aryo terkejut melihat Siti berdiri di sana. Mata istrinya itu sembab, bengkak. Wajahnya pucat.

"Ti, kamu kenapa?"

Siti tersenyum tapi matanya menangis.

"Mas, aku minta cerai."

SUAMIKU MENCINTAIMU (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang