Tak pernah dipikirkan, rumah yang awalnya penuh canda tawa kini kehilangan senyuman akibat salah satu anggota keluarga menghilang. Bungsu mereka, putri kecil mereka pergi meninggalkan mereka disana dengan luka yang mendalam. Sudah satu bulan, isak tangis pilu dengan kenangan tentang sang bungsu masih teringat jelas di benak mereka.
Tak ada yang peduli, hari itu ketika tepat satu bulan kepergian sang bungsu keluarga harmonis itu berubah menjadi berantakan. Mereka yang awalnya saling peduli satu sama lain kini abai, tak ada lagi yang memikirkan kehidupan satu sama lainnya disana. Semua masih dengan ego mereka, menganggap kematian sang bungsu merupakan kesalahan satu sama lain.
Awalnya hanya teriakan yang terlontar, namun lama kelamaan perpecahan mulai terjadi. Kedua orang tua jarang dirumah, sang sulung juga memilih untuk tinggal sendiri meninggalkan sang anak tengah di rumah besar sendirian. Dalam kesunyian dan setiap mereka kembali pulang yang terdengar hanyalah pertengkaran. Tanpa sadar sang tengah bergerak, menghentikan semua yang terjadi di antara kedua orang tuanya dan saat itulah tangan besar ayah pertama kali menyentuh kasar pipinya, meninggalkan bekas kemerahan disana. Saat itu juga suara tinggi ibu terdengar memekikkan telinga, bukan untuk membelanya namun untuk melontarkan cacian pada sosoknya yang berusaha menenangkan.
Hari itu, Garendra menerima luka pertama dari kedua orang tuanya. Cetakan tangan sang ayah yang melukai pipinya dan juga bentakan sang ibu yang melukai hatinya. Dan sejak saat itu pula mereka makin gencar mencari kesalahannya, melimpahkan semua emosi pada sosoknya yang lebih banyak diam. Sang sulung tak pernah melerai, membiarkan sang adik menjadi sasaran kemarahan kedua orangtuanya setiap mereka menginjakkan kaki di bangunan itu.
Setelah pertengkaran itu selesai, semua akan kembali hening seolah tak ada yang terjadi. Mereka akan kembali sibuk dengan urusan mereka masing-masing, melupakan apa yang barusan mereka lakukan melukai hati sang anak. Seolah itu bukan sesuatu hal yang penting untuk mereka ingat. Bagai sebuah kebiasaan, setiap mereka pulang sang tengahlah yang akan menjadi sasaran amarah setelah pertengkaran.
Hari ini tepat satu tahun semuanya berlalu, sosok anak tengah yang semula berusia 15 tahun kini berulang tahun dan umurnya kembali bertambah satu tahun. Namun sang pemilik hari tak ingin merayakannya, karena hari kelahirannya merupakan hari kematian sang asik bungsu. Tepat di hari ini juga, satu tahun kepergian adiknya karena menjadi korban tabrak lari di hati itu.
Dan saat itu pula keadaan rumah menjadi lebih riuh dari sebelumnya, walaupun ketiga penghuni lain pulang namun yang di bawa bukanlah cinta dan sayang, namun amarah dan duka. Barang-barang terlempar, kedua orang dewasa kembali beradu mulut, dan kali ini Garendra memutuskan untuk menonton semua hal itu dari atas.
Sang sulung mengunci diri di kamar, mendengarkan musik sang sangat keras sehingga menjadi latar belakang dari pertengkaran kedua orangtuanya. Garendra menelan ludah, pasti akan menjadi gunjingan para tetangga karena keributan mereka saat senja hari begini. Garendra juga tak mau melerai mereka lagi, takut nanti akan menjadi sasaran berikutnya dari mereka.
PRANG
Satu lagi vas bunga pecah ibu lemparkan ke arah ayah yang sedang marah. Keduanya berteriak menyalahkan sat sama lain, egois mengatakan bahwa putri bungsu mereka meninggal karena kesalahan satu sama lain. Kepala Garendra mulai pening, mendengar segala suara gaduh yang tercipta membuat kepalanya pusing luar biasa. Dan agar tak lagi mendengar kegaduhan itu, Garendra memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya, memakai earphone untuk mengahalau semua bising yang terdengar.
Hening suasana terdengar setelahnya, dan Garendra mulai membuka earphonenya. Bahkan suara musik yang dihidupkan sang kakak tak lagi terdengar keras. Terdengar suara ketukan pintu tak lama setelahnya. Garendra menghela napas, menebak kira-kira siapa kali ini yang datang untuk memberi sebuah 'kasih sayang' kepadanya.
Pintu dibuka, menampilkan sosok ibu dengan wajah yang masih memerah berjalan masuk begitu saja ke kamarnya. Sebuah kertas dilemparkan, tidak itu bukan surat panggilan karena Garendra bukanlah anak nakal, itu juga bukan sebuah nilai ulangan yang buruk karena Garendra bukanlah anak yang bodoh. Kertas itu merupakan sebuah surat yang ia dapatkan tadi disekolah, oleh seseorang yang ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada dirinya.
"Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan merayakan hari kematian adik kamu, Garendra."
Navilia sang ibu berbicara dengan nada penuh emosi, Garendra hanya berdeham. Bukan keinginannya untuk dirayakan, lagipula ini tahun pertama dan teman-temannya tak menahu tentang hal itu. Kecuali teman dekatnya tentu saja, tapi Navilia sepertinya tidak menerima alasan apapun karena sebelum Garendra berbicara wanita cantik itu maju. Di raihnya dagu Garendra dan dibuatnya anak tiu mendongak menatap ke arahnya.
"Ibu gak ingin ini keulang lagi tahun depan."
Setiap kata penuh dengan penekanan dan juga ancaman untuknya. Garendra hanya mengangguk sebagai jawaban, lupakan saja alasan yang penting ibu tak melukai hatinya. Navilia mengambil surat itu, lalu berlalu pergi dari kamar anaknya. Garendra tersenyum getir melihat kepergian ibunya, dalam benak dia berpikir tentang banyak hal.
"Garen gak tau bakalan bisa ngerayain atau enggak, Bu."
Suara lirihannya terdengar begitu pelan, tak ada semangat hidup dalam lirihan itu. Tangan miliknya mengacak pelan rambutnya dengan penuh emosi. Kehilangan Nelly sang adik sepertinya membuat mereka lupa tentang keadaan anak kedua yang juga butuh perhatian lebih. Bahkan sepertinya mereka lupa jika setiap detak jantung Garendra membuat sang pemiliknya kesakitan sewaktu-waktu.
"Hak Garen kalian rebut."
haihaii
sesuai yang aku bilang ceritanya aku bongkar ya hihi
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN
-5/10/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Lara
Teen FictionHak miliknya direbut paksa, dirinya di tinggalkan sendirian dengan luka yang tak juga kunjung sembuh. Dari semua hal yang dia inginkan, dia hanya menginginkan satu yang terwujud sebelum nanti waktu berhenti untunya. Haknya kembali.