10. Hujan Sore Itu

6 0 0
                                    

Aku berjalan keluar dari gerbang yang membuat namaku menjadi buruk ini dengan kaki telanjang. Sepatu mahalku sudah kumasukkan ke dalam kantong plastik di tas. Dalam beberapa menit, jalanan yang ditapaki banyak kaki manusia-manusia menjengkelkan ini sudah hampir tergenangi air.

Hujan mengguyur Ibu Kota ini. Langit begitu gelap, padahal jam tangan anti airku masih menunjukkan pukul empat, tetapi suasana sudah seperti hampir malam.

Aku tidak peduli tubuhku basah, sejak keluar dari halaman kelas, aku sudah memutuskan untuk hujan-hujanan. Dari pada harus menunggu hujan mereda di dalam kelas bersama para setan itu, aku lebih baik membeku di jalanan.

Jalanan sudah sepi. Semua orang pergi menerjang hujan dengan kendaraannya masing-masing. Sedangkan aku benar-benar kedinginan, kuku-kuku mengkilapku sudah berwarna ungu, tanganku sudah keriput seperti nenek-nenek, serta tubuhku menggigil.

Kutarik ucapanku yang barusan, aku tidak mau membeku di jalanan. Akhirnya, aku memutuskan untuk berteduh di halte bus yang biasanya menjadi tempatku beristirahat. Menatapi jalanan yang tertutup kabut karena hujan semakin deras.

Aku menoleh pada arah kiri. Ternyata, aku tidak sendirian. Di bangku sebelah sana, seorang wanita paruh baya dengan tubuh tinggi ramping itu beranjak sambil membuka payung abu-abunya.

Mataku memerah terkena tetesan air yang terus menerus demi menajamkan penglihatan, melihat siapa wanita di balik payung itu. Jantungku rasanya berhenti berdetak saat melihat caranya membuka payung yang khas, tidak asing bagiku. Kemudian, caranya berjalan, dengan salah satu tangannya yang memegangi payung.

Berusaha membuka mata lebar-lebar meski rasanya perih, aku kini ingat dan yakin tentang siapa yang kulihat saat ini. Aku langsung beranjak dari bangku halte, membiarkan tasku terjatuh di atas genangan air, aku berlari mengejar wanita itu.

Baru saja aku menuruni trotoar, sialnya kakiku tersandung sebuah batu besar yang tak kusadari keberadaannya. Aku tersungkur pada genangan air, lututku memar dan rasanya seperti mati rasa. Aku mendadak pusing, kepalaku yang masih diperban ini terasa perih terkena air hujan. Luka ini belum sembuh, tapi aku mendapat luka baru lagi.

Sekali lagi, luka di hatiku semakin melebar. Aku ingin mengejar wanita itu, aku ingin memeluknya, aku ingin memastikan bahwa dugaanku tidak salah. Namun, nyatanya sekarang aku hanya bisa terduduk lemah di tengah jalan sepi dan diguyur hujan begini.

Di sela buramnya penglihatanku, aku terus berusaha memerhatikan ke mana dia pergi. Hingga pada akhirnya, seorang gadis gila sepertiku ini menangis di tengah jalan. Air mataku mengalir bersama derasnya hujan.

"Ibu!" teriakku dengan lemas. Sebisa mungkin, aku berusaha untuk kembali bangkit. Tidak peduli pada kakiku yang rasanya tidak berfungsi, kepalaku yang rasanya begitu perih dan berat.

Dengan langkah terbata-bata, aku mengejarnya. Terus berteriak, berharap suaraku yang parau ini bisa didengar olehnya. Tetapi, suara guntur bercampur petir nyatanya jauh lebih kencang, membungkam teriakanku begitu saja.

"Ibu, tunggu aku, Ibu." Sial, sekarang aku tidak bisa mengejarnya lagi. Aku terlalu lambat, sosok yang kusebut 'Ibu' itu sudah tertutup kabut di kejauhan. Aku tidak bisa melihatnya lagi. "Bu, tunggu ...," lirihku dengan begitu pasrah.

Pada akhirnya, tubuhku ambruk di sini. Berteriak penuh sesal dan kecewa, bersama guntur dan petir yang menggelegar.

Sekali lagi, aku tidak percaya bahwa Tuhan menyayangiku.

"Ya ampun, Mbak Abel!" Seseorang menghentikan sepeda ontelnya di sampingku dengan panik. Lebih panik lagi ketika melihat kondisiku yang menyedihkan sekarang.

Way Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang