Setelah apa yang terjadi tadi malam, kedua kakak dan adik itu menjadi semakin dekat. Bahkan kini mereka berdebat atas kondisi Garendra yang sebenarnya sudah stabil namun Rendi masih menahannya untuk pulang. Sehingga akhirnya setelah diperiksa oleh dokter, Garendra diijinkan pulang. Rendi mendnegus tak terima, sedangkan Garendra dengan gencar mengejek kakaknya karena dia yang menang.
"Intinya sampai rumah lo harus istirahat, biar gue yang masakin buat makan malam. Gak usah beli makanan sembarangan lagi kalau belum ijin sama gue," ucap Rendi masih fokus dengan jalan di depannya. Sedangkan Garendra hanya tertawa sambil mengangguk, menyadari bahwa Rendi masih kesal karena tadi.
Keduanya kemudian dilanda keheningan, dan hanya lagu dari radio yang terputar. Merasa bosan Garendra akhirnya menatap keluar jendela yang sedang hujan, sambil sesekali mengikuti alunan musik yang mengalun di dalam mobil. Rendi sesekali melirik kemudian tersenyum, jika saja dia dekat dengan Garendra sedari dulu mungkin adiknya tidak akan semenderita sekarang.
"Gimana sekolah lo selama ini?"
Akhirnya Rendi memecah keheningan yang terjadi, dan Garendra yang ditanya menatap lucu ke arah Rendi. Tatapannya berbibar penuh minat, bibirnya mengembangkan senyuman lebar yang manis. Lalu perlahan bibir itu terbuka, dengan semangat membicarakan bagaimana hari-harinya di sekolah. Dan tanpa dia sadar, dia menceritakan semuanya bahkan sampai dirinya yang sering berkelahi atau diganggu karena tidak pernah ikut olahraga.
Bahkan saking semangatnya dia bercerita, dia juga tidak sengaja menceritakan perihal kambuhnya karena dihukum membersihkan gudang. Ekspresi wajah Rendi berubah masam pada awalnya, namun akhirnya kembali berubah seperti biasa saat mendengar cerita-cerita lainnya dari Garendra yang masih bersemangat.
Sehingga tanpa sadar mereka sampai ke depan rumah, dan ketika mesin mobil mati Garendra baru menyadari bahwa dia sudah bicara terlalu banyak. Dia segera menutup mulutnya sambil menunduk dan menggumamkan kata maaf. Yang entah mengapa malah kelihatan begitu lucu dimata Rendi, seperti anak kucing yang terpojokkan.
"Udah jangan takut gitu, gue gak bakal marahin lo atau gimana. Nanti kalau ada masalah atau apapun lo langsung bilang sama gue, jangan dipendem. Ngerti, dek?" Rendi berucap menahan tawa. Namun sayangnya anggukan kecil yang Garendra lakukan membuat Rendi tak lagi bisa menahan tawanya, benar-benar anak kucing.
Mereka akhirnya memasuki kawasan rumah, sepi dan hening seperti biasa. Bedanya kali ini Rendi dan Garendra merasakan bahwa rumah itu lebih hangat dari pada biasanya yang hanya menyisakan keheningan dan juga kehampaan. Keduanya berjalan beriringan, dengan Garendra di depan dan Rendi mengikuti dari belakang seperti bodyguard.
"Ngapain?" tanya Garendra pada kakaknya saat Rendi masih mengikutinya yang ingin memasuki kamarnya. Rendi tak menjawab, dia hanya mendorong adiknya untuk masuk ke dalam kamar dan dia segera menutup pintu. Lama Rendi memerhatikan kamar itu, sampai akhirnya matanya beralih pada salah satu foto yang ada disana.
"Dapet darimana?" tanya Rendi melihat bingkai foto yang berisi dirinya, Garendra dan juga Nelly saat itu. Garendra menoleh, memastikan apa yang dimaksud oleh kakaknya tentang apa yang dia dapat. Dia kemudian ber oh, sebelum meraih foto itu dan mengajak Rendi untuk duduk di sampingnya.
"Dapet dari gudang, kemarin gue menu banyak foto disana. Semuanya kenangan, tapi gue ambil yang masih bagus-bagus aja," jawabnya menerangkan. Dia melihat foto itu, mengingat kejadian sebelum foto itu diambil. Rendi yang marah karena Garendra yang ikut berfoto dan juga Nelly yang tak mau digendong oleh Garendra. Sepertinya memang dari dulu tidak ada yang dekat dengannya.
"Senyum lo keliatan dipaksa kak," ujarnya lagi. Rendi mengambil alih, menatap dirinya yang memang memaksakan senyum. Nelly juga sembab karena sehabis menangis, dan disana Garendra adalah orang yang memiliki senyum terindah dan yang paling tulus. Rendi ikut tersenyum melihat hal itu, dia kembali merasa bersalah.
Jika dia bisa mengulang waktu, dia akan mendekatkan diri dengan Garendra sedari dulu. Dia akan menjaga adiknya ini, setidaknya dia bisa menjaga Garendra dari kesepian. Tapi apalah daya, dia bukan doraemon yang memiliki mesin waktu untuk mengulang semua yang telah terjadi. Semua kenangan buruk itu juga sudah tertanam di dalam benaknya dan juga keluarganya, terutama Garendra.
"Udah sana tidur, gue juga mau balik ke kamar. Kalau ada apa-apa bilang sama gue," ucap Rendi mengacak pelan rambut Garendra sebelum berlalu pergi dari sana. Garendra hanya mengangguk, menuruti perkataan Rendi untuk mengistirahatkan tubuhnya.
"Yah, tadi Garen udah check up," ucap Garendra via telepon pada ayahnya. Di seberang telepon Aksara berdeham membuat Garendra menggaruk lehernya canggung. Terdengar suara kertas yang dipindahkan dari seberang telepon, membuat Garendra dengan sabar menunggu sang ayah selesai dengan kegiatan pentingnya.
"Hasilnya?" Aksara berucap di seberang telepon. Kertas dalam genggamannya sedikit Garendra remas, ragu menyampaikan kondisinya yang nyatanya memang semakin memburuk dari hari ke hari. Dia menarik napas panjang, sebelum akhirnya memilih untuk mengatakan yang sejujurnya karena sang ayah juga berhak tau.
"Memburuk yah, maaf."
Dan setelah Garendra mengatakan hal itu, terdengar desahan panjang dari Aksara bersamaan dengan suara sebuah kertas dilemparkan. Bisa Garendra bayangkan bagaimana ekspresi kesal dari Aksara sekarang, dia pasti kecewa atas hasil check up dari Garendra yang selalu saja memburuk dan Garendra cukup tau hal itu.
"Kamu gak capek memangnya? Setiap check up hasilnya selalu sala nol. Saya capek kerja juga buat kesembuhan kamu Garendra, minimal tunjukkan hasil. Harus gimana lagi saya kerja biar kamu bisa sembuh?"
Suara tegas, keras penuh dengan tekanan setiap katanya membuat Garendra meremas kertas dalam genggamannya tanpa sadar. Air matanya mulai menetes, sang ayah sudah lelah atas kondisinya. Dan mungkin sebentar lagi pria patuh baya itu akan menyerah atas hidupnya.
"Garen udah berusaha ayah."
Garendra mulai terisak, membuat Aksara berdecak saat menyadari putra bungsunya menangis. Isakan Garendra coba dia tahan, tak ingin membuat ayah semakin marah atas semua yang sudah terjadi. Mencoba menjernihkan pikiran mungkin ayah hanya sedang lelah, dan dia harus bisa menerima.
"Sudah, jangan mengganggu saya. Jaga kondisi kamu," ucap Aksara dingin. Telepon lalu dimatikan sepihak dan Garendra mulai tersenyum lirih. Mulutnya terbuka mengeluarkan suara serak penuh luka. Menanyakan pertanyaan yang selama ini ingin ia keluarkan dari mulutnya pada sosok pahlawan yang pernah menjaga tubuhnya untuk berdiri tegak itu.
"Ayah ijinin Garen untuk sembuh kan yah? Garen boleh sembuh kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Lara
Teen FictionHak miliknya direbut paksa, dirinya di tinggalkan sendirian dengan luka yang tak juga kunjung sembuh. Dari semua hal yang dia inginkan, dia hanya menginginkan satu yang terwujud sebelum nanti waktu berhenti untunya. Haknya kembali.