Satu hari berlalu sejak hari ulang tahunnya dan seperti hari-hari biasanya rumah itu akan kembali sepi tanpa penghuni. Hanya dia dan ART yang ditugaskan untuk membersihkan rumah datang seminggu 3 kali. Rumah itu begitu sepi, bahkan saat langkahnya melangkah pelan mampu membuat keributan menggema disana. Tas hitamnya bertengger di pundahnya, dengan sepatu hitam yang terpasang rapi di kakinya. Rambutnya dibiarkan disisir seadanya, membuatnya rapi namun sedikit berantakan.
Baju pramuka yang dipakai olehnya menandakan bahwa hari akan segera menjelang akhir minggu. Hari ini tanggal 15 Juni, dan itu artinya sudah terhitung 105 hari sejak hal itu kembali. Pernah Garendra bertanya, bukan pada keluarnya, namun pada dirinya sendiri. Bisakah semua kembali seperti dulu?
Namun semua terasa susah, keluarganya masih lengkap namun mereka memilih untuk mempertahankan ego dan memilih untuk hidup masing-masing. Lama berpikir, tanpa sadar Garendra sudah membawa langkahnya ke arah sepeda motor abu kesayangannya. Ini adalah hadiah dari ayah saat dia lulus dengan nilai tertinggi dua tahun lalu.
Dibawanya kuda besi itu menyusuri jalan dengan kecepatan sedang, membiarkan angin pagi menenangkan masuk ke dalam kulitnya. Jam masih menunjuukkan 06.16 namun Garendra lebih memilih untuk pergi ke sekolah. Setidaknya dia bisa mendapatkan udara pagi menenangkan.
Kuda besi itu akhirnya berbelok, memasuki gerbang sekolah yang sudah dibuka untungnya. Disana sudah terparkir dua motor lainnya, mungkin milik kedua temannya atau mungkin dia bisa menyebut mereka sahabat. Tanpa ragu dia bawa langkahnya menuju kantin, pasti kedua orang lainnya sudah ada disana untuk menunggunya. Dan benar saja, disana sudah ada dua remaja lain yang telah memakan buburnya.
"Pagi," ucap Garendra mendekati mereka. Tak menunggu jawaban, dia memilih untuk memesan satu mangkok bubur untuk sarapannya. Tak lama bubur miliknya siap dan Garendra langsung menuju kedua temannya. Dia dengan senyum mengembang duduk di kursi, menatap bubur di depannya dengan tatapan lapar. Sungguh dia ingin makan, perutnya sudah berbunyi banyak kali karena lupa makan semalam.
Tak lama kemudian dua teman dekatnya itu menatap ke arahnya, satunya menyodorkan tisu dan satu lagi menyodorkan air mineral botolan. Garendra menyengir sembari mengangguk sebagai tanda terima kasih.
"Kalau makan pelan-pelan, itu kemana-mana buburnya," ucap Satria temannya. Garendra sekali lagi mengangguk sambil mengambil sebotol air yang disodorkan padanya untuk diteguk. Satu dua tetes keluar dari mulutnya yang kepenuhan, bahkan setengah dari air itu kini sudah habis dibuatnya.
"Gimana kemarin?" Tanya Saka. Kedikan bahu Garendra berikan, malas sebenarnya membicarakan apa yang terjadi kemarin. Ditambah selepas kepergian ibu giliran ayah yang datang untuk menceramahinya, mengatakan bahwa dia harusnya tak merayakan ulang tahunnya di hari itu. Padahal dia sendiri tidak merayakan hari kelahirannya itu untuk mendiang sang adik, ayahnya saja yang tidak menahu tentang hal itu.
"Ya kayak yang gue bilang. Mereka gak bakal ngasih gue nerima ucapan dalam bentuk apapun, bahkan dari mereka yang gak tau. Bahkan sejak hari itu setiap harinya hanya itu yang mereka ingatkan ke gue, gimana gue gak inget coba." Garendra menjawa, terbesit perasaan kesal di nadanya yang sedikit sewot.
"Aneh banget orang tua lo," jawab Satria yang diangguki oleh Saka. Garendra sekali lagi hanya mengedikkan bahu, berjalan dengan ketiga mangkok di meja ke arah sang penjual untuk dikembalikan. Lalu dia mengajak ketiganya untuk pergi dari sana kemudian, menuju kelas mereka yang terletak di lantai tiga.
Lagi dan lagi, pesan dikirim oleh sang ibu ke ponselnya. Isinya tentu saja hanya sebuah kalimat sayang yang berbeda dari ibu kebanyakan, ibunya kembali mengungkit kejadian kemarin. Katanya salah satu rekan Navilia mengucapkan selamat ulang tahun padanya dan Navilia tidak terima akan hal itu, jadi dia memeringati sang anak kembali.
Helaan napas dia berikan, astaga sepertinya sang ibu lupa jika dia tidak tahu menahu tentang hal itu. Semakin lama Garendra semakin merasa dirinya tidak berharga, bahkan baru dia sadari saat dia kehilangan sang bungsu. Memang sedari dulu, ibu dan ayah tak terlalu memerhatikan keberadaannya, terutama saat sang bungsu lahir.
"Hidup gue segitu menyedihkan ya?" tanya Garendra. Kedua temannya sontak menoleh dan menggeleng bersamaan. Garendra mengangguk, membalas pesan bunda dengan kata sederhana. Tak lupa mengingatkan Navilia untuk pulang ke rumah, menemui dirinya hanya untuk bertukar sapa ataupun pandang.
"Kenapa lagi?" Satria akhirnya menjawab saat tak mendengar kalimat apapun terlontar lagi dari bibir Garendra. Dengan isyarat mata Garendra berbicara membuat dua lainnya seketika terdiam karena mengerti. Saka berdiri, ini sudah jam pulang namun mereka masih memilih untuk melihat anggota klub futsal berlatih disana.
"Gue pengen ikut jadi salah satu dari mereka," ucap Saka.
"Terus mimpi aja sih kata gue," sahut Garendra kemudian tertawa. Kasihan sebenarnya melihat sahabatnya hanya bisa menonton saat orang lain memainkan olahraga kesukaannya itu. Namun apa boleh buat, itu juga demi kepentingan dirinya dilarang oleh sang papa.
"Lo jadi mampir ke rumah gue?" tanya Satria pada keduanya. Mereka mengangguk, tentu saja sudah lama mereka tak merasakan masalah dari bunda. Lagipula bunda sendiri yang mengundang mereka kesana, agar tidak sepi katanya. Di rumah hanya ada bunda dan Satria karena ayah pergi ke luar kota untuk mencari pekerjaan. Hidup mereka tak semewah dua lainnya, namun keharmonisan cukup membuat kebahagiaan.
"Jadi dong, masak gue gak jadi ketemu bunda."
haihaii
aku up lgi nih, mumpung ide terus ngalir kann
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!!!
-6/10/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Lara
Teen FictionHak miliknya direbut paksa, dirinya di tinggalkan sendirian dengan luka yang tak juga kunjung sembuh. Dari semua hal yang dia inginkan, dia hanya menginginkan satu yang terwujud sebelum nanti waktu berhenti untunya. Haknya kembali.