Enam

427 94 9
                                    

Siera baru saja mau membuka gerbang, dia akan mencari sarapan di luar, tapi tiba-tiba Hanan muncul di depannya, sepertinya dia sudah menunggu lama di luar pintu gerbang.

Malas banget Siera menyapa laki-laki itu. Dia melewatinya begitu saja.

"Kamu kan' yang sudah membuat aku diare tiga hari yang lalu, sampai aku dirawat di rumah sakit."

Idih, sok-sokan nuduh. Emangnya ada bukti? Meskipun pada kenyataannya Siera benar telah mencampur obat pencahar ke hasil masakan yang Diana buat.

"Kayaknya ada yang ngomong, deh! Siapa ya?" Siera pura-pura celingukan mencari orang yang ngomong, padahal Hanan ada di sebelahnya.

"Aku di sini, kamu buta?"

Siera tidak menanggapi, ia memilih jalan saja. Bisa kesiangan jika ia meladeni mantan.

"Siera, dokter mengatakan kalau penyebab diare aku karena ada obat pencahar dari makanan yang aku makan. Dan anehnya kalian berdua tidak ada yang terkena diare. Diana tidak mengaku kalau dia pelakunya. Aku yakin pelakunya adalah kamu."

Siera terus melanjutkan langkahnya. Laki-laki itu cuma diare, sedangkan ia kehilangan banyak hal. Bukankah wajar jika ia sedikit memberi pelajaran pada mantan yang sok kecakepan itu. Betenya, malah jadi tetangga. Seakan Tuhan memberinya peluang buat bales dendan akibat pernah patah hati yang terlalu dalam.

"Kenapa aku nuduh kamu, karena cuma kamu yang punya dendam sama aku." Hanan masih mengikuti langkah Siera.

Siera masa bodoh. Mulutnya terlalu berharga jika digunakan untuk meladeni mantan.

"Aku memang salah sudah menyakiti kamu, tapi bukan dengan cara kayak gini, kamu balas dendam sama aku, Siera. Ayo, kita ngobrol bersama. Perbaiki kisah masa lalu kita."

Idih, maksud dia apa? Ogah banget ngobrol sama mantan. Siera semakin mempercepat langkahnya.

"Siera!" Hanan kesal karena diabaikan. Ia mencekal tangan Siera tanpa permisi.

"Lepas!" bentak Siera galak.

"Apa begini cara kamu balas dendam sama aku?"

Siera menghentikan langkahnya. Menatap Hanan tajam.

"Kamu tahu, cara balas dendam yang ingin aku lakukan pada kamu, yaitu membunuhmu. Mencampurkan makanan dengan obat pencahar terlalu receh buatku, sedangkan membunuhmu bikin aku puas. Karena tidak melihatmu lagi. Tetapi, tenang saja, itu akan aku lakukan saat sudah siap. Sekarang aku sedang nyusun rencana buat melenyapkan mantan, tanpa meninggalkan jejak." Mata Siera bergerak liar, ia terlihat siap untuk memangsa Hanan.

Hanan bergidik. Wanita di hadapannya seperti bukan Siera. Apa Siera kerasukan?

"Pergi! Jangan ganggu aku dan Diana. Kalau kamu tidak ingin merasakan balas dendamku. Aku nggak main-main!"

Hanan langsung berbalik arah. Wanita kalau sudah disakiti, akan ganas seperti singa. Cukup ia merasakan diare, bolak-balik ke kamar mandi, terus dirawat di rumah sakit karena dehidrasi. Rasanya tidak nyaman.

Siera menerbitkan senyumnya ketika laki-laki itu akhirnya pergi. Mana mungkin ia berani membunuh orang, masih sayang sama hidupnya. Tetapi, menghadapi mantan kurang ajar, perlu ketegasan, kalau perlu galak sekalian. Dalam hidup Siera, tidak ada tempat buat mantan. Semenarik apapun dia, kalau sudah jadi mantan jangan menengok ke belakang lagi.

Bubur yang mangkal di depan gor menjadi pilihan Siera. Buburnya, sudah terkenal enak di lidah Siera.
Acara makan bubur Siera sedikit terganggu ketika seorang laki-laki muda duduk di depannya. Bola mata Siera berputar dengan malas. Apa tidak ada tempat duduk yang lain?

"Siera, ya." lelaki asing itu membuka obrolan.

Dih, sok kenal. Siera pernah patah hati, menghadapi laki-laki asing ia tidak bisa bersikap manis atau ramah.

"Iya," jawabnya datar.

"Kamu ingat nggak sama saya?"

Ingat di mana, ketemu saja baru.

"Ah, kamu pasti lupa. Dulu saya nganter Ibu ke kantor kamu. Saat itu, Ibu mau renovasi kantor nya, dan kebetulan yang jadi arsiteknya adalah kamu. Ibu sangat suka dan puas dengan hasil kerja kamu."

Masalahnya, proyek rumah yang di tangani Siera juga banyak. Ia sudah terbiasa bertemu ibu-ibu atau bapak-bapak."

"Kamu beneran lupa, ya." Laki-laki itu terlihat kecewa.

Siera menganggukan kepalanya biar cepat beres. Ia juga makan bubur dengan cepat, biar bisa segera pergi.

"Saya duluan, Mas," pamit Siera ketika sudah selesai makan bubur.

Sedangkan pemuda itu menatap kepergian Siera dengan sedih. Sepertinya Siera tidak berniat untuk mengenalnya. Dia membangun dinding yang terlalu tinggi untuk ditembus.

Nama laki-laki itu adalah Bratama Antasena, dia baru saja lulus dari magister of business di Havard University, dia di gadang-gadang bakal jadi pewaris di perusahaan milik keluarganya. Rasanya, senang sekali bisa ketemu Siera di tukang bubur langganannya, sayangnya gadis itu sombong banget. Tetapi bukan Bratama namanya, kalau ia tidak punya cara untuk mendekati Siera yang sedingin es kutub itu.

Dendam SieraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang