0. 11 | JANGAN LUPA PULANG

201 27 4
                                    

“Aku membisikan pada bintang tentang kamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Aku membisikan pada bintang tentang kamu. Mungkin dia akan sampai padamu suatu hari nanti. Bahwa, di hidupku ini aku hanya ingin diberi kesempatan menjadi bagian dari duniamu. Mungkin saat itu aku akan berhenti memaki hidupku dan kamu akan berhenti menyalahkan dirimu.”— Khalisa untuk Shakila.

•••

Tubuh kecil gadis berusia sepuluh tahun yang masih menggunakan seragam merah putih itu bersandar di depan pintu. Memeluk tas sekolahnya erat-erat ketika teriakan mulai terdengar dari dalam. Keras semakin keras. Barang-barang di dalam sana terlempar.

Membuat Khalisa bergetar ketakutan. Pelukannya mengerat. Kakinya lemas untuk bangkit jadi dia hanya bisa membiarkan pipinya basah sia-sia. “Diem!” teriaknya.

“Diem buk!” suaranya serak. Khalisa memukuli pintu. “Diem!”

Tapi teriakan Santika semakin keras. Meraung-raung seolah telah lupa segalanya.

“Tolong, diem buk. Tolong..” Pukulan Khalisa melemah. Napasnya bergetar atau mungkin seluruh bagian dari dirinya bergetar. “Aku takut...”


Angin meniup-meniup rambut Khalisa yang terduduk di dekat jendela bus. Cahaya matahari membuat matanya yang masih berkaca-kaca semakin tampak. Meski begitu tatapannya jauh menggapai puing-puing dari dirinya yang mencoba ia satukan kembali.

Hamparan gedung-gedung tinggi yang berdiri angkuh seakan mengejek ruko rendah di sekitarnya, membuat Khalisa ikut tersinggung. Gila sekali kenyataan di dunia ini. Apa gunanya keras kepala diciptakan jika untuk memecahkan kepala sendiri?

Sedangkan di dalam bus terdengar percakapan penumpang tentang berbagai hal, mulai dari ibu-ibu yang duduk di belakang mengomel tentang harga minyak yang melonjak tajam kepada bapak   yang entah kenal atau tidak. Perempuan yang sibuk dengan laptop di pangkuannya namun berbicara pada ponsel yang terselip di telinga. Anak kecil di bangku paling depan yang menangis karena es krimnya jatuh ketika masuk bus.

Ramai. Namun tuli. Suara-suara itu muncul di atas permukaan kegelapan yang menelannya. Menghabiskan oksigen perlahan, memenuhi paru-parunya dengan asapnya yang siap mencekik. Kemudian mulai memenuhi setiap bagian dari tubuhnya. Ujung-ujung jari, lidah, telapak kaki.

Ia menghela, mengepalkan tangannya. Ayolah, ayolah, untuk apa? Kenapa? Siapa?


Pupilnya bergerak gelisah. Lalu ia menutup mata. Tetap berusaha. Gigit bibir bawahnya. Jangan keluarkan suara.

“Ndok.” Suara berat dan serak membuat Khalisa seketika tersentak. Udara terdorong dari mulutnya. Praktis membawanya kembali ke kenyataan. Elusan lembut yang terasa dipundak setelahnya semakin memperparah keadaan.

Manusia PelikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang