Ada beberapa hal di dunia yang memang perlu dipertanyakan. Garendra juga sama, dia bertanya pada dirinya sendiri apakah dia akan bisa bertahan lebih lama atau tidak. Nyatanya penjelasan dokter tak membuatnya merasa lebih baik, bahkan segala sesuatu yang dokter jelaskan tadi masih teringat jelas dalam ingatannya. Memburuk, tentu saja itu kondisinya.
Garendra merasa ingin lari, kabur dari takdir yang terus menerus mengikatnya untuk tetap bertahan dalam dekapan lara. Tapi dimana bisa dia pergi? Bahkan rumah yang sekarang ia tempati sepertinya tak lagi sanggup menerima hadirnya. Lalu dimana kakinya harus dilangkahkan untuk menemukan ketenangan yang selama ini dicarinya?
Terpaan angin membelai manja wajahnya, membuat hawa dingin menusuk ke kulitnya. Garendra biarkan air matanya turun bersamaan dengan tetesan air hujan yang menetes ke tubuhnya. Dia sudah tidak sanggup, semua terasa semakin berat ketika dia bertahan lebih lama. Setidaknya, ayah, ibu atau Rendi setidaknya salah satu dari mereka meminjamkan bahu untuk dirinya bersandar. Untuk memberi kekuatan pada sosok yang nyatanya sudah kalah sejak lama dengan semesta.
Sepeda motor itu akhirnya berbelok, masuk ke dalam rumah yang ternyata terbuka pagarnya. Di depan sana, dua sepeda motor terparkir yang satu milik kakaknya dan satunya entah milik siapa. Dia berjalan masuk, yang ternyata di ruang tamu sudah ada sang kakak dan kedua temannya. Kakaknya tertawa, nampak begitu bahagia. Dan ini kali pertama Garendra melihat sang kakak tertawa begitu keras setelah kepergian Nelly.
Dia ikut tersenyum, walau tangannya dengan kuat meremas pakaian yang dikenakan. Tak enak rasanya melewati mereka tanpa menyapa, namun ia juga tidak bisa untuk menyapa mereka yang mungkin akan kehilangan tawa akan kehadirannya. Ini bukan yang pertama kalinya, dirinya pernah menyapa namun orang yang disapa malah kehilangan tawa akibatnya.
Jadi akhirnya dia memilih untuk tetap berlalu, membiarkan mereka mengira hal apapun tentangnya yang terkesan tak tau sopan santun. Mereka menyadari keadaan Garendra, menoleh ke arah Garendra dengan berbagai tatapan.
"Adek lo kan?" tanya Karsa. Tirta ikut menoleh ke arah Rendi yang masih diam, tatapnya fokus menatap langkah Garendra yang tampak sedikit gontai menaiki tangga. Terbesit rasa khawatir pada dirinya sekarang, namun sebisa mungkin dia menepis perasaan itu. Tepukan ringan seseorang berikan di bahunya yang langsung membuatnya tersentak.
"Adek lo kan?" tanya Tirta sekali lagi. Kali ini Rendi jawab dengan angkatan pelan bahunya, entahlah dirinya juga tidak tau. Namun jawaban Rendi malah membuat kedua temannya keheranan, angkatan bahu acuh itu berarti iya atau tidak?
"Kenapa sih Ren?" tanya Karsa yang tau tabiat dari Rendi. Rendi menoleh, lurus menatap Tirta dan Karsa yang juga lurus menatapnya. Ada beberapa hal yang juga Rendi tak mengerti tentang dirinya, mengapa dia begitu tidak sukanya dengan Garendra atau tentang mengapa dia yang harus peduli? Kedua orangtuanya saja acuh, bukankah dirinya juga bisa melakukan hal yang sama.
"Jangan dibahas, lanjut aja ngobrolnya."
Jawaban Rendi setelahnya semakin membuat keduanya saling pandang, semakin merasa ada hal yang salah. Maka di detik itu juga, mereka memutuskan untuk tidak akan pulang sebelum Rendi menjelaskan masalahnya. Tirta dan Karsa masih memandang dengan tatapan mengintimidasi pada Rendi yang santai dengan minumannya.
"Kita udah temenan berapa tahun, Ren?" tanya Tirta.
"Ngapain nanya gituan sih, udah lama juga temenan." Rendi menjawab kesal. Pertanyaan itu tidak bermutu sama sekali menurutnya, sedikitpun tidak. Tirta mengangguk pun dengan Karsa yang masih setia menanti jawaban. Kemudian Rendi menghela napas, tak bisa dipungkiri dia hapal dengan sikap keduanya.
"Kenapa, Ren? Dia adek lo kan, jadi kenapa jawabnya gitu?" tanya Karsa meminta penjelasan. Dia bisa melihat bagaimana Rendi memutar bola matanya malas, jelas tak ingin membahas pesoalan ini. Namun Karsa juga tak mau kalah, dia menatap intens pada Rendi seolah meminta jawaban saat itu juga.
"Kalau gue bilang enggak suka sama dia gimana? Bukanya udah cukup jelas dilihat. Dia udah ngerebut kasih sayang ayah ibu sejak dia lahir, dan lo tau dia buat gue terabaikan selama 3 tahun," ucap Rendi sarkas.
"Pasti ada alasan kan?"
Kali ini Rendi diam, karena memang begitu adanya. Adiknya berbeda, Garendra terlahir dengan keadaan yang berbeda dari dirinya dan Nelly. Tapi apakah hal itu bisa dijadikan alasan sebagai pengabaian akan dirinya? Dia rasa jawabannya tidak, itu sebabnya dia masih saja diam sampai saat ini.
"Pasti jawabannya iya, lo jangan egois Ren."
"Mending kalian pulang, kalau cuman ini yang mau kalian bahas gue gak mau denger. Jadi silahkan pulang!"
Jawaban ketus kemudian Rendi berikan setelah Tirta berucap demikian. Dia segera melangkah ke kamarnya dengan perasaan dongkol, ingin rasanya memukul kedua pemuda yang membuatnya kesal. Dia ingin melampiaskan kekesalannya pada Garendra, terutama saat dia kembali mendengat suara pemuda itu dari balkon kamarnya.
"Garen udah berusaha ayah."
Itu yang dia dengar, samar dia mendengar suara isakan dari seberang sana. Garendra sepertinya sedang menangis akan sesuatu hal. Lalu kemudian dia mendengar sosok itu kembali berucap, dan kali ini hatinya ikut teremas. Mendengar pertanyaan sederhana yang terlontar dari sosok di balkon sebelah.
"Ayah ijinin Garen untuk sembuh kan yah? Garen boleh sembuh kan?"
Setelah itu Garendra menurunkan telepon, menangis disana dengan kepala yang menunduk di antara lipatan kakinya. Kali ini suaranya cukup keras, membuat Rendi tersentak. Ini kali pertama dia melihat Garendra menangis tersedu seperti itu, menangis keras dengan suara isakan yang terdengar begitu menyakitkan. Tanpa sadar air mata ikut menetes dari matanya, melihat kondisi Garendra yang kacau membuatnya ikut merasakan rasa sakit yang sama.
"Garen, gue gak salah bersikap kan?"
HAIHAII
AKU UP LAGI
SEMOGA SUKA YAA
-21/10/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Lara
Teen FictionHak miliknya direbut paksa, dirinya di tinggalkan sendirian dengan luka yang tak juga kunjung sembuh. Dari semua hal yang dia inginkan, dia hanya menginginkan satu yang terwujud sebelum nanti waktu berhenti untunya. Haknya kembali.