Kisah Kesepuluh

657 40 2
                                    

Ribut suara diluar membuat Rendi muak, jika saja Garendra tak menahan tangannya dia sudah memberontak sedari tadi dan berteriak pada dua orang dewasa yang berteriak di luar. Navilia dan Aksara bertengkar di luar, tak menghiraukan kedua anaknya yang berada di dalam. Rendi menoleh, menatap Garendra yang tampak tenang dengan suara ribut di luar pintu kamarnya.

Rendi mengelus tangan Garendra, seolah memberi ketenangan walau sebenarnya dirinya lah yang merasa tidak tenang. Garendra membalas dengan senyuman walau telinganya terasa sangat berdengung mendengar suara-suara ribut yang meributkan perihal yang sama setiap kali dia masuk ke rumah sakit. Terus saja tentang siapa yang akan menemaninya, tak pernah meributkan tentang hal lain kecuali itu. Itulah yang membuat Garendra merasa begitu muak dengan semuanya, merasa bahwa semua yang dia lakukan untuk bertahan itu sia-sia. 

"Mereka bener-bener udah keterlaluan!"

Rendi kembali bangkit, dia tak mendengarkan Garendra yang menyuruhnya untuk duduk kembali. Yang dia lakukan hanyalah berjalan dengan langkah tergesa penuh emosi, membuka pintu dan menatap kedua orangtuanya dengan tatapan tajam. Keduanya berhenti bertengkar, kini malah berbalik menatap sang sulung dengan tatapan sulit dijelaskan.

"Kamu enggak ada jadwal kuliah, Ren?" tanya sang ayah setelah berdeham sebelumnya. Rendi tak menjawab hal itu, dia hanya menghela napasnya. Kedua orangtuanya bahkan tidak merasa bersalah setelah suara mereka yang keras di depan ruangan sang adik. Dia yakin pasien di ruangan lain juga terganggu oleh suara-suara itu.

"Bu, yah jangan kayak anak kecil. Garendra denger semuanya dari dalam. Kalian enggak kasian, adek aku baru aja sadar," ucap Rendi pelan. Takut jika Garendra akan mendengarnya dari dalam, kedua orang dewasa itu menatap aneh anak sulungnya. Mereka bertanya-tanya dalam pikiran mereka. Sejak kapan Rendi peduli dengan Garendra?

"Jangan salahin ayah, ibu kamu yang lepas tanggung jawab." Aksara kembali memulai perdebatan, dan ketika Navilia hendak menjawab Rendi lebih dahulu berucap. Menyampaikan segala sesuatu yang sedari tadi ingin dia teriakkan pada mereka berdua. Dan jika saja ini bukan di rumah sakit, maka Rendi pastikan dia akan berbicara dengan nada tinggi.

"Kalian sadar gak sih, semua yang barusan ayah dan ibu bilang itu jahat. Garendra denger semuanya dari dalam, begitu juga dengan Rendi. Kalian saling mengoper tanggung jawab atas Garendra, seolah tak satupun dari kalian yang peduli. Memang Garendra seperti sekarang salah siapa? Salah kalian, salah ibu yang udah bentak Garendra, salah ayah yang udah mukul Garendra. Kalau kalian gak mau nemenin Garendra gak masalah, masih ada Rendi yang bakalan jaga. Jadi lebih baik kalian pergi, urus administrasi nya dan tinggalin rumah sakit ini kemudian. Jangan datang kalau kalian cuman mau ribut, buat malu."

Setelah mengatakan itu Rendi langsung kembali masuk ke ruangan milik Garendra. Tak memedulikan kedua orangtuanya yang mematung mendengar perkataannya. Wajahnya tertekuk kesal, bukan hanya kepada orangtuanya, tapi juga dengan dirinya sendiri yang sekarang bersikap seolah pahlawan untuk adiknya. Padahal dia dulu sama dengan mereka, dulu juga dia abai, memilih bersikap acuh hanya karena rasa iri yang terpintas dalam hatinya.

"Omongan mereka tadi jangan didengerin ya," pinta Rendi pada sang adik. Garendra tampak kebingungan untuk sesaat, namun kemudian dia terkekeh sambil mengangguk. Cukup aneh melihat Rendi yang bersikap lembut dan melindunginya ini. Biasa nya dia akan memilih untuk abai, seolah dia tidak ada disana. Memikirkan hal itu, Garendra tiba-tiba teringat satu hal.

"Kak, gue adek lo bukan?"

Entah darimana datangnya Garendra tiba-tiba menanyakan hal itu. Terngiang dalam benaknya saat Rendi mengatakan bahwa adiknya hanyalah Nelly. Sedangkan yang ditanya mendadak menegang, dia mulai bertanya-tanya kenapa Garendra menanyakan hal itu. Apakah sikapnya selama ini begitu keterlaluan?

"Tentu, kenapa lo nanyain hal jelas gini, Gar?" tanya Rendi balik. Garendra tak menjawab, mengalihkan pandang dengan mata memejam saat suara Rendi kembali tergiang dalam benaknya. Suara-suara yang menganggu sehingga tanpa sadar membuatnya meremas selimutnya, Rendi yang menyadari hal itu dilanda panik, mengira bahwa Garendra sedang kesakitan.

"Gar, hei ada yang sakit? Tunggu gue panggilin dokter dulu, lo tahan."

Rendi berujar panik sambil langsung berdiri, beruntung Garendra sempat menahan tangan sang kakak sehingga pemuda itu menoleh. Air mata Garendra turun, dia menggeleng mengatakan bahwa dia baik-baik saja sambil tersenyum. Bukanya tenang, Rendi malah dibuat semakin panik dengan kondisi adiknya yang tiba-tiba menangis seperti ini.

"Kenapa Gar, bilang sama gue!" ucap Rendi. Garendra diam, dia mencoba menarik napas agar tidak terisak di depan Rendi sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya hal yang selama ini mengganjal dalam hatinya. Dia menatap Rendi, tepat di manik mata sang kakak yang membuat Rendi tertegun akan manik cokelat yang menatapnya penuh luka dan harap itu.

"Gue adek lo kan kak? Gue putra bungsu ayah dan ibu kan?"

Rendi mengangguk, mengelus pelan rambut sang adik sambil menarik napas. Hatinya terasa sesak saat Garendra menanyakan hal itu, seolah ada perasaan mengganjal yang ingin mendobrak keluar. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca melihat Garendra yang seperti sekarang.

"Kalau gue yang mati, lo, ayah sama ibu bakalan seneng kan? Kalau Nelly yang masih ada dan gue yang mati keluarga kita enggak bakal berantakan kayak sekarang kan kak? Kalau gue mati-"

"GARENDRA UDAH!"

Rendi memotong pembicaraan Garendra, sudah cukup dia tak lagi kuat mendengar segala pertanyaan yang Garendra lontarkan. Itu terlalu menyakitkan, bahkan kini dia sendiri menangis menyadari bahwa semua hal yang Garendra katakan memang pernah terlontat dari mulutnya. Pernah dia ucapkan tanpa berpikir apa yang akan terjadi karena hal itu.

"Kenapa nanya gitu? Lo adek gue, selamanya bakalan jadi adek gue. Yang lalu itu lo lupain aja, keluarga kita kayak gini bukan kesalahan lo tapi karena keegoisan mereka. Kalau yang pergi lo, maka gue bakalan jadi orang yang paling menyesal," ucap Rendi.

"Tadi waktu itu lo bilang hal itu sama ibu, kak."

Maka setelah kata itu terlontar, Rendi kehilangan kata. Dia menunduk dalam, meminta maaf pada Garendra dan perlahan mulai berlutut di lantai di hadapan Garendra. Semua yang dia ucapkan kala itu, jika bisa akan Rendi tarik dan dia telan. Dia tak berani mengangkat kepala, merasa malu terhadap adiknya. Keduanya dilanda hening yang diiringi tangis isakan, keduanya menangis. Garendra dengan pikirannya dan Rendi dengan penyesalannya.

 Garendra dengan pikirannya dan Rendi dengan penyesalannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haihaii
Author kesayangan kalian back

Aku pengen tau pendapat kalian fi chap ini gimana?
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN YA!!!
-30 Oktober

Tentang LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang