3. Keluarga?

7 1 0
                                    

"Jadi, mulai besok lo harus ada di samping gue selama di sekolah."

"Tapi, kecuali waktu pelajaran, kan, Mbak? Kan kita beda kelas."

"Iya gue tahu gue kelas sepuluh dan lo kelas sebelas."

Coba tebak, aku sedang apa sekarang. Ya, sekarang aku dan Ananta sedang berjalan berdua untuk pulang. Ah tidak, bukan berdua, tetapi bertiga. Aku, Ananta, dan sepeda ontelnya yang dituntun.

Tadi, aku sudah mau pulang sendiri, tetapi naifnya Ananta memilih untuk mengantarku pulang. Katanya, dia tidak mau aku pulang sendiri, dia harus menjagaku. Karena dia asistenku.

Akhirnya, setelah Ananta selesai membersihkan masjid sekolah, dia mengambil sepedanya di parkiran. Bukan di parkiran motor, tetapi di belakang pos satpam. Sebab, memang tidak ada parkiran sepeda ontel di sekolah ini. Yang memakai sepeda ontel hanya Ananta dan tukang kebersihan.

"Ayo naik!" Aku mengerutkan kening bingung ketika Ananta menaiki sepedanya lalu menoleh padaku dan menunjuk sadel di belakangnya.

"Lo nyuruh gue naik sepeda butut lo itu?" Mendengar pertanyaanku, Ananta berkedip beberapa kali dengan wajah polosnya. "Mending gue jalan kaki dari pada harus dibonceng lo naik sepeda itu."

Ananta menghela napas panjang. Sepertinya ucapanku baru saja cukup menyakiti hati baiknya. Namun, dugaanku salah ketika laki-laki itu malah turun dari sepedanya. Dia mulai menuntun sepeda hitam itu dan menyusulku. Ananta berjalan di sampingku.

"Kalau begitu, saya jalan juga, deh, Mbak," ucapnya sambil tersenyum manis. Lalu dia menoleh padaku, dan mengatakan, "saya tahu, kamu nggak mau naik ini karena malu, saya maklumi. Maaf ya, saya nggak bisa bonceng Mbak Abel pakai motor. Karena saya cuma punya ini. Hehe."

Seperti itulah kejadian tadi sebelum aku akhirnya berjalan berdua dengan Ananta. Hingga tak terasa, Ananta mengatakan, "rumah saya belok sana. Kalau rumah kamu belok mana?"

"Gue belok kanan. Dikit lagi sampai," jawabku.

"Serius cuma kurang sedikit, kan?"

Aku mengangguk.

"Kalau gitu, saya cuma bisa temani kamu sampai di sini aja, ya. Nggak apa-apa, kan? Soalnya rumah saya masih agak jauh. Lewat jalan raya sana, terus ada pertigaan belok kiri, lampu merah, masuk gang di dekat lampu merah itu. Baru sampai." Entah siapa yang bertanya di mana letak rumahnya, dia malah mengoceh sendiri. Sudah cocok dia menjadi petunjuk arah seperti Google Maps.

Aku hanya mengangguk saja supaya dia senang. Padahal, aku sangat malas menanggapi. Akhirnya, aku langsung meninggalkan Ananta begitu saja. Kemudian, aku mendengar suara dari belakang. "Sampai jumpa besok, Mbak Abel. Saya senang bisa ngobrol sama kamu, besok lagi, ya!"

***

Rumahku indah, tapi tidak dengan isinya. Rumahku besar, tetapi penghuninya hanya dua. Ya, aku dan bibi. Dialah yang merawatku dari kecil hingga saat ini.

Aku bukan tergolong anak yang dimanja meski punya bibi. Bukan karena bibiku tidak memanjakanku, tetapi karena aku tidak suka dimanja. Bahkan, meski sudah sedekat nadi, kami jarang mengobrol. Karena aku malas berbicara.

Kulihat, bibi sedang memegang gagang telepon di ruang tengah. Ketika menyadari kehadiranku, dia langsung menutup teleponnya. Dia tersenyum kepadaku, menghampiri dan mengambil tas ranselku. "Non Abel sudah datang, sini tasnya bibi taruh."

"Siapa?" tanyaku dengan datar, tidak menghiraukan wanita paruh baya yang hendak mengambil tas ku. Sudah kubilang, aku tidak manja. "Bibi telepon sama siapa barusan?"

Way Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang