Part 6

116 100 69
                                    

Happy Reading❤️

"Assalamualaikum" Shaka memasuki rumah yang cukup megah, dengan ornamen klasik menambah kemegahan rumah itu.

"Waalaikumsalam" sahut Bi Sumi yang sedang merapikan ruang tamu.

"Eh den Shaka udah pulang, makan dulu den"

"Nggak usah bi, tadi Shaka udah makan di rumah Zila" ucap Shaka sambil melihat sekeliling rumahnya, sepi.

"Papa belum pulang bi?" tanya Shaka

"Belum den, mungkin sebentar lagi"

Tak lama terdengar suara mobil berhenti dihalaman rumah, papanya sudah pulang. Shaka menghela napas, ia sangat malas bertemu dengan papanya itu.

"Darimana kamu" tanya Erwin ketika melihat penampilan putranya yang seperti habis keluar.

"Keluar sebentar"

"Kamu punya pacar?" tanya Erwin dengan nadanya yang tegas. Shaka tak mengucapkan sepatah katapun.

"Jawab Shaka" mendengar suara papanya yang mulai meninggi membuat ia menghela napas lelah.

"Papa melarang kamu pacaran, kamu harus fokus sama sekolah kamu. Papa nggak mau nilai kamu sampai turun. Kalau sampai papa tau kamu pacaran, papa nggak segan-segan nyelakain gadis itu. Paham!"  setelah mengatakan itu Erwin melangkah meninggalkan Shaka yang masih berdiri di tempat.

Sungguh Shaka lelah dituntut untuk sempurna oleh papanya. Dari kecil ia harus mendapatkan rangking paling atas, jika tidak dirinya akan dihajar habis habisan. Sekujur tubuhnya sudah penuh luka yang dibuat oleh Erwin.

Semenjak orang tuanya bercerai kehidupannya sangat berubah drastis. Ia tidak tau keberadaan mamanya sebab Erwin melarangnya untuk mencari wanita itu. Sungguh ia merindukan masa kebersamaan keluarganya.

"Den" Shaka tersentak saat Bi Inah menepuk pundaknya.

"Den Shaka gapapa?"

"Gapapa bi, Shaka ke kamar dulu ya"

Sesampai dikamar Shaka merebahkan dirinya di kasur. Ia takut jika suatu saat Erwin akan mencelakai Zila.
Shaka bangkit dari tidurnya, ia berjalan ke sudut kamarnya. Menggeser lemari kecil, terdapat sebuah pintu yang merupakan ruang pribadinya. Hanya ia saja yang tau tempat itu.

Shaka melangkah masuk, terdapat kasur kecil yang memang ia sediakan untuk dirinya istirahat selain di kamar. Di dinding ruangan tersebut juga ada beberapa foto, foto masa kecilnya dan fotonya dengan Zila. Di pojok ruangan ada sebuah piano yang sering ia mainkan jika dirinya sedang tidak baik baik saja.

Ia meraih bingkai fotonya dengan Zila, gambar itu diambil saat mereka sedang liburan sekolah. Keduanya tersenyum manis memancarkan kebahagiaan. Kala itu beruntung Erwin berada di luar kota, jadi ia bisa bebas untuk keluar rumah.

"Aku bakalan jaga kamu ayy, aku nggak akan biarin papa nyelakain kamu. Aku nggak mau kehilangan rumah satu-satunya yang aku punya. Aku janji bakal lindungin kamu dari apapun itu" setelahnya ia meletakkan kembali bingkai itu ditempatnya.

Ia keluar dari ruangan, tak mau jika sampai ada yang tau tentang ruangan pribadinya itu. Shaka berjalan ke balkon kamarnya, menatap langit yang kini tengah mendung siap menumpahkan airnya. Tak lama gerimis kecil mulai berjatuhan hingga makin lama makin deras. Tangannya mengadah menampung air hujan. Jika sekarang bersama Zila mungkin mereka berdua tengah menikmati hujan. Ah.. ingin sekali ia bermain hujan. Namun itu mustahil sebab papanya sedang dirumah.

***

Di waktu yang sama Zila tengah berada dibawah guyuran hujan, meski sudah menggigil namun ia tak ingin beranjak dari tempatnya.

"Non masuk yuk, nanti non Zila sakit" teriakan Bi Atun membuyarkan lamunannya.

Daritadi Bi Atun sudah menyuruh Zila untuk masuk namun gadis itu tetap diam, samar-samar suara Bi Atum tak ia hiraukan. Tak memperdulikan badannya yang sudah menggigil kedinginan. Lagi dan lagi Bi Atun berteriak memanggil Zila dan berhasil. Zila berjalan menghampiri Bi Atun yang membawa handuk untuknya.

"Ya allah non badannya udah menggigil gini, ayok masuk bibi buatin teh hangat" Bi Atun menuntun Zila, badannya benar-benar sangat dingin.

"Non Zila ganti baju ya bibi mau buat teh hangat dulu"

Setelah selesai mengganti baju Zila mengambil ponselnya di atas nakas. Ia mencari nomor seseorang lalu menelponnya. Lama tidak ada jawaban, mencoba untuk menelpon lagi tetap tidak tersambung. Bi Atun memasuki kamar sambil membawa nampan.

"Ini non di minum dulu" Zila meletakkan ponselnya lalu meminum teh.

"Makasih bi"

"Sama-sama, non Zila istirahat ya kalau ada apa-apa panggil bibi. Kalau gitu bibi ke belakang dulu"

"Bi" panggil Zila saat Bi Atun di depan pintu.

"Iya non"

"Papa pernah nggak telfon ke rumah"

"Nggak pernah non"

"Apa papa lupa sama Zila ya bi"

"Huss non Zila nggak boleh bilang gitu, Papa non Zila nggak bakalan lupa sama anaknya sendiri. Mungkin tuan lagi sibuk non"

Bi Atun mengelus pundak anak majikannya itu "Jangan sedih ya, papanya non pasti juga kangen sama anak-anaknya" Gadis itu hanya mengangguk. Kemudian Bi Atun keluar kamar, Zila merebahkan badannya sambil memainkan ponsel.

Saat tengah asik bermain game diponselnya tiba-tiba muncul notifikasi dari nomor yang tidak dikenal, ia pun membukanya.

+62859*********
Sv gue Evan

Me:
Okee

Setelah membalas pesan ia mematikan ponselnya, matanya sangat berat hanya butuh beberapa menit saja ia sudah pergi ke alam mimpi.

***

"Zilaa ikut gue ke mall yuk" ajak Nina

Mereka berada diluar kelas, lima menit yang lalu bel pulang berbunyi. Masih banyak siswa yang belum pulang entah latihan ekstrakulikuler atau karena belum dijemput.

"Ke mall ngapain"

"Gue mau beli skincare"

"Eh beb Nina, pulang bareng yuk" tanpa diundang Gilang tiba-tiba sudah ada di belakang mereka.

"Dih nggak mau"

"Gapapa nin, katanya mau ke mall Gilang bisa anter tuh. Lagian gue juga ga bisa nemenin lo" ucap Zila

"Tuh denger kata Zila, ayo gue anter ke mall" Shaka datang namun mereka masih berdebat.

"Kenapa?" tanya Shaka saat melihat dua orang itu berdebat.

"Itu si Nina nggak mau pulang bareng sama Gilang" Shaka hanya menggelengkan kepalanya.

"Udah yuk pulang" ajak Shaka yang kini tangannya sudah menggenggam tangan Zila.

"Ini Nina gimana?"

Shaka melihat mereka berdua yang masih saling berdebat, tak mau kalah satu sama lain.

"Gilang lo antar Nina ya, gue sama Zila ada urusan" Gilang yang mendengar itu pun langsung semangat, berbeda dengan Nina yang mukanya menahan kesal.

"Eh nggak mau, gue bisa sendiri"

"Udah nin sama Gilang aja jangan pergi sendiri, bahaya. Kalau ada Gilang kan ada yang jagain" ucap Zila menengahi perdebatan itu.

"Tapi zill--" Nina tak melanjutkan ucapannya saat pasangan itu sudah berjalan menuju parkiran.

"Udah tenang aja, kenapa sih nggak mau gue anter. Niat gue kan baik. Lagian kalau lo sama gue bakal aman" ucap Gilang dengan wajahnya yang sok datar namun dalam hatinya ia sangat bahagia bisa mengantar cewek yang sudah lama ia taksir.

Bersambung...

PluviophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang