Tatapan kosong Rendi layangkan pada sepinya suasana rumah. Kehangatan yang dulu hadir lenyap seakan memang tak pernah ada. Sakit rasanya mengingat dua sosok yang dulu saling memberi kasih stau sama lain kini saling melontarkan kata makian bahkan pukulan. Rendi tak mengerti, mengapa suasana hangat itu bisa berubah dengan cepat, hanya dengan kedipan mata saja.
Jujur saja dalam hatinya terbesit kecewa pada orangtuanya yang masih saling menyalahkan. Semua hal yang terjadi merupakan kelalaian mereka dalam menjaga Nelly, namun sepertinya mereka menolak sadar akan hal itu. Yang kedua Rendi kecewa pada mereka yang sekarang menjadi seperti ini, dia membenci hal itu. Membenci orangtuanya yang selalu meributkan hal yang sama setiap harinya.
Dia juga sama terpuruk, kehilangan adik bungsunya, kesayangannya. Namun sepertinya orangtuanya tak bisa melihat hal itu. Mereka mengabaikannya, bahkan setelah kecelakaan yang dia alami beberapa minggu lalu orangtuanya tak menampakkan batang hidung untuk menjenguknya. Hanya membayar biaya rumah sakit dan menyuruh sang paman untuk menjaganya selama itu.
Langkah gontai itu menaiki tangga, tanpa menyadari satu sosok yang sedari tadi menatapnya dari sofa. Garendra merasa heran, tumben kakaknya pulang biasanya dia akan lebih memilih untuk tinggal di kostnya ketimbang pulang. Tapi untunglah, setidaknya dia tidak sendiri seperti biasanya. Ingin rasanya Garendra menegur kakaknya, namun dia selalu takut. Bahkan sedari dulu Garendra merasa Rendi tidak menyukainya, sang kakak selalu saja ketus padanya setiap dia melontarkan sebuah pertanyaan.
Tarikan napas pelan Garendra lakukan, sepertinya sosoknya memang tak terlalu di hadirkan di sini. Tidakkah ada yang sadar bahwa semua orang terluka karena kepergian Nelly? Mengapa mereka masih mempertahankan keegoisan masing-masing seolah hanya mereka yang terluka? Mereka terlarut dalam luka, seolah kehilangan Nelly kehilangan seluruh kehidupan mereka, jujur Garendra membenci keadaan ini. Bahkan terkadang dia kesal, merasa ingin marah namun tak tau harus marah pada siapa.
Dengan keberanian, Garendra bangkit menuju kamar kakaknya yang selat satu kamar dengannya. Kamar di tengah milik Nelly, namun belum sampai Garendra di kamar sang kakak, suara pecahan sesuatu langsung menyambutnya begitu sampai di lantai dua. Suara itu terdengar dari kamar Nelly, kemungkinan besar Rendi ada disana sekarang.
"Kak, gue buka ya?"
Pintu terbuka, menampakkan Rendi yang sedang memegang sebuah foto dengan pecahan bingkai di sekitar kakinya. Garendra menggeleng pelan, sepertinya sang kakak tidak sengaja memecahkan bingkai foto itu. Rendi menyadari keberadaan Garendra, namun ia tetap hiraukan melenggang pergi begitu saja dengan foto firinya dan Nelly saat kecil dari kamar itu.
Garendra menatap nanar punggung kakaknya, bahkan teguran balik tak dilakukan oleh sang kakak. Jujur ini lebih menyakitkan dibanding makian sang bunda ataupun pukulan yang ayah berikan. Karena Rendi benar-benar bersikap seolah-olah dirinya tidak ada disana, seolah dirinya hanya bayangan yang tidak dilihat.
Garendra akhirnya keluar dari kamar itu, mengambil sebuah sapu dan serokan untuk membereskan semua kekacauan itu. Dengan hati-hari Garendra membersihkan semuanya, tidak ingin meninggalkan sedikitpun pecahan kaca di kamar mendiang adiknya itu. Karena dia tau, siapapun yang pulang pasti akan singgah kesana, melepas kerinduan dengan menatap semua foto-foto adiknya yang terpasang jelas di atas meja.
Garendra meraih salah satunya, di foto itu ada lengkap keluarga kecilnya. Penuh senyuman menatap ke arah mereka, tangan satu sama lain terpaut dengan Nelly yang berada di gendongan Navilia. Mungkin itu adalah pertama dan terakhir kalinya tangan Garendra dan Rendi terpaut sebagai seorang saudara. Karena seingat Garendra, bahkan saat itu juga Rendi terpaksa menautkan tangan.
Memikirkan itu membuat senyum Garendra merekah, ingin kembali mengulang semuanya meski mustahil. Mereka tak lagi lengkap, salah satu dari mereka telah lebih dulu berpulang pada Yang Maha Kuasa, meninggalkan duka mendalam di lubuk hati mereka. Ditaruhnya dengan hati-hati kembali foto dengan bingkai itu. Sebelum akhirnya dia memutuskan untuk keluar, melupakan semua kenangan yang menyesakkan hati jikalau diingat.
Pecahan itu dia buang di tas berwarna hitam yang kemudian langsung dimasukkan ke dalam tempat sampah. Diliriknya sebentar jam yang ada di dapur. Sekarang sudah jam 16.30 dan Garendra baru menyadari bahwa dia belum memasukkan nasi kedalam mulutnya. Sehingga akhirnya dia memutuskan untuk memesan makanan secara online, malas keluar sendirian.
Dia teringat kemudian dengan Rendi, apakah kakaknya sudah makan atau belum? Dia ingin bertanya tapi takut menganggu kakaknya. Jadi dia memutuskan untuk memesan dua nasi tanpa bertanya. Untuknya dan juga Rendi nanti, siapa tau kakaknya akan ada di rumah sampai malam, jadi dia tidak akan repot-repot untuk keluar lagi.
25 menit kemudian makanan itu datang, sang driver sudah menelepon dan Garendra langsung beranjak keluar. Makanan dibayar, dia kembali melangkah masuk dan pas saat itu Rendi menuruni tangga. Garendra tersenyum ke arah sang kakak yang hanya dijawab tatapan datar, wajahnya hanya di tatap beberapa detik sebelum sosok sang kakak mengalihkan pandangan dan berjalan ke arah ruang tamu.
"Kak, gue beliin nasi tadi. Gue taruh di dapur dulu atau gimana?"
Garendra memberanikan diri bertanya, walau kemudian hanya keheningan yang membalas ucapannya. Sang kakak tak melirik, walau dirinya yakin kehadirannya sudah diketahui. Senyum kecut muncul di wajah Garendra, apakah dia benar-benar tidak diinginkan di hidup kakaknya? Pikiran itu muncul begitu saja mengingat bagaimana dinginnya sang kakak selama ini.
"Kalau gitu gue taruh di meja aja ya kak, gue makan duluan."
HAIHAII
aku back lagi
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!!!
-9/10/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Lara
Novela JuvenilHak miliknya direbut paksa, dirinya di tinggalkan sendirian dengan luka yang tak juga kunjung sembuh. Dari semua hal yang dia inginkan, dia hanya menginginkan satu yang terwujud sebelum nanti waktu berhenti untunya. Haknya kembali.