Garendra itu punya banyak cerita untuk dibagikan, dia punya banyak cerita seru tentang bagaimana hari-harinya di sekolah. Saat mendengar ayah bertanya pada Nelly tentang sekolahnya, Garendra ikut merasa senang. Berharap pertanyaan selanjutnya untuk dirinya, Nelly memang bertaut lima tahun dengannya. Tapi tetap saja dia ingin ditanyai juga, maka saat Garendra masih menduduki bangku kelas VIII dengan umur yang menginjak 13 tahun, dia berharap juga mendapat pertanyaan.
Tapi tentu saja, ayah tak bertanya padanya. Aksara sang ayah hanya tersenyum sambil melanjutkan kegiatannya dengan laptop tanpa memerhatikan ekspresi kecewa dari Garendra. Lalu kemudian, Navilia datang dan Garendra berharap bahwa dia akan ditanyi harinya oleh Sang Ibu. Namun dia kembali salah menebak, karena Navilia hanya bertanya tentang hari Rendi sang kakak yang duduk sambil memangku Nelly.
Rendi bercerita, menceritakan hari-harinya dengan semangat sambil sesekali mengacak gemas rambut sang bungsu. Jika boleh jujur Garendra iri, kakaknya tak pernah bersikap semanis itu padanya. Kerap kali dia bertanya, apakah itu karena dia laki-laki atau dia sudah dewasa? Namun ketika Garendra mengingat lebih jauh, Aksara juga jarang mengelus rambutnya sayang. Navilia lah yang sering memanjakannya, walau tak sesering Rendi.
Ketika cerita Rendi habis, suasana hening tercipta. Hanya suara Navilia yang sesekali berceloteh terdengar dengan diiringi suara ketikan pada keyboard laptop oleh Aksara. Memecah keheningan, Garendra yang memang masih menelan semua ceritanya akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.
"Tadi di sekolah, Garendra kuis dapet nilai paling besar lo Bu, Yah."
Baru satu kalimat yang terlontar harus kembali Garendra telan karena tatapan tajam Aksara dan tatapan tak suka oleh Rendi. Garendra menunduk, memainkan jarinya pelan karena malu telah berucap. Helaan napas dia dengar dari sampingnya, Ibu menatapnya pun dengan ayah yang masih tampak jelas raut wajah kesalnya. Kali ini Garendra kembali bertanya, dibagian manakah salahnya?
"Kamu gak liat ya ayah masih sibuk? Ibu juga masih bantuin ayah. Kalau kamu mau cerita nanti saja, kamu sudah besar. Jangan bersikap seperti anak kecil, enggak semua harus kamu ceritakan."
Sekarang Garendra mengerti, satu kalimatnya itu membuat ayah terganggu, begitu juga dengan ibu. Dia menatap ke arah Rendi, kakaknya itu memalingkan wajah tak berniat menatap wajahnya. Kembali sang tengah menunduk, digigitnya bibir miliknya dengan jari yang masih dimainkan.
Sejak saat itu, Garendra semakin ragu membuka mulut. Dia berubah menjadi anak yang pendiam dan penurut, hanya akan melontarkan kata ketika ada yang bertanya. Terlalu takut dia berucap, takut ada kesalahan yang dia perbuat sampai nanti Ibu dan Ayah kembali marah.
Jika diingat masa itu, Garendra hanya akan tersenyum. Dia pernah mendengar, bahwa menjadi anak tengah itu tidak enak. Namun ia selalu menyangkal, walau dia sering dibedakan namun menurutnya semasih keluarganya utuh itu tidak masalah sama sekali. Namun setelah semua hal rusak dan keluarganya mulai terpecah dia merasakan seberapa tak berartinya hadir dirinya.
Ditemani dengan secangkir teh hangat dan dua buah roti dengan olesan selai cokelat Garendra termenung di kamarnya. Makan malam tadi tak cukup membuatnya kenyang, jadi dia hanya membuat roti lagi untuk mengganjal lapar perutnya.
Mengingat hal itu, dia jadi ingat saat Rendi lebih memilih memakan mie instan dan nasi yang dia berikan dengan tragis berakhir di dalam tong sampah. Sungguh Garendra tak mengerti, hal apa yang membuat Rendi sampai segitu bencinya terhadap dirinya. Seingatnya dia tidak membuat kesalahan selama ini pada Rendi, apalagi mencari gara-gara pada kakaknya itu.
Ingin dia bertanya, menyelesaikan pelihal apa yang menjadi masalah. Ingin dia mengobrol berdua, menanyakan alasan mengapa Rendi tak pernah menganggap hadir sosoknya. Namun itu sepertinya mustahil, tatapan tajam Rendi seolah menolaknya. Alihan pandang yang sering diberikan membuatnya cukup sadar setidak ingin apa Rendi berinteraksi dengannya.
Bulan ditutupi awan tebal, cuaca malam semakin dingin saja menusuk kulit. Pakaian lengan panjang tak bisa menghalangi angin malam yang masuk menusuk kulit. Dari tempatnya berdiri, Garendra bisa melihat Rendi sedang menelepon seseorang dengan wajah sedikit kesal. Tetap Garendra perhatikan dengan seksama gerak-gerik sososok itu, dengan sesekali mendengar apa yang Rendi katakan.
"Terus Ibu pikir Rendi tidak butuh Ibu lagi? Rendi juga bisa cari kerja jika masalahnya uang, tapi Rendi tidak bisa mencari Ibu lagi di luar sana. Apa salahnya pulang Bu, Rendi pulang untuk bertemu Ibu. Tapi selalu saja ada masalah, Ibu sibuk atau enggak Ibu pulang hanya untuk bertengkar dengan ayah."
Itu yang ditangkap oleh indra pendengaran Garendra, yang membuatnya yakin siapa yang sedang diajak komunikasi oleh Rendi. Dia masih diam disana, setia mendengarkan dan melihat kakaknya yang tampak menendang udara karena emosi yang meluap. Garendra tersenyum, sangat mirip dengan ayah tingkahnya.
"Terus ibu gak mau pulang karena apa Bu? Semenjak Nelly pergi ibu sama ayah berubah, gak ada lagi suasana hangat yang Rendi rasakan dulu. Ibu bilang cari uang, pasti gara-gara dia kan bu? Dari dulu alasan ibu selalu itu, untuk pengobatan dia. Rendi muak dengernya."
"Adik Rendi cuman Nelly."
Sungguh malang, mendengar percakapan selanjutnya malah membuat sakit hati Garendra. Yang kakaknya maksudkan pasti dirinya, siapa lagi yang menyusahkan kecuali dia disini. Dan kata Rendi, adiknya hanya Nelly, lalu bagaimana dengan sosoknya? Apa tidak bisa sedikit saja Rendi melihat ke arahnya?
Kalimat berikutnya yang terlontar dari mulut Rendi malah kembali menggoreskan luka di hatinya. Kalimat yang tak pernah Garendra pikirkan akan terucap oleh bibir saudaranya, dan terlebih lagi nama kedua orangtuanya juga terucap.
"Kalau boleh Rendi minta, Rendi bakalan lebih ikhlas kalau dia yang mati. Ibu dan Ayah juga ngerasain hal yang sama kan?"
Dan setelah kalimat itu terucap, Garendra memutuskan berhenti mendengarkan. Membawa masuk teh hangat dan roti yang masih tersisa itu. Sedangkan Rendi masih disana, menatap langit gelap dipenuhi awan tebal. Satu hal yang tak ia sadari, bahwa adiknya mendengar semua lontaran menyakitkan yang tadi dia katakan.
HAIHAII
aku back againn
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!!!!
-11/10/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Lara
Fiksi RemajaHak miliknya direbut paksa, dirinya di tinggalkan sendirian dengan luka yang tak juga kunjung sembuh. Dari semua hal yang dia inginkan, dia hanya menginginkan satu yang terwujud sebelum nanti waktu berhenti untunya. Haknya kembali.